Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.103.0

ADVERTISEMENT
Diro Utomo, seorang pria yang berusia 83 tahun menjadi saksi kelamnya peristiwa pasca-G30S/PKI. Dalam kesaksiannya, ia menceritakan tersiksanya menjadi tawanan politik bersama ribuan tahanan lainnya yang dibuang di Pulau Buru, Maluku.
ADVERTISEMENT
Di Pulau Buru, ia ditempatkan di Unit XVIII. Tak ada alasan yang jelas mengapa ia ditangkap dan ditahan.
Pulau Buru menjadi tempat pemanfaatan (Tefaat) yang kemudian mengalami perubahan menjadi Inrehab (Instalasi Rehabilitas) untuk para tahanan politik. Mereka para tahanan dimanfaatkan untuk membangun kawasan persawahan.
Tidak semuanya 12 ribu tahanan politik yang dibawa ke Pulau Buru terkait dengan organisasi PKI. Banyak dari mereka yang difitnah, serta dituduh sebagai anggota PKI.
“Pada saat itu telunjuk lebih mematikan daripada senjata, seseorang yang tidak suka sama kita dengan mudahnya menunjuk kita sebagai PKI sehingga kita ditangkap dan dijadikan tahanan politik tanpa melalui proses pengadilan,” ujar Diro.
Selain Diro, ada cerita lain yang serupa. Solikhin, pria berusia 84 tahun ditangkap bersama istrinya pada pertengahan 1966 di Tasikmalaya.
ADVERTISEMENT
Alasan ia ditangkap karena di halaman rumahnya terdapat peta rencana penyerangan kantor polisi. Padahal ia tidak pernah tahu asal-usul peta tersebut.
Selama menjalani kerja paksa, para tahanan politik pun kerap mendapatkan kekerasan dari tentara yang mengawasi mereka.
“Boleh dibilang Pulau Buru ini dibangun dengan keringat dan air mata tahanan politik. Sehingga Buru kini telah menjadi lumbung padi di kawasan Indonesia Timur”, tutur Solikhin.
Mulai tahun 1972, banyak istri dan anak para tapol didatangkan dari Pulau Jawa sehingga setelah masa pembebasan pada tahun 1979 banyak para mantan tahanan politik lebih memilih menetap di Pulau Buru.
Kehadiran anak-anak tapol yang masih gadis pun menimbulkan benih-benih cinta dari para tahanan politik yang masih bujangan. Banyak dari mereka yang menikah dan memilih menetap di Buru.
ADVERTISEMENT
Seperti Sugito, pria kelahiran 1942 itu jatuh hati dengan seorang anak tahanan politik bernama Sugiharti yang akhirnya menikah pada masa tahanan politik 1978. Meski di akte pernikahannya tertulis pekerjaan seorang tahanan politik.
Selepas masa tahanan, para tahanan politik yang berada di Pulau Buru kini sudah hidup dengan tenang.
Mereka pun telah berbaur dengan para transmigran yang didatangkan dari Pulau Jawa. Walaupun sesekali ada saja yang menyebut mereka dengan cap "PKI".
Pascapemilu 2019, mantan tahanan politk berharap siapa pun presiden yang terpilih nanti dapat mengembalikan nama baik mereka dan keluarganya agar dapat hidup lebih aman dan tentram. Harapan tak terjadi lagi peristiwa yang pernah mereka rasakan pun terus terucap.