Febri Diansyah Ingatkan KPK soal Harun Masiku-Pengembangan Kasus Bansos COVID-19

8 Juni 2022 19:36 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Febri Diansyah. Foto: Nugroho Sejati/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Febri Diansyah. Foto: Nugroho Sejati/kumparan
ADVERTISEMENT
Mantan juru bicara KPK Febri Diansyah mengomentari soal turunnya kepercayaan publik kepada KPK. Berdasarkan survei Lembaga Indikator Politik Indonesia, KPK berada pada posisi ke-6 sebagai lembaga yang dipercaya publik. Berada di bawah TNI, Polri, hingga Kejaksaan.
ADVERTISEMENT
Menurut Febri, KPK kudu berbenah. KPK disebut tak perlu mengeluarkan gimik yang berlebihan. Baiknya, kata Febri, KPK fokus menangani perkara yang masih mandek, termasuk pencarian buronan Harun Masiku.
"Kita bicara kasus di KPK misalnya yang diingat publik itu adalah kasus Harun Masiku selain rompi biru ya ada kasus Harun Masiku yang dia enggak ketemu sampai sekarang dan anehnya KPK justru mengatakan minta masyarakat untuk juga mencari," ujar Febri yang juga merupakan Praktisi hukum Visi Law Office, dalam rilis survei Indikator yang digelar secara daring, Rabu (8/6).
Febri mengingatkan bahwa KPK tak pernah menjelaskan detail perihal upaya apa saja yang telah dilakukan dalam mencari Harun Masiku. Padahal buronan KPK lainnya, kata Febri, satu per satu berhasil diamankan, namun tidak untuk sosok Harun.
ADVERTISEMENT
"KPK tidak pernah menjelaskan secara lebih detail atau mungkin lebih meyakinkan lah ya kalau detail banget enggak boleh juga. Lebih meyakinkan (soal) upaya apa saja sih yang sudah dilakukan," kata Febri.
"Padahal kita tahu buron-buron yang lain itu sudah ditangkap oleh tim KPK Sebelumnya. Sayangnya tim yang menangkap para buron itu kan disingkirkan melalui TWK dan mereka sekarang tidak berada di KPK," ucap Febri.
Harun Masiku. Foto: Maulana Saputra/kumparan
Di samping menuntaskan upaya pencarian keberadaan Harun, KPK juga ditantang Febri untuk mengembangkan penanganan perkara Bansos COVID-19. Kasus itu menurutnya telah merenggut banyak hak masyarakat.
"Kita juga tidak boleh lupa kasus Bansos COVID-19 yang katanya Ketua KPK bilang akan dihukum mati padahal kasusnya suap, kasus suap nggak ada ancaman hukuman mati dan katanya mau dibuka kasus dengan kerugian keuangan negara tapi kita tidak dengar itu sampai sekarang," ungkap Febri.
ADVERTISEMENT
Untuk mencapai tujuan itu, peranan seluruh pihak di internal KPK termasuk Dewan Pengawas (Dewas) sangat dibutuhkan. Termasuk bagaimana mereka memberikan penilaian terkait kinerja KPK.
"Jangan sampai Dewan Pengawas menjadi stempel baru di KPK karena kita tahu salah satu alasan dari revisi Undang-Undang KPK adalah KPK minim pengawasan maka dibentuk lah dewan pengawas di revisi Undang-Undang KPK tahun 2019 tersebut," kata Febri.
"Nah jangan sampai kemudian Dewan Pengawas KPK sibuk mengurus kasus-kasus receh di internal tapi ketika di pimpinan tidak terlihat serius," pungkasnya.
Terdakwa mantan Menteri Sosial Juliari Batubara (kiri) bersiap mengikuti sidang lanjutan kasus korupsi Bansos COVID-19 di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Senin (28/6/2021). Foto: Aditya Pradana Putra/ANTARA FOTO
Kasus suap Bansos COVID-19 memang telah dirampungkan oleh KPK. Sejumlah pihak yang terlibat sudah diseret ke meja hijau. Namun KPK menyatakan akan mengembangkan kasus tersebut, untuk melihat potensi pidana lainnya. Meski sampai sekarang upaya pengembangan itu tak kunjung disampaikan ke masyarakat.
ADVERTISEMENT
Dalam kasus bansos tersebut, salah satu tersangka yakni mantan Menteri Sosial Juliari Batubara divonis bersalah. Dia dihukum 12 tahun penjara serta denda Rp 500 juta. Politikus PDIP itu dinilai terbukti menerima suap yang nilainya puluhan miliar. Dia juga dijatuhi hukuman membayar uang pengganti Rp 14,5 miliar.
Dalam kasus Juliari Batubara, ia dinilai terbukti menerima suap melalui dua anak buahnya, yakni Adi Wahyono dan Matheus Joko Santoso. Total uang yang berhasil dikumpulkan Rp 32.482.000.000.
Suap tersebut diberikan oleh para vendor sebagai imbal penyedia dalam pengadaan bansos sembako untuk masyarakat terdampak COVID-19 di wilayah Jabodetabek. Juliari Batubara memerintahkan anak buahnya untuk memungut Rp 10 ribu per paket bansos yang digarap para vendor. Sejumlah vendor pun ternyata tidak kompeten untuk menjadi penyedia bansos.
