Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.100.2
13 Ramadhan 1446 HKamis, 13 Maret 2025
Jakarta
imsak04:10
subuh04:25
terbit05:30
dzuhur11:30
ashar14:45
maghrib17:30
isya18:45
Febri Diansyah Jadi Pengacara Hasto, Ngaku Temukan 4 Poin Dakwaan KPK Menyimpang
12 Maret 2025 17:36 WIB
·
waktu baca 5 menit
ADVERTISEMENT
Koordinator juru bicara pengacara Hasto Kristiyanto, Febri Diansyah, menyebut ada sejumlah kejanggalan dalam dakwaan yang disusun KPK. Hal itu, menurut Febri, berdasarkan eksaminasi para ahli hukum. Mulai dari hukum pidana, administrasi negara, dan tata negara.
ADVERTISEMENT
Eksaminasi adalah pemeriksaan atau pengujian terhadap suatu produk atau hasil kerja, seperti surat dakwaan atau putusan pengadilan.
“Saya ingin meneruskan beberapa poin dari aspek hukum tadi kita sudah dengar ada empat poin yang paling krusial ya terkait dengan proses eksaminasi yang sudah dilakukan oleh sembilan orang ahli,” kata Febri Diansyah dalam konferensi pers, di Kantor DPP PDIP Jakarta Pusat, Rabu (12/3).
Dalam kasusnya, Hasto dijerat sebagai tersangka dalam dua perkara. Pertama, yakni tersangka kasus dugaan suap pergantian antarwaktu (PAW) eks Caleg PDIP Harun Masiku dan dugaan perintangan penyidikan Harun Masiku. Sidang perdana Hasto bakal digelar di Pengadilan Tipikor Jakarta pada 14 Maret 2025.
Menurut Febri, dakwaan Hasto yang disusun KPK bertentangan dengan putusan terdakwa lain dalam perkara yang sama dan sudah berkekuatan hukum tetap.
ADVERTISEMENT
Berikut beberapa poinnya:
KPK Pakai Data Salah
Pada poin pertama, Febri menyebut, KPK menggunakan data yang salah dalam dakwaan. Data itu terkait perolehan suara Nazarudin Kiemas.
Dalam kasusnya, Harun Masiku menyuap Wahyu Setiawan selaku Komisioner KPU agar menjadi anggota DPR melalui mekanisme PAW (Pergantian Antar Waktu). Menggantikan Nazarudin Kiemas yang meninggal dunia.
Padahal, Harun Masiku adalah caleg PDIP nomor urut 6. Jauh dari Nazaruddin Kiemas di nomor urut 1.
Menurut Febri, pada surat dakwaan, Nazarudin Kiemas, disebutkan memperoleh 0 suara. Padahal Nazarudin mendapatkan suara sebesar 34.762 suara.
“Jadi di dakwaan itu disebut Nazarudin Kiemas memperoleh suara nol padahal faktanya Nazarudin Kiemas itu memperoleh suara memperoleh suara pemegang suara yang terbanyak. Di dakwaan ini bertentangan dengan fakta yang ada dan juga dengan fakta yang muncul,” tutur Febri.
ADVERTISEMENT
Febri melanjutkan, Nazarudin yang mendapatkan suara terbanyak, meninggal dunia. Sehingga PDIP mengambil keputusan untuk menetapkan Harun Masiku sebagai penggantinya.
Dia mengatakan, hal ini didukung oleh putusan Mahkamah Agung yang mengizinkan partai untuk mengganti calon terpilih yang meninggal dunia dengan calon lain. Jadi bukan dari hasil perolehan suara terbanyak kedua ataupun selanjutnya.
“Dalam konteks ini adalah meninggal dunia dengan pihak lain, calon anggota legislatif lain dan putusan Mahkamah Agung dan kemudian fatwa Mahkamah Agung itu menegaskan partai berhak untuk mengganti dengan siapa saja,” papar dia.
“Jadi tidak ada urutan harus urutan suara terbanyak yang kedua, yang ketiga atau yang keempat. Partai berhak memilih kader terbaiknya keuntungan itu diberikan oleh Mahkamah Agung dan proses judicial review itu adalah proses yang sah makanya fakta ini menjadi penting,” sambungnya.
ADVERTISEMENT
Pertemuan dengan Wahyu Setiawan
Poin kedua, Febri mengatakan bahwa dakwaan membuat Hasto seolah-olah pernah menemui Wahyu Setiawan dalam kunjungan tidak resmi di KPU.
