Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
ADVERTISEMENT
Publik dibuat geger dengan pernyataan Menag Jenderal TNI (Purn) Fachrul Razi soal aturan pemakaian celana cingkrang dan cadar bagi ASN.
ADVERTISEMENT
Fachrul mengatakan, pemakaian celana cingkrang memang tak dilarang agama. Namun menurut Fachrul, ada aturan tentang cara berpakaian ASN di setiap instansi, sehingga ASN akan diberi peringatan jika tak sesuai dengan aturan.
"Masalah celana cingkrang- cingkrang itu tidak dilarang dari aspek agama. Karena memang agama pun tidak melarang. Tapi dari aturan pegawai bisa, misal di tempat ditegur celana kok tinggi (cingkrang) gitu?" ungkap Fachrul Razi di Kemenko PMK, Kamis (31/10).
"Kamu enggak lihat aturan negara gimana? kalau enggak bisa ikuti keluar kamu," tegas dia.
Selain itu, Fachrul juga menjelaskan soal pemakaian cadar atau niqab bagi ASN. Ia tak melarang penggunaan cadar karena memang tak dilarang agama. Ia hanya menyoroti soal pemakaian tutup muka.
ADVERTISEMENT
"Kalau instansi pemerintah kan memang sudah jelas ada aturannya, kalau kamu PNS memang boleh pakai tutup muka?" jelas Fachrul.
Fachrul mengatakan, penggunaan penutup muka, seperti helm, memang dilarang. Menurutnya, apabila ada seseorang yang masuk ke dalam instansi pemerintah dengan penutup muka, maka itu bisa membahayakan karena tak diketahui wajahnya.
"Kedua yang mukanya enggak kelihatan saya enggak sebut cadarlah, kan bahaya orang masuk enggak tahu itu mukanya siapa," sambung dia.
Kekhawatiran ini, Fachrul ungkap atas kejadian penusukan terhadap eks Menkopolhukam Wiranto beberapa waktu lalu. Penyerangan ini pun berhubungan dengan sikap terorisme.
"Lihat Pak Wiranto enggak? Udahlah enggak usah banyak tanya kalian. Tahu tapi pura-pura enggak tahu aja," ungkapnya.
Sementara terkait pemakaian cadar, Fachrul mengatakan, hal itu tak bisa dianggap sebagai simbol ketakwaan seseorang. Ia pun memberikan kebebasan terkait pemakaian cadar.
ADVERTISEMENT
"Cadar itu hanya saya bilang tidak ada dasar hukumnya di Al-Quran maupun di hadis, menurut pandangan kami. Tapi kalau orang mau pakai ya silakan. Itu bukan ukuran ketakwaan orang," tuturnya.
Celana Cingkrang Belum Tentu Radikal
Pernyataan Fachrul terkait celana cingkrang pun langsung mendapati kritik dari sejumlah pihak. Ketua Komisi VIII Yandri Susanto, mengatakan, pernyataan Fachrul soal celana cingkrang dan cadar hanya menimbulkan kegaduhan di masyarakat saja.
Apalagi, menurut politikus PAN itu, selama ini belum ada penelitian yang mengaitkan pakaian tertentu dengan radikalisme.
"Kalau orang hobi pakai celana cingkrang, kan belum tentu radikal. Kan ada orang pakai celana cutbray sampai ke bawah, bisa bikin bom. Menurut saya, terlalu dangkal, terlalu men-simple-kan masalah, seolah kalau pakai cadar dan celana cingkrang itu radikal," kata Yandri di Gedung DPR, Senayan, Kamis (31/10).
ADVERTISEMENT
Komisi VIII yang membidangi masalah agama dan sosial ini akan segera mengundang Fachrul dalam rapat kerja, Kamis (7/11) mendatang. Dalam raker itu, Komisi VIII akan langsung mengonfirmasi hubungan gaya pakaian dengan radikalisme.
MUI pun angkat suara terkait polemik ini. Ketua Komisi Hukum MUI, HM Baharun, membantah anggapan orang Islam yang bercelana cingkrang identik dengan radikalisme.
