Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.86.0
Kasus coronavirus pertama di Indonesia diumumkan 2 Maret 2020. Pemerintah dianggap tak cukup siap menghadapi pandemi global itu.
Panggilan mendadak itu diterima wartawan Istana menjelang tengah hari, Senin pekan lalu (2/3). Mereka diminta protokoler berkumpul di teras belakang Istana Merdeka, Jakarta.
Siang itu, Jokowi mengumumkan hal penting: kasus corona pertama di Indonesia terdeteksi. Dua orang ibu dan anak menjadi pasien positif COVID-19. Masing-masing disebut pasien 01 (31 tahun) dan 02 (64 tahun). Keduanya tertular warga negara Jepang yang sedang berkunjung ke Jakarta.
“Orang Jepang yang ke Indonesia, kemudian tinggal di Malaysia, dan dicek di sana positif corona. Tim dari Indonesia langsung telusuri. Orang Jepang ke Indonesia bertamu ke siapa, bertemu siapa, ditelusuri, dan ketemu,” kata Jokowi.
Sang presiden, pada beberapa rapat kabinet terbatas sebelum itu, sudah terlihat khawatir. Ia kerap mendesak Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto untuk memperbarui informasi soal corona.
Temuan 1 Maret menjadi kasus penularan pertama yang dilaporkan terjadi di Indonesia sejak penyakit itu merebak di Provinsi Wuhan, China, Desember 2019.
Klaim Jokowi bahwa pasien positif corona teridentifikasi dari hasil pemantauan, berbeda dengan pernyataan yang dibagikan salah satu pasien tersebut ke grup percakapan di lingkar teman-teman dekatnya.
Pasien tersebut mengatakan mengalami batuk dan demam sejak 16 Februari. Gejala yang mirip juga dialami ibunya. Setelah 10 hari beristirahat di rumah, keluhan itu tak kunjung hilang. Pasien dan ibunya memeriksakan diri ke sebuah rumah sakit swasta di Depok.
Di sana, sang anak sempat didagnosis mengidap bronkopneumonia atau radang paru-paru, sementara sang ibu didiagnosa tifus.
Titik terang penyebab penyakit baru terkuak belakangan. Sang anak mendapat telepon dari seseorang di Malaysia. Si penelepon mengabarkan bahwa warga Jepang yang ditemui pasien 01 di acara dansa sebuah klub di Kemang, Jakarta, pada 14 Februari, positif virus corona.
Kabar itu langsung dilaporkan pasien 01 kepada pihak rumah sakit. Berbekal informasi itu, kedua pasien langsung diisolasi. Tes lanjutan menunjukkan mereka positif corona.
Sejak awal Corona merebak, pemerintah mengklaim Indonesia siap mengatasi penyebarannya. Kementerian Kesehatan sudah menginstruksikan semua rumah sakit melakukan deteksi dini Corona.
Setidaknya terdapat 33 kriteria yang digunakan sebagai acuan untuk pendeteksian dini. Pasien dengan gejala demam, batuk/pilek, pneumonia, dan memiliki riwayat perjalanan ke daerah epidemi atau pernah terpapar pasien positif corona, akan masuk kategori orang dalam pemantauan.
Spesimen pasien akan diambil untuk diuji laboratorium guna memastikan ada tidaknya virus corona dalam tubuhnya. Pada praktiknya, metode itu sebenarnya memiliki celah.
Sejumlah petugas medis rumah sakit di Jakarta menuturkan, banyak pasien tak mau jujur mengenai riwayat perjalanannya. Mereka khawatir dengan predikat sebagai suspect corona.
Alhasil, petugas medis harus pintar-pintar menggali informasi. “Ada yang berjam-jam baru mengaku pulang dari China,” kata seorang petugas medis.
Indonesia punya 135 pintu masuk yang terbuka untuk kedatangan dari luar negeri. Guna mengantisipasi masuknya orang yang terjangkit corona, pemerintah memasang alat pemantau suhu tubuh di sejumlah pintu masuk.
Namun strategi itu tak lantas membuat proses identifikasi dini menjadi mulus, sebab orang dengan COVID-19 bisa saja tak menunjukkan gejala klinis. Dalam banyak kasus, penderita tak menunjukkan masalah kesehatan.
“Malah tanpa gejala sama sekali,” kata Achmad Yurianto, juru bicara pemerintah untuk penanganan corona. “Kalau kemudian dia memiliki gejala minimal, ternyata menjadi sulit (dideteksi),” imbuhnya.
Yuri menduga inilah yang terjadi saat warga Jepang penular corona ke pasien 01 masuk ke Indonesia. Si warga Jepang baru menunjukkan gejala saat berada di Malaysia. Bila sudah demikian, menurut Yuri, “Ke mana-mana pasti lolos.”
Kekhawatiran terhadap kemampuan pemerintah mengidentifikasi masuknya Corona ke Indonesia sudah muncul sejak Februari. Harvard T.H. Chan School of Public Health membuat kajian yang tertuang dalam layanan arsip pra-publikasi ilmiah online medRxiv pada 5 Feburari 2020, bertajuk “Using predicted imports of 2019-nCoV cases to determine locations that may not be identifying all imported cases.”
