Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.103.0
Gabriel García Márquez: Hidup untuk Berkisah
7 Maret 2018 0:05 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:11 WIB

ADVERTISEMENT
Google Doodle, Senin (6/3), dihiasi warna-warni dedaunan dan sejumlah ikon khas Amerika Latin. Pada sudut kiri tampak seorang laki-laki berkulit cokelat dengan kumis tebal hitam legam: Gabriel García Márquez.
ADVERTISEMENT
Mengapa Google Doodle merayakannya?
Gabriel García Márquez lahir di Arataca, Kolumbia, pada 6 Maret 1927. Penulis satu ini dikenal dengan gaya kesusatraannya yang disebut “realisme-magis”.
Saat masih kecil, neneknya kerap “menghujani” Gabo, panggilan akrab García Márquez, dengan kisah tentang peristiwa-peristiwa magis yang dituturkan seolah sebagai fakta. Pengalaman itulah yang turut membentuk gaya bercerita Gabo di kemudian hari.
García Márquez merupakan satu dari deretan penulis paling berpengaruh di dunia pada abad ke-20. Tahun 1982, ia menerima hadiah Nobel Sastra. Karya-karyanya telah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa.
Di Indonesia, misal, dapat kita temukan beberapa karyanya yang telah diterjemahkan: Seratus Tahun Kesunyian (Cien Años de Soledad), Sang Jenderal dalam Labirinnya (El General en su Laberinto), Tumbangnya Seorang Diktator (El Otoño del Patriarca), dan Cerita Sepanjang Derita Cholera (El Amor en Los Tiempos del Cólera).

Eka Kurniawan, penulis Indonesia nominator The Man Booker International Prize, pada 2016 pun turut memuji García Márquez. Dalam laman pribadinya, Eka menyebut García Márquez sebagai salah satu penulis hebat di abad ke-20.
ADVERTISEMENT
“Penulis lahir di setiap sudut dunia, mereka hebat dan melahirkan karya-karya besar; tapi seperti sebelumnya, semua itu hanya perlu diberi tanda sederhana: abad ini melahirkan raksasa tunggal. Gabriel García Márquez. Gurunya orang-orang hebat, yang menyiapkan bahu mereka untuk pijakan raksasa ini dengan kerendahan hati: Hemingway, Faulkner, Kawabata, Kafka.”
“Bagi saya, ia sesederhana raksasa kesusastraan abad 20 dengan sedikit pesimisme, barangkali kesusastraan dunia tak akan pernah menghasilkan manusia semacam ini lagi. Bagi saya, hanya sedikit raksasa pernah dilahirkan dan dikenal.”
García Márquez lulus studi hukum di National University of Colombia. Pada 1948, dia menjadi reporter untuk sebuah surat kabar Kolumbia, El Espectador. Sejak pertengahan dekade 1950-an ia mulai menjadi koresponden luar negeri di Roma, Paris, Barcelona, Caracas, dan New York.
ADVERTISEMENT
Karier kepenulisannya memang sulit dilepaskan dari pekerjaannya sebagai jurnalis. Namanya bahkan mungkin lebih dulu cemerlang dikenal sebagai jurnalis daripada sastrawan realisme-magis. Ia sendiri baru menerbitkan buku pertamanya yang diperhitungkan ketika usia 40 tahun, yakni Seratus Tahun Kesunyian pada 1967.
Sebelum itu, ia memang telah menulis cerita pendek dan novela sejak usia dua puluhan. Tetapi belum banyak yang memperhitungkannya.

Lompatan karier kepenulisannya terjadi pada 1955, ketika ia menulis belasan seri hasil investigasi tentang skandal di tubuh militer Kolumbia, seperti diuraikan dalam Columbia Journalism Review.
Saat itu kapal perusak milik angkatan laut Kolombia terombang-ambing di Laut Karibia akibat diterjang gelombang besar. Satu dari delapan awak kapal selamat dari musibah tersebut, setelah sepuluh hari berada di tengah laut dengan sebuah rakit tanpa makan atau minum. Orang itu adalah Luis Alejandro Velasco.
ADVERTISEMENT
Seorang editor El Espectador menugaskan García Márquez, yang saat itu berusia 27 tahun, untuk mengangkat kisah musibah tersebut. Ia memang dipercaya sebagai penulis feature yang andal.
Ketika seri ke-14 dari hasil investigasinya dipublikasikan, para pelaut menyadari bahwa nasib sial yang menimpa kapal tersebut bukan disebabkan oleh ombak raksasa dan badai seperti diklaim oleh militer. Melainkan, karena kelalaian dan pelanggaran yang dilakukan militer sendiri.
Kapal terombang-ambing karena kelebihan beban di dek kapal. Muatan tersebut di antaranya berupa setumpuk televisi, mesin cuci, dan lemari es yang dibeli dari Amerika Serikat. Barang-barang itu ternyata selundupan.
Kesalahan lain yang ditemukan García Márquez ialah dihentikannya misi pencarian korban selamat sejak empat hari pasca-peristiwa itu.
Saat seri terakhir investigasi itu terbit, penjualan surat kabar El Espectador meningkat hampir dua kali lipat. Publik menyukai hasil investigasi García Márquez.
ADVERTISEMENT
Namun, yang membuat kisah itu menjadi demikian populer ialah karena kepiawaiannya mengisahkan Velasco--satu-satunya korban selamat--dengan narasi yang begitu kuat, dramatis, dan menarik.
Pemerintah menyangkal semua hasil investigasi tersebut, sedangkan García Márquez pun belum tuntas menyampaikan kisahnya.
Untuk memperkuat bukti-bukti, ia mencari awak kapal yang memiliki kamera dan membeli foto-foto yang memperlihatkan kargo ilegal dengan label perusahaan yang tampak begitu jelas. Pemerintah makin naik pitam.
Khawatir akan keselamatan García Márquez, editor El Espectador mengirimnya ke Paris untuk menjadi koresponden di sana. Surat kabar itu pun diberedel beberapa bulan kemudian sejak itu.
Kisah investigasi itu kemudian dibukukan dengan judul The Story of Shipwreck Sailor (Relato de Un Náufrago) yang terbit pada 1970. “Di sinilah bakat penceritaannya muncul,” kata Raymond Williams, profesor sastra Amerika Latin di University of California.
ADVERTISEMENT
“Kemampuan dia untuk mempertahankan tingkat ketegangan di seluruh bagian cerita adalah sesuatu yang kemudian menjadi elemen kuat dari novelnya.”
García Márquez tetap rajin mengasah kemampuan menulisnya meski berada di luar tanah airnya. Kumpulan cerita pendek pertamanya sebetulnya sudah terbit pada 1955 dengan judul Leaf Storm (La Hojarasca).

