Garuda dan Lion Air Gagal Mendarat di Pontianak: Ada Sel Awan Besar

13 Januari 2021 22:36 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Lion Air dan Garuda Indonesia di Bandara Internasional Soekarno-hatta, Jakarta. Foto: AFP/Adek BERRY
zoom-in-whitePerbesar
Lion Air dan Garuda Indonesia di Bandara Internasional Soekarno-hatta, Jakarta. Foto: AFP/Adek BERRY
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Dua penerbangan pesawat rute Jakarta-Pontianak dialihkan ke daerah lain karena masalah cuaca, Rabu (13/1). Dua pesawat ini adalah Garuda Indonesia GA 504 dan Lion Air JT 684.
ADVERTISEMENT
Pesawat Garuda GA 504 dialihkan ke Bandara Sultan Mahmud Badaruddin di Palembang. Sejatinya pesawat ini sudah terbang dari Bandara Soekarno-Hatta menuju Bandara Supadio Pontianak pada pukul 12.50 WIB, namun baru berangkat pukul 13.15 WIB.
Pesawat tersebut baru terbang kembali dari Palembang menuju Pontianak pada pukul 16.54 WIB.
Cuaca buruk juga menyebabkan pesawat Lion Air JT 684 terpaksa dialihkan ke Bandara Hang Nadim Batam. Pesawat ini seharusnya terbang dari Jakarta pada pukul 12.00 WIB, namun baru terbang pukul 12.40 WIB.
Ilustrasi pesawat Garuda Indonesia. Foto: Reuters/Darren Whiteside
Tapi karena cuaca yang tak memungkinkan, setelah beberapa kali memutari Kota Pontianak, Lion Air JT 684 akhirnya dialihkan ke Batam. Pesawat tersebut baru terbang dari Batam pada pukul 16.18 WIB, ketika cuaca di Kota Pontianak sudah mulai membaik.
ADVERTISEMENT
Peneliti petir dan atmosfer Deni Septiadi menjelaskan, kondisi cuaca yang menyebabkan penerbangan dua pesawat itu terganggu. Dosen Meteorologi Sekolah Tinggi Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (STMKG) BMKG ini mengatakan, ada sel awan yang cukup besar di wilayah Pulau Kalimantan bagian barat sejak Selasa (12/1) malam.
"Berdasarkan pantauan satelit IR Himawari terdapat sel awan yang sangat besar dengan radius sel mencapai 100 kilometer dan suhu puncak awan mencapai -90 °C. Inisiasi sel ini ternyata telah terbentuk sejak pukul 23.00 WIB (12/1/2021), artinya 15 jam sebelumnya," jelas Deni dalam keterangannya, Rabu (13/1).
Ilustrasi awan. Foto: Aditia Noviansyah/kumparan
Menurutnya, kondisi sel awan ini semakin membesar pada Rabu pagi. Ia menjelaskan fenomena ini sebagai Borneo Vortek
"Radius sel awan ini mencapai ukuran maksimum sekitar 180 kilometer pada pukul 10.00 WIB. Berdasarkan analisis gradien angin permukaan, 850, 700 dan 500 mb menunjukkan adanya sirkulasi tertutup di sekitar Kalimantan bagian barat yang mengarah pada fenomena Borneo Vortek," terangnya.
ADVERTISEMENT
"Rata-rata kecepatan angin di sekitar sistem awan ini berkisar 20-30 knot (37-56 km/jam)," imbuhnya.
Ilustrasi pesawat Foto: shutter stock

Lantas apakah kondisi berbahaya bagi pesawat yang melewati sistem awan ini?

Deni memastikan ada tiga bahaya yang akan dihadapi jika pesawat melewati atas dan bawah sel awan ini maupun masuk ke dalamnya.
"Pertama, apabila pesawat melewati bagian bawah sel awan ini bahaya yang mungkin terjadi adalah adanya potensi aliran udara ke bawah secara massive dengan kecepatan aliran mencapai 100 km/jam bahkan lebih dengan panjang area terdampak dapat mencapai 5 km yang disebut sebagai Microburst," ujarnya.
Menurutnya, pesawat dapat terjerembab dan kehilangan daya angkat akibat fenomena ini. Ditambah kemungkinan adanya angin samping (crosswind) atau low level windshear di sekitar landasan.
ADVERTISEMENT
"Petir jenis CG (Cloud to Ground) juga perlu diwaspadai meskipun pabrikan Boeing ataupun Airbus memiliki static discharge untuk mengatasi arus berlebih petir. Namun demikian, satu sambaran petir dengan panas yang dapat mencapai 30.000 derajat Celsius menjadi pertimbangan untuk dihindari apabila tidak ingin celaka," lanjutnya.
Ilustrasi awan. Foto: Aditia Noviansyah/kumparan
Bahaya yang kedua menurut Deni, saat pesawat masuk melewati pusat sel awan. "Maka turbulensi hebat dan petir jenis IC (Intra Cloud) adalah dua fenomena yang mungkin akan dihadapi oleh pilot," urai Deni.
Lalu bahaya yang ketiga adalah saat pesawat melewati puncak awan di ketinggian sekitar 10-14 kilometer di atas permukaan laut, pesawat akan dihadapkan pada fenomena icing akibat adanya partikel solid dalam bentuk es pada puncak awan (suhu di bawah-40 °C).
ADVERTISEMENT
"Dari semua uraian tersebut di atas, kebengisan cuaca mungkin tidak menjadikannya sebagai faktor primer penyebab kecelakaan pesawat. Namun sudah banyak kejadian kecelakaan pesawat yang berasosiasi dengan cuaca buruk (bad weather). Oleh karena itu, tetap jaga kewaspadaan demi keselamatan penerbangan di atmosfer benua maritim Indonesia," pungkasnya.