Riset berupaya mengidentifikasi kemungkinan lokasi yang telah terpapar virus corona, namun belum terdeteksi atau belum diumumkan secara resmi. Para peneliti menggunakan pemodelan dengan perkiraan volume penerbangan antara Wuhan dengan lokasi di 26 negara lain menggunakan model regresi linier umum.
“Secara khusus, Indonesia dan Kamboja dengan penerbangan langsung dari Wuhan selama wabah memiliki jumlah kasus di bawah 95 persen PI dan telah melaporkan nol dan satu kasus sejauh ini," tulis laporan itu.
Harvard T.H. Chan School of Public Health khawatir ketiadaan atau sedikitnya laporan pasien terpapar virus corona ini disebabkan ketidakberhasilan mendeteksi kasus. Hal itu bisa memunculkan masalah baru.
“Indonesia belum melaporkan satu kasus pun (penularan virus Corona) dan menurut kami, seharusnya sekarang sudah ada beberapa kasus,” kata Marc Lipsitch yang terlibat dalam penelitian kepada ABC.
Sebelum kasus 01 dan 02 diumumkan ke publik, Indonesia menyatakan pemeriksaan terhadap suspect corona selalu menunjukkan hasil negatif. Padahal, negara jiran seperti Singapura, Malaysia, dan Australia sudah melaporkan kasus penularan corona di wilayahnya. Tak pelak klaim pemerintah memancing keraguan sejumlah negara.
Ahli epidemiologi Universitas Indonesia, Tri Yunis Miko, mengkritik kesiapan pemerintah menghadapi corona. Sejak status Public Health Emergency terkait corona diumumkan WHO akhir Januari lalu, pemerintah belum memiliki pedoman terintegrasi yang jelas.
Padahal, Indonesia pernah dinyatakan rentan terhadap penyebaran corona. Protokol penanganan corona yang terintegrasi baru diumumkan Kantor Staf Presiden empat hari setelah kasus corona diungkap ke publik.
Terdapat lima protokol yang dikeluarkan pemerintah, meliputi Protokol Penanganan Kesehatan, Protokol Komunikasi Publik, Protokol Pengawasan Perbatasan, Protokol Area Pendidikan, dan Protokol Area Publik dan Transportasi
“Dalam sehari atau dua hari seusai pengumuman (Public Health Emergency oleh WHO), seharusnya pedoman lintas sektor sudah disiapkan. Sebelum kejadian (penularan) kan (protokol) enggak ada,” kata Miko.
Ia menduga pemerintah lebih fokus mengantisipasi dampak ekonomi dari penyebaran global corona. Terlebih, pemerintah sempat berencana menganggarkan Rp 72 miliar untuk influencer asing demi menggenjot pariwisata yang sepi terimbas corona—meski belakangan rencana itu urung dilaksanakan setelah kasus pertama corona di Indonesia diumumkan.
Sebelum pengumuman dua pasien positif corona pertama, semua spesimen hanya bisa diperiksa Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kemenkes. Proses ini dinilai tak efektif karena menambah panjang proses identifikasi, sebab semua spesimen harus dikirim ke Jakarta.
Baru belakangan, pemerintah membuka enam Balai Besar Teknik Kesehatan Lingkungan dan Pengendalian Penyakit (BBTKLPP) yang tersebar di Jakarta, Banjarbaru, Yogyakarta, dan Surabaya, serta empat Balai Teknik Kesehatan Lingkungan dan Pengendalian Penyakit (BTKLPP) yang tersebar di Medan, Batam, Palembang, Makassar, Manado, dan Ambon, untuk mendeteksi virus SARS-CoV-2.
Kemenkes juga mengirim 10 supervisor untuk memantau proses pendeteksian virus di 10 tempat tersebut.
Ahmad Utomo, peneliti utama Stemcell and Cancer Institute, menyayangkan kesan pemerintah yang tertutup soal corona . Ia berharap penelitian dan pendeteksian corona di Indonesia dilakukan secara transparan. Hingga saat ini, bahkan pemerintah masih merahasiakan pabrikan alat pendeteksi corona.
Utomo meminta pemerintah lebih terbuka soal metode hingga hal-hal teknis terkait kit yang digunakan untuk melakukan pendeteksian. Ia mencontohkan Singapura yang mau membuka seluruh detail pendeteksian virus hingga urusan teknis.
“Mereka buka metodenya sedetail mungkin, dari prosedur sampai alat-alat screener-nya,” kata Utomo.
Selain itu, Utomo menilai pemerintah seharusnya mengajak sejumlah laboratorium yang memiliki rekam jejak baik untuk ikut meneliti virus tersebut. Hal ini penting agar pemerintah memiliki data pembanding dalam pendeteksian virus.
“Peneliti luar negeri saja saling sharing notes, karena peneliti enggak bekerja sendiri. Dia bekerja kolaborasi. Saya mulai heran, kenapa Indonesia kok seperti ini?” kata Ahmad.