Terdakwa mantan Menteri Sosial Juliari P Batubara usai menjalani sidang pembacaan putusan secara virtual di gedung ACLC KPK, Jakarta, Senin (23/8). Foto: Hafidz Mubarak A/ANTARA FOTO
Dalam vonis Juliari dkk, hakim sempat membeberkan sejumlah perusahaan vendor bansos yang diduga bermasalah. Begitu juga individu yang diduga kecipratan korupsi bansos. Namun KPK hingga saat ini belum membeberkan sejauh mana pengusutan terhadap para perusahaan dan pihak terkait tersebut. Berikut daftarnya:
ADVERTISEMENT
PT Anomali Lumbung Artha
Perusahaan ini disebut merupakan titipan Juliari dan selalu mendapatkan kuota sangat besar dalam pengadaan dengan 1.506.900 paket. Padahal, perusahaan ini merupakan perusahaan yang bergerak di bidang elektronik. Sehingga dianggap tidak mempunyai pengalaman pekerjaan yang sejenis terkait pengadaan bansos.
Demikian juga perusahaan yang terafiliasi, seperti PT Junatama Foodia Kreasindo yang mempunyai kuota 1.613.000 paket; PT Famindo Meta Komunika yang mempunyai kuota 1.230.000 paket; dan PT Tara Optima Primago yang mendapatkan kuota 250 ribu paket.
"Sedangkan PT Dwimukti Group yang merupakan perusahaan milik Herman Hery (Ketua Komisi III DPR RI) yang tak lain diungkapkan oleh saksi Ivo Wongkaren sebagai perusahaan penyuplai sembako bagi PT Anomali Lumbung Artha dan perusahaan afiliasinya yang juga merupakan perusahaan yang bergerak di bidang elektronik," ungkap hakim.
ADVERTISEMENT
PT Pertani dan PT Mandala Hamonangan Sude
Keduanya disebut yang merupakan perusahaan titipan Juliari yang Batubara berasal dari Muhammad Ihsan Yunus. Ihsan Yunus merupakan eks Wakil Ketua Komisi VII DPR dari PDIP. Sementara penanggung jawab perusahaan ini Agustri Yogasmara.
Hakim menyebut perusahaan yang ditunjuk sebagai salah satu penyedia bansos ini merupakan perusahan yang tidak memenuhi persyaratan. PT Pertani dianggap tak mempunyai kemampuan keuangan. Sedangkan PT Hamonangan Sude tidak memiliki pengalaman pekerjaan di bidang sejenis melainkan hanya supplier PT Pertani.
PT Rajawali Parama Indonesia
Perusahaan ini milik Matheus Joko Santoso yang baru didirikan Agustus 2020. Tujuannya ialah untuk diikutsertakan dalam pengadaan bansos. Padahal sama sekali tidak memiliki pengalaman dan tidak mempunyai kemampuan keuangan yang mumpuni.
ADVERTISEMENT
Matheus Joko sendiri merupakan pejabat Kemensos yang mengatur soal pengadaan bansos.
"Perusahaan penyedia lainnya hampir tidak ada yang memenuhi syarat sebagai penyedia dalam pengadaan bansos sembako," kata hakim.
Hakim meyakini bahwa Juliari Batubara sejak awal sudah mengetahui sejumlah vendor tidak memenuhi syarat menjadi penyedia bansos. Namun, perusahaan itu tetep ditunjuk.
Pimpinan KPK periode 2019-2023 dan Dewan Pengawas KPK serah terima jabatan di Gedung KPK, Jumat (20/12). Foto: Irfan Adi Saputra/kumparan
Perusahaan Lain
Selain perusahaan-perusahaan tersebut, diduga masih banyak pihak lain. Sebab, vonis Juliari menunjukkan bahwa uang yang terkumpul sebanyak Rp 32 Miliar lebih berasal dari 109 penyedia atau vendor bansos.
Dirjen dan Sekjen Kemensos
Dirjen Perlindungan dan Jaminan Sosial Kemensos Pepen Nazaruddin juga beberapa kali disinggung dalam kasus ini. Keduanya disebut pernah menerima sepeda Brompton yang diduga dari vendor bansos.
ADVERTISEMENT
Pepen Nazaruddin sudah mengaku menerima sepeda tersebut dari terpidana Adi Wahyono selaku mantan Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) Kemensos.
"Iya (terima sepeda Brompton) dari Pak Adi KPA," kata Pepen dalam persidangan.
Namun, ia membantah pernah menerima uang terkait perkara bansos ini.
"Saudara pernah terima uang terkait bansos ini? Misalnya, uang Rp 1 miliar" tanya jaksa.
"Saya tolak," jawab Pepen.
Hal yang sama juga disampaikan Hartono Laras. Ia juga mengakui menerima sepeda Brompton dari Adi.
"Kami memang Agustus (2020) itu menerima Brompton. Yang mengantar itu sopir-nya Adi," kata Hartono di persidangan saat itu. Namun dia menegaskan tak pernah menerima uang terkait bansos COVID-19.