Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Gatot Nilai DPR Stempel Pemerintah, Ini UU Kontroversial yang Buru-buru Disahkan
16 November 2021 12:15 WIB
·
waktu baca 6 menitADVERTISEMENT
Pernyataan eks Panglima TNI Gatot Nurmantyo yang menyebut DPR saat ini tidak berjalan sesuai fungsinya, bahkan telah dilucuti kewenangannya, masih ramai diperbincangkan. Gatot menilai kini DPR kehilangan tajinya karena tak menjalankan fungsi menjalankan pengawasan, karena mayoritas partai politik yang duduk di Senayan adalah koalisi Jokowi-Ma'ruf Amin.
ADVERTISEMENT
Bahkan, parpol di DPR dalam menjalankan fungsi legislatifnya saat ini disebut hanya sebagai stempel pemerintah saja.
"DPR atau parpol jelas telah dilucuti kewenangan dan hak-hak konstitusionalnya hanya berdiam diri karena bergabung dengan presiden dalam koalisi kabinet yang gemuk,” ucap Gatot saat menjadi pembicara dalam diskusi daring “Pilpres 2024: Menyoal Presidential Threshold”, Minggu (14/11) malam.
Sebut saja dalam pembuatan Undang-Undang, yang beberapa di antaranya menuai kontroversial lantaran langsung disahkan pemerintah dan DPR, tanpa mendengarkan aspirasi rakyat.
Setidaknya, sejak Jokowi dilantik sebagai presiden, ada revisi hingga rancangan undang-undang (RUU) yang menuai banyak kritikan namun tetap disahkan oleh pemerintah dan DPR. Apa saja?
UU KPK
Revisi UU KPK atau UU Nomor 19 Tahun 2019 disahkan pada 17 September 2019 atau beberapa minggu sebelum Jokowi dilantik untuk periode keduanya.
ADVERTISEMENT
Banyak pihak menilai revisi UU KPK dinilai terburu-buru, cacat, dan abai dengan suara publik. Padahal, pada tahun 2015 dan 2016 saat revisi ini mencuat, pembahasannya alot, lama, dan memanas hingga akhirnya Presiden Jokowi memutuskan menunda.
Usulan itu tiba-tiba muncul di paripurna pada 5 September 2019 sebagai usul DPR, dan disahkan hanya dua pekan kemudian menjadi Undang-Undang. Padahal, bukan RUU prioritas di 2019. Bahkan, tidak ada satu pun partai yang menolak pengesahan ini.
Ada banyak pasal yang dinilai bermasalah di UU KPK, mulai dari kedudukan KPK sebagai lembaga eksekutif, pegawai KPK berstatus ASN, pembentukan Dewan Pengawas, dan menghapus tim penasihat.
Kemudian, melucuti kewenangan pimpinan KPK sebagai penyidik dan penuntut umum, penyadapan serta penggeledahan harus seizin dewan pengawas, dan KPK dapat menghentikan penyidikan serta penuntutan terhadap suatu perkara jika tidak selesai dalam jangka waktu 2 tahun atau SP3.
ADVERTISEMENT
Karena pengesahan revisi UU KPK ini penuh kontroversial, kelompok mahasiswa hingga masyarakat sipil sampai menggelar aksi demonstrasi besar-besaran. Mereka menilai revisi ini justru berpotensi melemahkan peran KPK sebagai garda terdepan pemberantasan korupsi.
Setelahnya, UU KPK tersebut digugat oleh tiga pimpinan KPK periode 2015-2019 yakni Agus Rahardjo, Laode Syarif, dan Saut Situmorang serta beberapa pegiat antikorupsi.
Agus dkk menilai proses pembahasan revisi UU KPK berlangsung kilat dan terburu-buru. Terlebih, tidak terpenuhinya kuorum saat rapat paripurna DPR untuk mengesahkan revisi UU KPK pada 17 September 2019.
UU Minerba
UU Minerba resmi disahkan DPR pada 12 Mei 2020. UU itu merupakan perubahan atas UU Minerba Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan dan Mineral dan Batu Bara dengan status inisiatif DPR.
ADVERTISEMENT
Gelombang demonstrasi juga turut mewarnai proses pengesahan UU itu. Meski disahkan di tengah pandemi, suara berbagai elemen masyarakat sipil sangat keras menolak UU itu disahkan.
Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW), Egi Primayogha, melihat pengesahan RUU Minerba oleh DPR dan pemerintah terkesan buru-buru dan tidak transparan. Ia ikut menduga ada pihak yang sengaja mendesak DPR dan pemerintah untuk segera mengesahkan RUU tersebut.
