Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.1
ADVERTISEMENT
Terik matahari ditambah aroma laut bercampur limbah, tercium menyengat saat memasuki kawasan kampung nelayan Cilincing, Jakarta Utara. Deretan kapal kayu khas nelayan jaring terparkir tak beraturan di pinggir dermaga.
ADVERTISEMENT
Tampak seorang nelayan sedang memperbaiki jaring. Pria paruh baya itu bernama Royani yang sejak tahun 2006 tinggal di kawasan tersebut dan menggantungkan hidupnya dari laut.
Royani yang biasa disapa Pitak itu, mencari ikan di sekitar Teluk Jakarta bersama teman perantauannya, Judi dan Sukardi. Mereka bertiga adalah teman kecil di sebuah kampung pesisir di Indramayu, Jawa Barat.
Seperti umumnya tradisi masyarakat jelang hari raya Idul Fitri , mereka juga berencana untuk pulang kampung . Mereka mudik menggunakan kapal seperti rutinitas sebelumnya.
Tahun ini, mereka memutuskan berangkat agak awal, sehari sebelum larangan dan penyekatan mudik oleh pemerintah. Berbagai kebutuhan selama di perjalanan mereka siapkan, seperti logistik makanan, bahan bakar dan tak lupa oleh-oleh untuk keluarga. Lama perjalanan menuju Indramayu memang tidak bisa diprediksi, tergantung cuaca dan kondisi perairan.
"Ya kita liat cuaca juga, kan pakai kapal kalau anginnya kencang bisa bahaya," ujar Royani dengan logat Indramayu yang kental.
ADVERTISEMENT
Perjalanan dimulai sore hari saat sinar mentari mulai hangat dengan rute perairan laut Jawa. Menjelang dini hari, kabut mulai muncul menyelimuti permukaan, bergerak pelan menutupi cakrawala.
Sang Nakhoda pun memberikan perintah untuk mematikan mesin dan melepas jangkar karena kabut membuat jarak pandang sangat terbatas. Kapal berhenti dan mereka beristirahat sambil menunggu waktu sahur tiba.
Usai santap sahur, perjalanan pun dilanjutkan. Laut masih bersahabat, riak gelombang muncul malu-malu. Memasuki tengah hari, suhu sangat menyengat, puncaknya menyentuh 47 derajat celsius. Cukup membuat energi terkuras tapi hal itu tak menyurutkan ABK untuk tetap berpuasa.
Tak terasa, perjalanan sudah sehari semalam. Tibalah kapal mereka di perairan Eretan, perbatasan Subang-Indramayu. Royani memutuskan untuk mencari ikan. Bendera pancang mulai dilepaskan ke laut sebagai titik utama dan Sukardi mulai menabur jaring, sementara Judi memasak nasi dan air panas untuk berbuka puasa.
ADVERTISEMENT
"Lumayan kalau dapat ikan, bisa dijual dan tambah-tambah uang buat keluarga di kampung," kata pemilik kapal Erika Jaya ini.
Menjelang tengah malam, saat menunggu tarik jaring, mulai terdengar suara gemuruh dan kilatan petir. Hujan pun turun, ombak yang awalnya bergerak tenang mendadak berubah menjadi gelombang kencang yang membuat air laut masuk ke dalam kapal.
Memang, hantaman gelombang itu berlangsung hanya 20 menit tapi cukup membuat mereka berjibaku mengeluarkan air yang masuk ke lambung kapal.
Setelah cuaca membaik, perjalanan dilanjutkan kembali. Setelah menempuh kurang lebih dua jam dari titik terakhir, tibalah di daerah Pancer Daun, yaitu kawasan belantara mangrove yang di tengahnya membentang banyak aliran sungai.
Terlihat, sekelompok burung kuntul terbang 'mengawal' kedatangan kapal. Alunan musik dangdut pantura mulai terdengar dan suara manusia bersahutan menawar hasil laut, tanda perkampungan tak jauh lagi.
ADVERTISEMENT
Tak lama berselang, kapal mulai sandar dan mereka disambut dekapan erat dari kerabat. Sebuah pelukan sesaat, pelepas dahaga rindu yang berat.
ADVERTISEMENT
***