Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Hanya dalam waktu satu jam, rapat dengar pendapat antara Komisi III DPR dan Wakil Menkumham Edward Omar Sharif Hiariej rampung. Rapat tersebut membahas Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP) yang pengesahannya tertunda sejak September 2019.
Hari itu, Rabu (25/5), tak ada perdebatan substansial antara DPR dan pemerintah. Eddy, sapaan Wamenkumham, menyampaikan hasil sosialisasi RKUHP di 12 kota, dan memaparkan penyesuaian 16 pasal yang dianggap kontroversial dalam bahasan terakhir RKUHP 2019 lalu.
Rapat di Senayan itu juga membahas soal pemidanaan lesbian, gay, biseksual, dan transgender (LGBT ). Anggota Komisi III dari Demokrat, Hinca Pandjaitan, mengingatkan pemerintah agar pemidanaan LGBT dijelaskan secara eksplisit atau memorie van toelichting (catatan yang menerangkan latar belakang rumusan pasal). Sebab, rumusan di KUHP bukanlah pemidanaan terhadap LGBT, melainkan terhadap pelaku cabul terhadap sesama jenis.
Hinca menegaskan, penjelasan eksplisit penting agar tak memicu multitafsir di ruang publik. “Karena istilah yang masyarakat pahami adalah bahwa ini [LGBT ].”
Merespons Hinca, Eddy menjelaskan bahwa kesalahpahaman terjadi karena masyarakat tak membaca detail pasal demi pasal RKUHP. Namun, ia meyakini sosialisasi di 12 kota bakal menghapus kesalahpahaman itu.
Pada kesempatan itu, anggota Komisi III dari Gerindra, Habiburokhman, mendorong RKUHP segera disahkan agar LGBT tak meluas.
“LGBT jelas dilarang di KUHP yang baru. Ini menjawab kegelisahan di masyarakat bahwa perilaku yang menyimpang dari norma bisa ditindak tegas agar tidak mewabah,” ujar Habiburokhman.
Persoalan LGBT kembali ramai diperbincangkan usai Deddy Corbuzier, dalam YouTube-nya, mewawancarai Ragil Mahardika, gay asal Indonesia yang menikah dengan pasangannya, Fred, yang berkewarganegaraan Jerman, Mei lalu. Ragil bercerita soal kehidupannya sebagai gay, termasuk pernikahannya.
Video tersebut menuai protes khalayak, termasuk ormas Islam dan anggota DPR, karena dianggap sebagai kampanye mendorong LGBT. Akhirnya, Deddy menurunkan konten itu dan meminta maaf.
Beberapa waktu kemudian, Kedubes Inggris di Jakarta mengibarkan bendera LGBT dalam rangka memperingati Hari Internasional Melawan Homofobia, Transfobia, dan Bifobia (IDAHOBIT) pada 17 Mei.
Rentetan kejadian itu mencuatkan kembali anggapan perlunya aturan soal LGBT, dan dari sinilah pengesahan pasalnya di RKUHP disinggung lagi.
“Untuk membuktikan Indonesia adalah negara hukum, bukan hukum rimba, dan bahwa negara melaksanakan kewajibannya melindungi seluruh rakyat Indonesia, termasuk dari dampak-dampak negatif LGBT,” kata Wakil Ketua MPR dari Fraksi PKS, Hidayat Nur Wahid.
Menanggapi desakan itu, Menko Polhukam Mahfud MD menyatakan pemidanaan LGBT sudah masuk dalam draf RKUHP, tapi tertunda pengesahannya pada 2019. Pernyataan Mahfud itu lantas menuai pro dan kontra karena menyiratkan bahwa seseorang dapat dihukum karena LGBT.
Ucapan Mahfud pun dibantah Wamenkumham. Ia menegaskan, RKUHP tidak secara eksplisit mengatur pemidanaan LGBT. Yang diatur adalah pencabulan terhadap lawan jenis dan sesama jenis.
Belakangan, melalui akun Twitter-nya, Mahfud MD mengatakan pemidanaan LGBT yang ia maksud adalah sama seperti yang disampaikan Eddy Hiariej.
