Foto: Kisah Terang Layar Tancap yang Kini Redup Digilas Zaman

18 April 2021 17:11 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Abdul mengecek kondisi film 35mm untuk pemutaran film layar tancap. Foto: Galih Pradipta/ANTARA FOTO
zoom-in-whitePerbesar
Abdul mengecek kondisi film 35mm untuk pemutaran film layar tancap. Foto: Galih Pradipta/ANTARA FOTO
ADVERTISEMENT
Selepas isya, orang-orang mulai berkumpul menonton film lewat layar tancap di sebuah lapangan kampung setempat yang di tengah-tengahnya terdapat kain putih berukuran besar sekitar 7 x 3 meter membentang di antara dua tiang bambu yang tertancap di tanah.
ADVERTISEMENT
Tak lama berselang, lampu proyektor mulai menyorot dan sistem pengeras suara bekerja bersamaan dengan munculnya adegan-adegan dari sebuah film lawas Indonesia di kain putih tersebut.
Tumpukan film-film lawas Indonesia berformat 35mm yang menjadi koleksi film milik Abdul. Foto: Galih Pradipta/ANTARA FOTO
Rol film 35mm rusak tergantung di dinding. Foto: Galih Pradipta/ANTARA FOTO
Hiburan rakyat bagi warga pinggiran Jakarta yang masih berusaha bertahan di tengah gempuran teknologi digital khususnya di dunia perfilman. Film lawas Indonesia dan film Bollywood menjadi menu andalan dalam setiap pertunjukannya.
Segelintir komunitas penikmat film-film lawas seperti komunitas Persatuan Layar Tancap Indonesia (PLTI) mencoba melestarikan dan menjajakan berkeliling dari kampung ke kampung sebagai hiburan untuk warga.
Abdul membawa perlengkapan layar tancap dengan gerobak. Foto: Galih Pradipta/ANTARA FOTO
Teknisi menyiapkan layar putih berukuran 7X3 meter untuk pemutaran film layar tancap. Foto: Galih Pradipta/ANTARA FOTO
Teknisi menggulung ulang film 35mm untuk pemutaran film layar tancap. Foto: Galih Pradipta/ANTARA FOTO
Komunitas yang telah berdiri sejak 5 Desember 2013 tersebut saat ini telah memiliki 15 ranting yang tersebar di Jabodetabek, Karawang, dan Cirebon, bahkan anggotanya ada yang berasal dari luar negeri.
ADVERTISEMENT
Di era keemasannya, layar tancap adalah primadona hiburan kaum urban, terutama pada dekade 1970 hingga 1990an. Pada umumnya gelaran bioskop keliling tersebut merupakan hiburan yang disediakan oleh tuan rumah dari sebuah hajatan seperti pernikahan, khitanan atau ulang tahun. Tak pelak hiburan rakyat itu menjadi kesempatan buat kaum muda untuk berkumpul dan bercengkrama.
Teknisi menyiapkan film 35mm untuk pemutaran film layar tancap. Foto: Galih Pradipta/ANTARA FOTO
M. Zaki menyiapkan film untuk pemutaran layar tancap. Foto: Galih Pradipta/ANTARA FOTO
Seiring berkembangnya teknologi yang memunculkan sejumlah stasiun televisi, bioskop-bioskop modern dan laman internet, tontonan layar tancap mulai meredup karena tidak lagi dikerumuni penonton.
Terancam mati perlahan, layar tancap mencoba bertahan hidup lewat nostalgia masa lalu dan juga menjadi bahasa perlawanan terhadap digitalisasi yang membekap dunia sinema dan hiburan saat ini.
Namun bagi sebagian orang, layar tancap tetap bernilai sama seperti beberapa dekade silam, yakni sebagai ajang hiburan yang memiliki banyak kesan dan kenangan manis yang tersaji dalam setiap pertunjukannya.
ADVERTISEMENT
Foto dan Teks: Galih Pradipta Editor: Widodo S Jusuf