Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 ยฉ PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Fenomena Terorisme Bermula dari Perang Afghanistan Vs Soviet
7 September 2017 12:42 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:15 WIB
ADVERTISEMENT
Terorisme yang terjadi di Indonesia tidak bisa dilepaskan dari fenomena global. Dimulai dari berakhirnya era perang dingin, antara blok barat dan timur. Dan dalam salah satu fasenya adalah penggunaan proxy oleh negara barat untuk membendung hegemoni Uni Soviet di Timur Tengah, dan proxy yang paling memungkinkan digunakan saat itu adalah kelompok Islam.
ADVERTISEMENT
Demikian pemaparan Kapolri Jenderal Tito Karnavian pada One day conference di Garden Palace Hotel, Surabaya, Kamis (7/9). Tito menyampaikan materi tentang terrorism, cybercrime and national security, dalam 3rd International Conference on Contemporary Social and Political Affair yang diselenggarakan oleh Fakultas ilmu Sosial dan Politik Universitas Airlangga Surabaya.
Acara ini dihadiri pembicara lain diantaranya Gubernur Lemhanas Letjen TNI (Purn.) Agus Widjojo, Prof. Peter Grabosky (ANU College of Asia and the Pacific), Prof. Hisae Nakanishi (Global studies, Dosisha University of Kyoto) dan Dr. Robbie Peters (Director of Development Studies University of Sydney)
"Kemudian yang diangkat dengan isu penjajahan Soviet yang dijabarkan sebagai kelompok komunis di Afghanistan yang mayoritas penduduknya beragama Islam, sehingga semangat perang yang diangkat saat itu adalah Islam melawan komunis," beber Tito dalam pemaparan dengan bahasa Inggris.
ADVERTISEMENT
Lalu, mujahidin berdatangan dari segala penjuru dunia ke Afghanistan untuk memerangi Uni Soviet, mereka di support peralatan perang, dana maupun kemampuan perang oleh negara Barat di bawah komando Amerika Serikat.
Setelah perang ini selesai dengan dimenangkan Islam, dalam hal ini Mujahidin yang didukung Amerika dan sekutunya, kelompok Islam yang telah memiliki kemampuan perang, kemampuan intelijen dan peralatan yang diperoleh selama perang melawan Uni Soviet tersebut, kembali ke khitahnya untuk mengembalikan kejayaan Islam dengan doktrin Salafi Jihadi, yang mengkafirkan semua orang yang berada di luar atau bertentangan dengan ide kelompoknya.
"Dalam upaya mencapai cita-cita membentuk kekhalifahan, mereka memulai dengan membentuk wilayah-wilayah yang dinamakan qoidah aminah, dan mereka berharap wilayah ini semakin hari semakin meluas, hal ini bisa dilihat bagaimana mereka mencoba untuk membangun qoidah aminah di Poso, namun berhasil digagalkan oleh Polri. Dan sekarang kelompok yang terafiliasi, tengah berjuang untuk membangun qoidah aminah di Marawi, sebagai hub atau cabang qoidah aminah yang ada di Syiria," beber Tito.
ADVERTISEMENT
Bagi kelompok Salafi Jihadi, lanjut Tito, selain 5 rukun Islam, mereka menerapkan kewajiban ini menjadi 6, yang terakhir adalah Jihad dalam arti berperang, dan para tokoh radikal yang berada di Syiria telah mengeluarkan fatwa untuk tidak perlu datang ke Syiria untuk melaksanakan melaksanakan Jihad, tapi dapat dilakukan di daerah masing-masing, dan bagi yang tinggal di Asia Tengggara, bisa melaksanakannya di Marawi.
Tito juga menerangkan, kehadiran kemajuan teknologi dibidang Informasi dan komunikasi, yang melahirkan cyber space, memberi peluang yang lebih luas bagi kegiatan terorisme ini untuk menyebarkan pengaruhnya, sehingga menimbulkan lone wolf, yaitu individu yang berjuang / berjihad sendiri, tidak terafiliasi secara fisik dengan kelompok radikal manapun, dan mereka telah menjadi radikal karena terhubung dengan motivatornya melalui internet, yang dikenal dengan nama self radicalization, dan membentuk leaderless jihad, tanpa pemimpin maupun struktur organisasi, tidak seperti zaman Jemaah Islamiyah.
ADVERTISEMENT
Hal yang perlu dilakukan untuk membendung aksi radikal ini, maka kepada negara-negara, Tito menghimbau perlunya meningkatkan kerjasama antar negara, baik di tingkat regional maupun internasional, juga dengan lembaga-lembaga non state, untuk menciptakan atmosphere yang lebih baik di dunia Islam, dan tidak untuk melemahkan Islam.
"Penggunaan pendekatan yang lebih lunak, maupun upaya paksa menggunakan kekuatan secara bersamaan dan proporsional, dengan didukung saling tukar informasi, best practices dan peralatan yang didukung teknologi tinggi, diantara negara-negara di dunia dan seminimal mungkin menggunakan kekuatan militer yang akan menimbulkan collateral damage, kecuali tidak ada pilihan lain," tutur Tito.