“Wamen benar, saya benar. Di RKUHP memang tak ada kata ‘LGBT’, tapi ada ancaman bagi pidana kesusilaan dan hubungan seks sesama jenis dalam situasi dan cara tertentu,” cuit Mahfud.
RKUHP, berdasarkan kesepakatan Komisi III dan pemerintah, tinggal disahkan dalam Rapat Paripurna DPR. Mereka menilai tak perlu lagi ada pembahasan substansi. Salah satu alasannya karena RKUHP ini bersifat carry over dari periode lalu dan telah disepakati di tingkat komisi. Hanya diperlukan proofread (uji baca) oleh pemerintah untuk mengindari salah ketik.
“Dari hasil pembicaraan dengan pimpinan Komisi III DPR, sepertinya [RKUHP] akan diselesaikan pada Juli 2022,” kata Eddy.
Tak ada lagi perdebatan di antara pemerintah dan DPR. LGBT diatur sebagai bagian dari pasal percabulan. Dalam draf terbaru, rumusan soal perbuatan cabul terhadap sesama jenis dimuat dalam Pasal 418. Berikut bunyinya:
(1) Setiap Orang yang melakukan perbuatan cabul terhadap orang lain yang berbeda atau sama jenis kelaminnya:
a. di depan umum dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun 6 (enam) bulan atau pidana denda paling banyak kategori III.
b. secara paksa dengan Kekerasan atau Ancaman Kekerasan dipidana dengan pidana penjara paling lama 9 (sembilan) tahun.
c. yang dipublikasikan sebagai muatan pornografi dipidana dengan pidana penjara paling lama 9 (sembilan) tahun.
(2) Setiap Orang dengan Kekerasan atau Ancaman Kekerasan memaksa orang lain untuk melakukan perbuatan cabul terhadap dirinya dipidana dengan pidana penjara paling lama 9 (sembilan) tahun.
Upaya menggagas RKUHP untuk menggantikan KUHP—yang notabene produk hukum warisan Belanda—sudah berlangsung sejak 1963, tepatnya dalam Seminar Hukum Nasional I di Semarang.
Pada 2015, diskusi makin intens ketika Jokowi mengirimkan Surat Presiden yang disertai naskah akademik dan draf RKUHP ke DPR untuk dibahas.
Dalam naskah akademik itu, tim perumus RKUHP dari pemerintah menyatakan kesusilaan sebaiknya tidak dibatasi pada pengertian kesusilaan secara seksual, tapi juga norma kepatutan bertingkah laku dalam pergaulan masyarakat. Saat itulah muncul rencana memidana perbuatan cabul terhadap sesama jenis.
Namun, dalam draf awal RKUHP yang diserahkan ke DPR Juni 2015, larangan perbuatan cabul terhadap sesama jenis tak berbeda dari Pasal 292 KUHP yang berlaku saat ini. Isinya sama-sama memidana perbuatan cabul sesama jenis apabila korbannya anak-anak atau di bawah 18 tahun. Berikut rinciannya:
Pasal 292 KUHP:
Orang yang cukup umur, yang melakukan perbuatan cabul dengan orang lain sama kelamin, yang diketahui atau sepatutnya harus diduga, bahwa belum cukup umur, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun.
Pasal 495 RKUHP [versi Juni 2015]:
(1) Setiap orang yang melakukan perbuatan cabul dengan orang lain yang sama jenis kelaminnya yang diketahui atau patut diduga belum berumur 18 (delapan belas) tahun, dipidana dengan pidana penjara paling lama 9 (sembilan) tahun.
(2) Dipidana dengan pidana yang sama ditambah dengan sepertiga jika perbuatan cabul sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan cara seks oral atau seks anal atau semua bentuk pertemuan organ non-kelamin dengan alat kelamin yang dilakukan secara homoseksual.
Di tengah pembahasan RKUHP, muncul gugatan di Mahkamah Konstitusi pada 2016 yang diajukan Aliansi Cinta Keluarga Indonesia yang digawangi Guru Besar IPB Prof. Euis Sunarti dkk.
Mereka meminta MK memperluas makna zina sehingga semua hubungan seks di luar nikah dapat dipidana. Mereka juga meminta Pasal 292 KUHP tak memiliki batasan umur sehingga sesama orang dewasa yang melakukan perbuatan cabul bisa dipidana. Para penggugat meminta kepada MK karena pembahasan RKUHP di DPR terlalu lama.