"Enggak. Itu ulama terdahulu, jubahnya Imam Bonjol, Pangeran Diponegoro itu terangkat. Mungkin masuk ke prinsip hati-hati itulah, enggak bisa digeneralisir. Kalau digeneralisir identik dengan radikal, lebay," jelas Baharun ketika dihubungi, Kamis (31/10).
Sejarah Islam soal Celana Cingkrang
Baharudin kemudian menghubungkan pemakaian celana cingkrang dengan istilah isbal. Isbal berarti menjulurkan celana di bawah mata kaki. Mereka yang bercelana cingkrang itu menghindari isbal.
Ia menceritakan, awalnya Nabi Muhammad melihat banyaknya kaum Quraish yang menjulurkan jubahnya hingga menyapu tanah. Mereka melakukan hal itu semata-mata karena ingin menunjukkan kesombongannya.
ADVERTISEMENT
"Itu bangsawan Quraish yang kafir itu kalau mau jor-joran pakai jubah yang mewah itu dijulurkan ke tanah. Itu semata-mata karena sombong. Jadi Nabi tak ingin umat Islam demikian," jelas Baharun ketika dihubungi, Kamis (31/10).
"Tapi ada yang karena kehati-hatian akan najis dan sebagainya. Itu pendapat tapi bukan mayoritas," sambungnya.
Sementara terkait pemakaian cadar, Baharun mengatakan hal itu bukan bagian dari syariat Islam. Namun juga tak dilarang dalam agama karena tak ada dalilnya.
"Cadar itu bukan syariat Islam. Itu dipakai sebagai bentuk kehati-hatian. Yang disyariatkan Nabi itu bagi wanita yang harus kelihatan muka dan telapak tangan," jelasnya.
Potensi Pelanggaran HAM
Menurut Direktur Eksekutif Amnesty Internasional Usman Hamid, pelarangan celana cingkrang bisa berpotensi melanggar HAM.
ADVERTISEMENT
"Ada (potensi pelanggaran HAM). Apalagi jika tanpa memakai pendekatan hukum," kata Usman kepada kumparan, Kamis (31/10).
Usman megatakan, seharusnya Fachrul berhati-hati sebelum melontarkan wacana larangan yang berkaitan dengan radikalisme. Kehati-hatian itu, kata Usman, juga harus memperhatikan sejumlah hal, termasuk jaminan berekspresi bagi setiap warga negara.
"Cara berpakaian itu adalah bagian dari hak setiap warga negara yang konstitusional. Kedua, jaminan UUD 1945 atas kemerdekaan untuk berpikir, beragama, dan berkeyakinan," ucap Usman.
Selain itu, Usman menyebut, tidak boleh ada diskriminasi atas pilihan agama dan keyakinan setiap warga negara. Termasuk, ekspresi masyarakat atas agama dan keyakinannya tersebut dalam berpakaian.
"Misalnya, mengapa hanya ditujukan kepada warga negara beragama Islam yang berpakaian dengan gaya tertentu? Mengapa yang lain tidak?" tuturnya.
ADVERTISEMENT
Klarifikasi Menag
Fachrul mengatakan, pihaknya memang tidak bisa melarang ASN yang ingin mengenakan celana cingkrang dan cadar. Namun, menurut Fachrul, pihaknya hanya bisa memberikan rekomendasi.
"Saya enggak berhak (melarang) dong. Masa Menteri Agama mengeluarkan larangan, enggak ada. Menteri Agama paling-paling merekomendasi saja. Kita merekomendasi, tidak ada ayat-ayat yang menguatkan, tapi juga enggak ada yang melarang," kata Fachrul di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Kamis (31/10).
Fachrul juga tak menampik pihaknya tidak memiliki landasan yang kuat untuk mengeluarkan larangan.
"Tidak pernah melarang, kita paling merekomendasi, dari aspek agama enggak ada pasalnya, enggak ada penguatannya. Silakan saja," jelasnya.