Fraksi Golkar Tolak PPHN Lewat Konvensi Ketatanegaraan: Tak Kuat Hukumnya

26 Juli 2022 11:23 WIB
ยท
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ketua Fraksi Partai Golkar (FPG) MPR, Idris Laena. Foto: Dok pribadi
zoom-in-whitePerbesar
Ketua Fraksi Partai Golkar (FPG) MPR, Idris Laena. Foto: Dok pribadi
ADVERTISEMENT
Ketua Fraksi Partai Golkar MPR RI, Idris Laena, memastikan semua fraksi dan kelompok MPR dapat memahami pentingnya Pokok-Pokok Haluan Negara (PPHN). Pimpinan MPR, atas laporan Badan Pengkajian MPR, sebelumnya telah sepakat menghadirkan PPHN salah satunya dengan cara konvensi ketatanegaraan, bukan amandemen UUD 1945.
ADVERTISEMENT
Namun, Idris mengatakan pihaknya tak setuju apabila PPHN dihadirkan lewat konvensi ketatanegaraan. Menurutnya, konvensi ketatanegaraan tak memiliki kekuatan hukum yang mengikat.
"Jika Harus dimasukkan dalam substansi UUD atau ditetapkan dengan TAP MPR, maka ada konsekuensi amandemen UUD 1945, yang dalam menghadapi tahun-tahun politik ke depan sangat tidak populis. Akan menghadapi banyak tantangan. Sarat dengan kepentingan politik," kata Idris dalam pernyataannya dikutip kumparan, Selasa (26/7).
"[Maka] muncul rekomendasi Badan Pengkajian, wacana penetapan TAP MPR RI sebagai Dasar Hukum PPHN tanpa amandemen UUD 1945 yang disebut konvensi ketatanegaraan. Terhadap wacana ini, Fraksi Partai Golkar MPR RI dengan tegas menolak. Konvensi jelas tidak punya kekuatan hukum yang mengikat terhadap lembaga negara yang lain, apalagi untuk mengikat seluruh warga Indonesia," imbuh dia.
ADVERTISEMENT
Idris melanjutkan, apabila konvensi yang dijadikan contoh adalah Sidang Tahunan MPR RI setiap 16 Agustus yang setiap tahun tahun dilaksanakan tanpa diatur oleh konstitusi, menurutnya pidato tahunan bukan produk hukum.
"Apalagi pada saat tradisi pidato Sidang Tahunan dimulai justru ketika MPR RI memiliki kedudukan dan kewenangan tertinggi sebagai pelaksana kedaulatan rakyat, sebagaimana pernah diatur dalam UUD 1945 bahwa kedaulatan di tangan rakyat dan dilaksanakan oleh MPR," tambah dia.
"Sementara sejak amandemen konstitusi, MPR sudah tidak memiliki kedudukan sebagai lembaga tertinggi negara. Karena kedaulatan di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang," ujar dia.
Idris kemudian menyinggung bahwa rekomendasi Badan Pengkajian MPR menjadikan Pasal 100 Tata Tertib MPR sebagai landasan produk hukum PPHN. Tetapi menurut Idris, ini pasti akan menjadi perdebatan panjang di kalangan masyarakat.
ADVERTISEMENT
Ia mengingatkan tata tertib masing-masing lembaga hanya mengikat ke dalam dan bukan bagian dari hierarki perundang-undangan di Indonesia. Idris mengatakan, Fraksi Partai Golkar lebih setuju apabila PPHN dibuat melalui UU. Sebab akan lebih kuat hukumnya dibandingkan melalui konvensi ketatanegaraan.
"Fraksi Golkar pasti akan menolak wacana menghadirkan PPHN dengan landasan hukum yang mengada-ngada dan terkesan dipaksakan," ujarnya.
"Jika PPHN dibuat dengan Undang-Undang sebagai landasan hukumnya, akan lebih baik karena Undang-Undang lebih mengikat sebagai produk hukum dan sekaligus dapat menggantikan Undang-Undang RPJPM yang akan segera berakhir," tandas dia.
Sebelumnya, MPR melaksanakan Rapat Gabungan yang diikuti Pimpinan MPR RI, pimpinan fraksi dan kelompok, serta Pimpinan Badan Kajian MPR RI terkait laporan Badan Kajian tentang PPHN, persiapan sidang tahunan, dan persiapan Hari Konstitusi pada Senin (25/6). Dalam rapat, MPR telah menerima rancangan PPHN dari Badan Pengkajian MPR dan sepakat membentuk panitia ad hoc untuk mengkaji pengadaan PPHN lewat konvensi ketatanegaraan.
ADVERTISEMENT
Rancangan PPHN tersebut selanjutnya akan dibahas pada rapat paripurna MPR pada awal September mendatang. Apabila rancangan disetujui mayoritas anggota MPR, maka panitia ad hoc akan resmi dibentuk. Selanjutnya, keputusan apakah PPHN dapat dihadirkan melalui konvensi ketatanegaraan akan sepenuhnya menjadi wewenang panitia ad hoc.
"Situasi politik hari ini tidak memungkinkan kita melakukan perubahan atau amandemen atas UUD karena dinamika politik yang cukup tinggi," kata Ketua MPR Bambang Soesatyo usai rapat gabungan Pimpinan MPR di Kompleks DPR Senayan, Senin (25/7).
"Maka terobosan itu adalah dengan berpijak pada argumentasi atau dasar hukum Pasal 100 di tatib Ayat 2 khususnya bahwa ketetapan MPR dapat dilakukan melalui konvensi ketatanegaraan yang bisa mengikat ke dalam maupun ke luar," imbuh dia.
ADVERTISEMENT