Namun, MK menolak permohonan Prof. Euis dkk. Putusan yang dibacakan 14 Desember 2017 itu diwarnai beda pendapat (dissenting opinion). Ada empat hakim MK yang berpendapat seharusnya gugatan Prof. Euis dkk diterima.
Namun, berdasarkan suara terbanyak, MK menyatakan tak berwenang memperluas makna ‘zina’ seperti yang diminta para pemohon. Menurut MK, perluasan makna merupakan wewenang pembuat UU (pemerintah dan DPR). MK pun meminta pembuat UU untuk mengaturnya dalam RKUHP.
“Gagasan pembaruan yang ditawarkan para pemohon seharusnya diajukan kepada pembentuk undang-undang, dan hal tersebut seharusnya menjadi masukan penting bagi pembentuk undang-undang dalam proses penyelesaian perumusan KUHP yang baru,” bunyi putusan MK.
Pasca-putusan MK, DPR dan pemerintah mulai intens merumuskan pasal terkait LGBT. Kesepakatannya, larangan perbuatan cabul sesama jenis diperluas menjadi antara sesama orang dewasa. Namun, tak ada bahasan soal pemidanaan bagi mereka yang LGBT. Perluasan ini masuk draf RKUHP versi 2 Februari 2018.
Intensnya pembahasan tak lepas dari ucapan Ketua MPR yang juga Ketua Umum PAN, Zulkifli Hasan, pada awal 2018 yang menyebut lima fraksi di DPR mendukung LGBT. Namun, belakangan diketahui bahwa seluruh fraksi di DPR mendukung RKUHP mengatur larangan percabulan sesama jenis.
“Setelah draf RKUHP diserahkan [tahun 2015] itu, masih sama dengan pengaturan di KUHP, yaitu [pencabulan] dilarang jika dilakukan terhadap anak-anak. Petanya berubah setelah putusan MK,” ujar anggota tim perumus RKUHP, Chairul Huda, kepada kumparan, Kamis (26/5).
“Kami bikin normanya itu pada 2018. Semua kami fokuskan,” ucap anggota Panja RKUHP DPR 2015-2019, Teuku Taufiqulhadi.
Sejak 2018, perumusan pasal larangan perbuatan cabul terhadap sesama jenis terus disempurnakan hingga akhirnya seperti tertulis dalam Pasal 418 RKUHP.
Dua Kubu
Pembahasan substansi RKUHP di internal pemerintah tak mulus-mulus amat. Ada beda pandangan di antara tim perumus RKUHP mengenai pemidanaan terhadap LGBT, khususnya homoseksual dan lesbian. Menurut Chairul Huda, tim perumus seolah terbagi dalam dua kubu: nasionalis dan religius.
Tim perumus RKUHP beranggotakan para ahli pidana dengan gelar minimal doktor. Namun, anggota bisa berubah tiap presiden berganti—meski tak jarang pula ada yang berlanjut.
Mereka yang duduk dalam tim perumus antara lain almarhum Prof. Muladi (Undip), Prof. Barda Nawawi Arief (Undip), Prof. Harkristuti Harkrisnowo (UI), Prof. Eddy Hiariej (UGM), Prof. Jacob Elfinus Sahetapy (Unair), Prof. Enny Nurbaningsih (UGM), Prof. Nyoman Serikat Putra Jaya (Undip), Prof. Marjono Reksodiputro (UI), Dr. Suhariyono Ar (UI), Dr. Muzakkir (UII Yogyakarta), dan Dr. Chairul Huda (Universitas Muhammadiyah Jakarta).
“Di tim perancang saya melihatnya ada yang nasionalis, ada yang religius. Saya, Dr. Muzakkir, Prof. Barda itu adalah orang-orang yang religius dalam konteks [menghendaki] pengaturan pasal [larangan LGBT],” kata Chairul Huda.
Prof. Harkristuti Harkrisnowo tak menampik adanya perbedaan latar belakang dalam tim. “Ada yang sangat islami, ada akademisi, penegak hukum, pemerintah, peneliti, jadi macam-macam,” ujarnya.