Padahal dalam putusan nomor 28/Pid.Sus-Tpk/2020/PN.Jkt.Pst dengan terdakwa Wahyu Setiawan dan Agustiani Tio F, disebut bahwa kedatangan Hasto ke KPU untuk menghadiri rekapitulasi suara hasil Pemilu, yang dilaksanakan pada bulan April dan Mei 2019.
“Pada putusan nomor 28 itu jelas sekali keterangan saksi di bawah sumpah menegaskan bahwa kedatangan Hasto Kristiyanto ke KPU adalah pertemuan resmi pada saat rekapitulasi suara pada bulan April dan Mei 2019,” tutur Febri.
Saat itu, kata Febri, masing-masing partai politik menyampaikan sikapnya. Selain itu, tidak ada pertemuan tak resmi setelahnya.
Persetujuan Pemberian Uang
Poin ketiga, Febri melanjutkan, dakwaan membuat tuduhan bahwa Hasto seolah-olah menerima laporan dari Saeful Bahri untuk menyediakan sejumlah uang kepada Eks Komisioner KPU Wahyu Setiawan. Merujuk dakwaan, laporan itu kemudian disetujui oleh Hasto.
ADVERTISEMENT
Dia menyatakan bahwa dalam putusan nomor 28/Pid.Sus-Tpk/2020/PN.Jkt.Pst dengan terdakwa Wahyu Setiawan dan Agustiani Tio F dijelaskan bahwa Hasto tidak pernah menerima laporan dari Saeful Bahri. Termasuk tidak pernah menyetujui untuk memberikan uang kepada Wahyu Setiawan.
“Dan kami tegaskan di sini bisa dibandingkan di putusan nomor 28 dengan terdakwa Wahyu Setiawan dan Agustiani Tio itu tidak ada fakta hukum di persidangan yang menyebutkan Saeful Bahri melapor pada Hasto Kristiyanto terkait dengan permintaan Wahyu Setiawan,” ungkapnya.
“Hasto Kristiyanto pun tidak pernah menyetujui rencana pemberian uang pada Wahyu Setiawan. Jadi ada fakta yang digeser sedemikian rupa padahal itu sudah diuji di persidangan sebelumnya,” tambah Febri.
Meskipun begitu, surat putusan nomor 28/Pid.Sus-Tpk/2020/PN.Jkt.Pst memuat bahwa memang benar terjadi pertemuan antara Agustiani Tio dengan Wahyu Setiawan di salah satu tempat di Jakarta.
ADVERTISEMENT
Diinfokan bahwa Wahyu membutuhkan dana operasional untuk Komisioner KPU sebesar Rp 1 miliar. Kemudian dilakukan negosiasi oleh Agustiani hingga sebesar Rp 950 juta, tetapi disebut tidak ada respons dari Wahyu. Sehingga dana yang disetujui sebesar Rp 1 miliar.
Sumber Uang Suap
Terakhir, kata Febri, dakwaan menuduh Hasto memberikan dana sebesar Rp 400 juta melalui Kusnadi kepada Donny Tri Istiqamah yang ujungnya akan diberikan kepada Wahyu Setiawan.
Berdasarkan putusan No 18/Pid.Sus-Tpk/2020/PN.Jkt.Pst dengan terdakwa Saeful Bahri, Febri menjelaskan, sumber dana yang diberikan Kusnadi kepada Donny bukan berasal dari Hasto. Melainkan dari Harun Masiku.
“Ini di dakwaan Hasto Kristiyanto dituduh memberikan dana Rp400 juta melalui Kusnadi dan Donny Tri Istiqamah yang ujungnya adalah ke Wahyu Setiawan. Jadi Rp 400 juta itu tuduhannya itu bersumber dari Hasto Kristiyanto kalau konstruksi di dakwaan yang sekarang,” ujar Febri.
ADVERTISEMENT
“Padahal di putusan nomor 18 itu dengan terdakwa Saeful Bahri sudah tegas sekali Harun Masiku yang menitipkan uang pada Kusnadi. Meskipun yang dititipkan untuk Kusnadi. Itu sebenarnya bukan dalam bentuk uang tapi dalam tas yang Kusnadi tidak tahu isinya apa,” sambungnya.
Menurut Febri, putusan itu menegaskan, bahwa sumber dana berasal dari Harun Masiku. Pihak KPK belum berkomentar mengenai sangkalan Febri tersebut.