Apa yang membuat cerita yang ditulis García Márquez memikat? Sebagai seorang jurnalis, ia punya metode sendiri. Ia enggan menggunakan tape recorder selama mewawancarai narasumbernya.
Bagi Garcia Marquez, pembicaraan dengan narasumber mestinya tidak direcoki dengan mesin maupun pekerjaan mencatat. Yang terpenting adalah pembicaraan panjang dan menangkap kesan.
“Masalahnya adalah ketika Anda merekam saat wawancara, sikap Anda berubah. Dalam kasus saya, saya langsung menerapkan sikap defensif. … Cara terbaik, saya rasa, adalah dengan percakapan panjang tanpa sang jurnalis mencatat apa pun,” kata García Márquez, dikutip dari Huffington Post.
ADVERTISEMENT
Kemudian, lanjutnya, “setelah itu mengingat percakapan tersebut dan menulisnya sebagai sebuah impresi atas apa yang dirasakan, tidak harus berekspresi menggunakan kata-kata yang tepat (dari narasumber). Metode lain yang berguna adalah membuat catatan dan kemudian menafsirkannya dengan loyalitas tertentu kepada orang yang diwawancarai.”
Kesukaan García Márquez pada jurnalisme tidak bisa dipungkiri. Ia bahkan meyakini profesi sejatinya adalah jurnalis, walau ia tidak begitu menyukai kondisi kerjanya.
Jurnalisme dan sastra telah berkelindan dalam karya-karya García Márquez. Ia pandai memintal fakta ataupun fiksi, katakanlah unsur realis dan magis.
“Fiksi telah membantu karya jurnalistikku karena telah memberinya nilai sastra. Jurnalisme telah membantu karya fiksiku karena telah membuatku berhubungan dekat dengan kenyataan,” kata García Márquez.
ADVERTISEMENT
Pada 1960-an, García Márquez pindah ke Mexico City, Meksiko. Di sana ia bekerja sebagai penulis naskah dan jurnalis. Di kota itu pula, ia menerbitkan novel pertamanya pada 1967. Enam tahun kemudian, 1973, García Márquez pindah ke Barcelona, Spanyol, dan beberapa kali melakukan perjalanan ke Kuba.
Dalam perjalanan ke Kuba itu, ia mulai menjalin persahabatan dengan pemimpin Kuba Fidel Castro. Tak ayal ia pun memiliki sikap politik yang berpihak pada kelompok kiri. Sikap politiknya tersebut membuat nama García Márquez kurang populer di AS.
Menurut The New York Times, pemerintah AS menolak visa García Márquez selama lebih dari tiga dekade. Semua itu karena dukungannya terhadap politik sayap kiri yang ditentang oleh Washington dan persahabatannya dengan Fidel Castro.

Tahun 1982, García Márquez memenangkan Nobel Sastra. Pada malam 20 Oktober tahun itu, menurut harian Kolumbia El Tiempo, kaki García Márquez gemetar setelah mengetahui informasi soal Nobel Sastra.
ADVERTISEMENT
Ia berlari ke rumah sahabatnya, Alvaro Mutis. Mutislah yang melihat kaki García Márquez gemetar ketika masuk ke rumah dia.
Sahabatnya itu menduga García Márquez tengah bertengkar dengan istrinya. Namun, apa kata Márquez?
“Lebih buruk lagi. Mereka baru saja memberi saya hadiah Nobel.”
Tujuh belas tahun sebelum penganugerahan Nobel Sastra untuknya itu, saat berkendara pulang dari liburan keluarga pada 1965, García Márquez menuturkan sikap kepenulisannya.
“Saya harus menceritakan kisah-kisah sebagaimana cara nenek saya menceritakannya.”
García Márquez meninggal dunia di usia 87 tahun di Mexico City, 17 April 2014--lima belas tahun setelah ia didiagnosa menderita kanker pada 1999. Pada 2002, ia sempat mempublikasikan memoarnya yang berjudul Living to Tell the Tale (Vivir Para Contarla).
ADVERTISEMENT
===============
Simak ulasan mendalam lainnya dengan mengikuti topik Outline!