Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.94.0
ADVERTISEMENT
Pagi tiba di kawasan Lagoon perairan Banda . Gunung api Banda menjulang tinggi dengan gagahnya. Sementara itu asap yang mengepul dari permukiman warga menandakan aktivitas sehari-sehari sudah dimulai di wilayah perbukitan di kawasan kepulauan Banda Neira , Maluku. Kepulauan yang menjadi salah satu sejarah penting dari berdirinya Republik Indonesia.
Wilayah tersebut menyimpan kisah tentang rempah yaitu pala yang sempat diperebutkan oleh bangsa Eropa pada abad 16 dan 17. Kini, daerah tersebut meninggalkan sepenggal cerita tentang sosok 'parkenier' atau pemilik kebun keturunan Belanda yang merupakan generasi terakhir. Ia bernama Pongky van den Broeke.
ADVERTISEMENT
Pongky merupakan sosok yang menjadi sejarah hidup dalam kisah pergolakan lahan pala di kawasan Banda Neira. Sosok kurus berkacamata itu mengatakan bahwa dirinya merupakan keturunan ke-13 dari pemilik kebun asal negeri kincir angin yaitu Paulus van den Broeke, adik dari Pieter Jan van den Broeke yang merupakan admiral Angkatan Laut Kerajaan Belanda yang melakukan pendaratan ke Pulau Banda pada tahun 1621.
Paulus yang merupakan parkenier pertama dari klan Van den Broeke di Kepulauan Banda memulai mengembangkan kebun pertamanya di Pulau Ay hingga Pulau Rhun. Dalam sebuah catatan jurnal Belanda Trouw, kebun pala milik keluarga Van de Broeke bisa menghasilkan 24 ribu pon atau 20 ton pala dan 6.000 pon atau 2,9 ton fuli (bunga pala) dengan 160 pekerja dan 55 budak.
Kini Pongky hanya mengurus kebun pala seluas 12,5 hektar, peninggalan ayahnya Benny William Van de Broeke. Pala tersebut oleh Pongky kini selain diolah menjadi manisan juga dikembangkan untuk diambil minyaknya (atsiri) dan dijual ke sejumlah negara.
ADVERTISEMENT
Berbagai cobaan dalam mengelola kebun tersebut pernah Pongky rasakan. Puncaknya yakni menjadi korban serangan pada konflik horizontal di wilayah Ambon pada tahun 1999. Ia beruntung masih bisa selamat. Akan tetapi istri, anak serta bibinya meninggal dunia pada peristiwa tersebut. Hal itu karena ia dan keluarganya dianggap keturunan Belanda yang dicap sebagai penjajah.
Namun peristiwa itu tidak membuatnya meninggalkan tanah kelahirannya. Peristiwa itu telah menjadi sejarah kelam dalam hidupnya. Akan tetapi ia menyatakan telah memaafkan semua hal lampau yang telah terjadi tersebut. Ia ingin hidup berdampingan dengan damai dan melanjutkan hidup dengan mengelola kebun pala.
"Dari dulu, nenek moyang kita hidup dari pala. Perkebunan ini dibangun dengan penuh pengorbanan. Tolong jaga peninggalan ini. Lestarikan. Rawat dia baik-baik untuk seterusnya sampai ke anak cucu," ujar pria 63 tahun tersebut, menuturkan pesan dari mendiang ayahnya, yang menguatkan dirinya tetap berkuat dengan pala di Banda Naira.
ADVERTISEMENT
***
Simak panduan lengkap corona di Pusat Informasi Corona .