Formappi: Amandemen UUD 1945 Urusan Pemburu Kekuasaan dengan Agenda Politik

19 Agustus 2021 13:50 WIB
·
waktu baca 2 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Peneliti Formappi Lucius Karus. Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Peneliti Formappi Lucius Karus. Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan
ADVERTISEMENT
Wacana amandemen UUD 1945 santer terdengar belakangan ini. Apalagi, setelah ada pidato dari Ketua MPR Bambang Soesatyo yang menyebut amandemen diperlukan meski hanya memasukkan Pokok-Pokok Haluan Negara (PPHN) semata.
ADVERTISEMENT
Namun demikian, wacana tersebut terus mendapatkan kritik hingga penolakan dari berbagai pihak. Apalagi, jika wacana itu melebar ke isu perpanjangan masa jabatan presiden, wapres hingga para anggota DPR dan DPD.
Peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen (Formappi) Lucius Karus menduga ada motif politik di balik bergulirnya wacana amandemen UUD 1945.
"Bagi saya kecurigaan akan motif politik di balik wacana amandemen memang menjadi sesuatu yang paling dikhawatirkan. Motif politik ini jelas tidak mengacu pada kebutuhan nasional atau bangsa," kata Lucius, Kamis (19/8).
"Ini hanya urusan para pemburu kekuasaan yang sudah memasang agenda politik demi mempertahankan kekuasaan," tambahnya.
Baginya, motif politik itu akan selalu muncul melalui banyak alasan. Khususnya lewat amandemen UUD 1945. Termasuk juga dengan menghubungkan persoalan pandemi COVID-19 sebagai alasan perpanjangan masa jabatan eksekutif dan legislatif.
ADVERTISEMENT
"Semakin banyak alasan untuk menguatkan rencana amandemen, semakin meyakinkan dugaan terkait dengan motif politik di balik wacana amandemen tersebut," ujarnya.
Pandemi COVID-19, kata Lucius, dijadikan alasan untuk memberikan pesimisme soal masa depan bangsa demi mendapatkan dukungan atas proyek 3 periode masa jabatan presiden.
Ketua MPR RI Bambang Soesatyo bersama para Wakil Ketua MPR RI bertemu Presiden Joko Widodo di Istana Bogor. Foto: Dok. Istimewa
Lebih lanjut, Lucius menilai potensi amandemen UUD 1945 bisa menjadi bola liar untuk mengubah banyak hal masih terbuka. Seperti dengan perpanjangan masa jabatan bagi pihak-pihak tertentu.
"Walaupun sejak awal tak direkomendasikan MPR, tetapi kebutuhan sebagian kalangan untuk mendukung penambahan masa jabatan presiden adalah fakta lain yang mungkin saja bisa terwujud jika amandemen jadi dilakukan," katanya.
Dia menjelaskan bahwa proses amandemen merupakan proses politik. Sementara, anggota MPR sebagian besar adalah politisi dari DPR. Sehingga, kepentingan politik masing-masing partai jelas akan terlihat selama proses amandemen dan tarik menarik antar kekuatan politik akan muncul.
ADVERTISEMENT
"Bisa saja sekarang mereka mengatakan amandemen hanya terkait PPHN, tetapi siapa bisa menjamin jika ada kekuatan politik yang dalam prosesnya nanti ingin mentransmisikan dukungan mereka dengan wacana masa jabatan presiden?" ujarnya.
"Karena akan kembali pada kompromi dan tukar guling kepentingan, maka saya rasa perlu untuk terus mewaspadai rencana amandemen konstitusi MPR ini," tambahnya.
Dia menyebut bahwa kewaspadaan itu makin penting karena di tengah kebuntuan akan dukungan publik, sebagian kalangan coba mengaitkan pandemi dengan masalah ketatanegaraan.
"Seolah-olah tuntutan pandemi yang akhirnya membuat konstitusi perlu diamandemen dengan meniupkan pesimisme bahwa kondisi pandemi akan mungkin berkepanjangan hingga 2024," pungkasnya.