Chairul Huda mengatakan, saat pembahasan RKUHP, kubu religius ingin larangan terkait LGBT diperketat. Tak hanya soal percabulan, tapi juga kohabitasi atau kumpul kebo yang tak sebatas laki-laki dan perempuan, melainkan sesama jenis pula.
Harkristuti membenarkan perkara kohabitasi muncul dalam pembahasan. Mereka yang kontra berargumentasi, kohabitasi sesama jenis sulit dibuktikan.
“Ini pernah ditanyakan kepada saya yang dosen. Mahasiswa enggak semua kaya; ada yang kontrak sekamar berdua. Terus kalau mereka dituduh LGBT bagaimana? Katanya nanti dibuktikan [LGBT atau tidak]. Tapi kan sebelum itu ditangkap dulu, diproses; itu sudah melanggar HAM. Enggak masuk akal karena akan menimbulkan banyak kriminalisasi,” kata Harkristuti.
Ada pula usul untuk memperkecil ruang gerak LGBT seperti larangan promosi konten berbau homoseksual; juga gagasan untuk menindak upaya penyelundupan hukum seperti legalisasi pernikahan sesama jenis di luar negeri.
Chairul Huda juga pernah mengusulkan perubahan sanksi terhadap kaum LGBT yang selama ini berorientasi kepada penjara dan denda.
“Menurut saya, orang homoseksual dipenjara makin senang. Mestinya mereka direhab, dibina di luar lembaga, disadarkan, dan disembuhkan kalau itu penyakit,” kata Chairul.
Sederet usul kubu religius untuk memperkuat larangan terkait LGBT tersebut tak sepenuhnya terakomodir di RKUHP, sebab kubu nasionalis tak ingin masuk terlalu jauh ke ranah privat warga negara.
“Yang religius tentu ingin lebih strict hal-hal yang berhubungan dengan kesusilaan,” kata Chairul.
Apa pun itu, ujar Harkristuti, sepanjang pembahasan RKUHP, isu LGBT justru bukan salah satu yang krusial dan menghebohkan.
Tim perumus RKUHP juga sempat menerima masukan agar larangan terkait LGBT diatur di pasal tersendiri, tidak hanya di delik percabulan. Saran tersebut secara implisit merupakan perintah putusan MK.
Namun, tim perumus memutuskan tidak membuat pasal tersendiri mengenai LGBT dan menggabungkannya di delik percabulan. Salah satu alasannya karena tak ingin mengatur terlalu jauh ranah privat seseorang.
Kubu nasionalis dan religius pun sepakat bahwa LGBT masuk dalam pasal percabulan dan hanya mengatur soal percabulan antara sesama jenis. Tidak lebih, tidak kurang.
Harkristuti menilai, pasal larangan percabulan sesama jenis merupakan upaya maksimal. Menurutnya, “Inilah hasil terbaik yang bisa kami kompromikan.”
Frasa “sesama jenis” di Pasal 418 RKUHP membuat khawatir Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) dan Arus Pelangi, LSM yang mengadvokasi hak-hak LGBT. Mereka berpendapat seharusnya frasa “sesama jenis” dihapus apabila pemidanaan yang disasar adalah perbuatan, bukan orientasi seksual.
“Yang sangat kami takutkan, frasa itu diinterpretasikan oleh aparat penegak hukum dan politisi sebagai upaya mengkriminalisasi LGBT,” kata peneliti ICJR Maidina Rahmawati.
Namun, sesuai hasil rapat dengan Komisi III DPR, tak ada lagi ruang untuk merumuskan atau mengubah frasa di RKUHP.
Chairul Huda berpendapat Pasal 418 RKUHP tidak menyelesaikan seluruh masalah LGBT. Sebab usulan memperketat ruang LGBT melalui larangan kohabitasi sesama jenis, larangan promosi, maupun penyelundupan hukum belum diatur di RKUHP.
Yang diatur hanya sebatas perbuatan cabul sesama jenis apabila dilakukan di depan umum, dengan ancaman atau paksaan, serta dipublikasi sebagai muatan pornografi.
“Ini hasil yang maksimal, harus segera disahkan. Tapi juga jangan bohongi publik dengan mengatakan bahwa seluruh masalah LGBT sudah selesai di RKUHP,” tutup Chairul.