Fayakhun Terima Vonis 8 Tahun Penjara Kasus Korupsi Anggaran Bakamla

28 November 2018 16:23 WIB
clock
Diperbarui 14 Maret 2019 21:04 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Terdakwa kasus dugaan suap pengadaan satelit monitoring di Bakamla, Fayakhun Andriadi berjalan keluar seusai menjalani sidang di Tipikor. (Foto: ANTARA FOTO/Aprillio Akbar)
zoom-in-whitePerbesar
Terdakwa kasus dugaan suap pengadaan satelit monitoring di Bakamla, Fayakhun Andriadi berjalan keluar seusai menjalani sidang di Tipikor. (Foto: ANTARA FOTO/Aprillio Akbar)
ADVERTISEMENT
Anggota Komisi I DPR nonaktif Fayakhun Andriadi menerima vonis 8 tahun penjara oleh majelis hakim Tindak Pidana Korupsi Jakarta. Dalam vonisnya, politikus Partai Golkar itu juga diharuskan membayar denda Rp 1 miliar subsider 4 bulan kurungan.
ADVERTISEMENT
Fayakhun melalui pengacaranya memastikan tidak akan banding atas vonis hakim terkait kasus suap pengurusan anggaran Badan Keamanan Laut Republik Indonesia (Bakamla) untuk proyek pengadaan satellite monitoring dan drone dalam APBN-P tahun 2016.
"Pak Fayakhun terima putusan, tidak banding," kata pengacara Fayakhun, Ahmad Hardi Firman saat dikonfirmasi, Rabu (28/11).
Ia menyatakan tidak alasan khusus dalam keputusan Fayakhun untuk penerimaan vonis tersebut. Sebab, selama persidangan, kliennya telah mengakui telah melakukan perbuatan tindak pidana korupsi.
"Di persidangan, dia (Fayakhun) sudah sampaikan mengakui dan menyesali perbuatannya, dan kooperatif dalam menjalani proses hukum dari awal smpai sekarang," kata Ahmad.
Dalam putusan majelis hakim Pengadilan Tipikor Jakarta, Fayakhun dinilai terbukti menerima suap senilai USD 911.480 atau sekitar Rp 12 miliar dari Direktur PT Merial Esa, Fahmi Darmawansyah.
ADVERTISEMENT
Fahmi Darmawansyah diperiksa sebagai saksi perkara dugaan suap Kalapas Sukamiskin Wahid Husen di Gedung KPK, Selasa (25/9/2018). (Foto: Eny Immanuella Gloria)
zoom-in-whitePerbesar
Fahmi Darmawansyah diperiksa sebagai saksi perkara dugaan suap Kalapas Sukamiskin Wahid Husen di Gedung KPK, Selasa (25/9/2018). (Foto: Eny Immanuella Gloria)
Suap diberikan agar Fayakhun mengupayakan penambahan anggaran Bakamla untuk proyek pengadaan satellite monitoring dan drone dalam APBN-P tahun 2016. Perusahaan Fahmi Darmawansyah merupakan salah satu peserta yang mengerjakan proyek tersebut.
Perkara ini berawal pada April 2016, saat Fayakhun bertemu dengan narasumber Kepala Bakamla Ali Fahmi Habsyi dalam kunjungan anggota DPR ke Bakamla. Ketika itu, Ali Fahmi meminta Fayakhun untuk membantu menambah anggaran Bakamla dan menjanjikan Fayakhun fee 6 persen dari nilai anggaran proyek.
Fayakhun juga diminta bantuan oleh Direktur PT Rohde and Schwarz Indonesia, Erwin Arief, untuk membantu mengupayakan proyek satelit yang telah dianggarkan. Erwin berjanji juga akan memberikan fee kepada Fayakhun, lantaran PT Merial Esa adalah agen untuk produk Rohde & Schwarz.
ADVERTISEMENT
Selanjutnya, pada 29 April 2018, Fayakhun memberitahu Fahmi Darmawansyah bahwa rekannya di Komisi I DPR merespons baik usulan penambahan anggaran Rp 3 triliun untuk Bakamla, termasuk anggaran satellite monitoring sebesar Rp 850 miliar.
Fee yang semula dijanjikan 6 persen bertambah menjadi 7 persen lantaran Fayakhun meminta tambahan fee 1 persen kepada Fahmi Darmawansyah dan Ali Fahmi. Fee itu akhirnya disepakati dan ditagih melalui Erwin Arief.
Fayakhun Andriadi menjalani sidang pledoi di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Rabu (7/11). (Foto:  Nugroho Sejati/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Fayakhun Andriadi menjalani sidang pledoi di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Rabu (7/11). (Foto: Nugroho Sejati/kumparan)
Fayakhun bahkan mengancam tidak akan mengawal usulan alokasi tambahan anggaran jika fee tidak segera direalisasikan. Dia meminta fee tersebut diberikan dalam dua tahap, yakni USD 300 ribu 4 Mei 2016, dan USD 11 ribu dan USD 501.480 pada 23 Mei 2016 ke rekening berbeda. Fayakhun kemudian mengambil secara tunai uang itu melalui pihak perantara bernama Agus Gunawan dan Lie Ketty.
ADVERTISEMENT
Atas perbuatannya, Fayakhun dinilai terbukti melanggar Pasal 12 huruf a Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 64 ayat (1) KUHPidana.