Foto: Gelombang Penolakan RUU Omnibus Law Cipta Kerja di Berbagai Daerah
ADVERTISEMENT
Perjuangan buruh dalam menuntut hak untuk penghidupan yang layak nampaknya tak akan pernah usai. Berbagai tuntutan dari soal tenaga kontrak (outsourcing) hingga Upah Minimum Kota (UMK) yang selalu disuarakan para buruh di berbagai daerah saat Hari Buruh Internasional (Mayday) terus menggema. Kini para buruh kembali dihadapkan dengan masalah baru yakni rencana pemerintah menerbitkan RUU Omnibus Law Cipta Kerja (Cika).
ADVERTISEMENT
Tak pelak, rancangan aturan yang masuk ke DPR pada 12 Februari 2020 tersebut menuai kritik dan protes langsung dari berbagai pihak. Kelompok serikat pekerja, menjadi kalangan yang paling keras menyuarakan penolakannya. Alhasil gelombang demonstrasi pun pecah di berbagai daerah. Aksi penolakan pun bermula pada September 2019, berbagai aliansi buruh di berbagai daerah mengadakan unjuk rasa menyuarakan aspirasinya di depan gedung DPR RI hingga depan Istana Negara.
Para buruh menemukan ada beberapa pasal di dalam RUU Omnibus Law Cipta Kerja (Cika) hanya menguntungkan pengusaha, tapi tidak melindungi buruh bahkan cenderung menambah kerugian bagi kalangan pekerja. Sebagai contoh dalam pasal 88C draft RUU berbunyi, "Gubernur menetapkan UMP yang wajib dibayar pengusaha kepada pekerja". Konsekuensinya UMK dan Upah Minimum Sektoral dihapus.
ADVERTISEMENT
Dengan kata lain, aturan ini memungkinkan skema pengupahan dengan meniadakan upah minimum kabupaten/kota (UMK), upah minimum sektoral kabupaten/kota (UMSK), dan menjadikan UMP sebagai satu-satunya acuan besaran nilai gaji.
Tak hanya soal pengupahan, para buruh juga geram dengan aturan jam kerja yang ada di dalam RUU Cipta Kerja. Pasalnya di dalam draf RUU tidak ada lagi ketentuan mengenai 5 dan 6 hari kerja. Namun dalam Omnibus Law hanya menyebutkan waktu kerja paling lama 8 jam dalam 1 hari dan 40 jam dalam seminggu. Karena tidak ada batasan hari, para pekerja bisa dipekerjakan 10 jam dalam sehari selama 4 hari. Asalkan totalnya 40 jam.
Dalam Omnibus Law, juga diatur pengusaha dapat memberlakukan waktu kerja yang melebihi ketentuan waktu kerja untuk jenis pekerjaan atau sektor usaha tertentu. Dengan kata lain, ketentuan ini dapat melegalkan jam kerja melebihi 8 jam dalam 1 hari dan 40 jam dalam seminggu.
ADVERTISEMENT
Selanjutnya perkara lembur, di dalam draf Omnibus Law menetapkan jam lembur bagi pekerja paling banyak 4 jam dalam sehari dan 18 jam dalam seminggu. Padahal di dalam UU No 13 Tahun 2003, hitungan maksimal waktu lembur hanya 3 jam dalam sehari dan 14 jam seminggu.
Posisi buruh pun semakin terhimpit dengan upaya pemerintah memangkas besaran pesangon yang wajib dibayarkan pengusaha jika melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) pada karyawannya.
Meski menuai banyak polemik, draft RUU Omnibus Law Cipta Cipta Kerja (Cika) sudah diterima Ketua DPR RI Puan Maharani pada 12 Februari 2020. Draft itu diserahkan oleh Menteri Perkekonomian Airlangga Hartarto, didampingi Menteri Keuangan Sri Mulyani dan Menkumham Yasonna Laoly.
ADVERTISEMENT