"Kami menduga ada kekuatan besar di balik ini semua yang bisa menggerakan DPR maupun pemerintah untuk segera mengesahkan Revisi Undang-Undang Minerba," kata Egi dalam diskusi virtual bertajuk "Menyikapi Pengesahan RUU Minerba", Rabu (13/5/2020).
UU Minerba dianggap hanya pro para pengusaha tambang dan mengabaikan lingkungan. Para pemerhati lingkungan mengaku kecewa dengan sikap DPR dan Presiden Jokowi yang hanya berpihak pada korporat.
ADVERTISEMENT
UU Minerba yang baru ditengarai menyelipkan kepentingan para taipan tambang batu bara. Sejumlah pasal disinyalir memudahkan perpanjangan izin operasi untuk perusahaan-perusahaan pemegang Perjanjian Karya Pertambangan Batubara (PKP2B) yang kontraknya akan berakhir pada tahun ini hingga 2025.
UU Mahkamah Konstitusi
Revisi UU Mahkamah Konstitusi yang merupakan perubahan ketiga atas UU No 24 Tahun 2003 tentang MK disahkan pada September 2020. Proses pengesahannya begitu cepat dan mulus di tengah fokusnya masyarakat menghadapi pandemi COVID-19.
Inisiatif DPR untuk merevisi UU MK muncul pada awal April 2020. Namun, rencana tersebut menguap pada Mei 2020 usai ditentang beberapa pihak.
Namun tiba-tiba pada 24 Agustus 2020, Menkumham Yasonna Laoly menyatakan pemerintah setuju UU MK direvisi. Sehari kemudian, Yasonna menyerahkan Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) revisi UU MK ke DPR.
ADVERTISEMENT
Kemudian pada 26-29 Agustus dilakukan rapat tertutup Panja untuk membahas DIM. Selanjutnya pada 31 Agustus 2020, DPR dan pemerintah sepakat revisi UU MK dibawa ke paripurna. Sehari setelahnya, DPR mengesahkan revisi UU MK yang telah disetujui pemerintah.
Salah satu yang disorot dari revisi tersebut yakni masa jabatan hakim MK. Ketentuan masa jabatan hakim MK selama 5 tahun dan dapat dipilih lagi untuk 1 periode dihapus. Kini, hakim MK bisa menjabat hingga usia 70 tahun atau maksimal 15 tahun kerja sejak pertama kali diangkat. Ketentuan baru ini berlaku pada hakim MK yang kini menjabat.
UU Omnibus Law Cipta Kerja
Pengesahan UU 'sapu jagad' Omnibus Law Cipta Kerja menjadi Undang-Undang (UU) dilakukan 5 Oktober 2020. Saat pengesahannya, hanya PKS dan Partai Demokrat yang menolak UU Cipta Kerja disahkan. PAN menyetujui namun dengan catatan sementara sisanya menyetujui penuh.
Tak hanya itu, pengesahannya di tengah-tengah pandemi COVID-19 mengejutkan banyak orang hingga memicu terjadinya demonstrasi penolakan di berbagai kota.
ADVERTISEMENT
UU itu dianggap hanya menguntungkan asing, dan tak berpihak pada nasib para buruh. Jokowi pun dianggap tak mendengarkan aspirasi masyarakat luas.
Namun, pemerintah berdalih UU Ciptaker akan sangat bermanfaat bagi iklim investasi di Indonesia. Untuk nasib para buruh, pemerintah mengeklaim justru dengan hadirnya UU itu, nasib para buruh akan lebih mendapat kepastian hukum.
Dalam perjalanannya, banyak poin yang meresahkan rakyat, seperti penghapusan upah minimum, jam lembur yang lebih lama, rentan PHK dan kontrak kerja seumur hidup, waktu istirahat mingguan yang dipotong, hingga mudahnya perekrutan tenaga kerja asing (TKA).
Tak sampai di situ, setelah disahkan pun masih ada kontroversial, seperti misalnya jumlah halaman naskah UU Ciptaker yang berubah-ubah. Pada naskah awal yang beredar hanya berjumlah 905 halaman. Namun, rupanya naskah final terdiri dari 1.035 halaman. Lalu ada lagi versi 1.187 halaman yang diteken Jokowi dan diundangkan dalam No 11/2020.
ADVERTISEMENT
Meski telah diundangkan, namun rupanya masih banyak salah ketik dalam draf Omnibus Law UU Cipta Kerja. Mulai dari definisi minyak dan gas bumi di Pasal 1 Nomor 3 UU Nomor 11 Tahun 2020 yang tidak perlu hingga Pasal 5 UU Nomor 11 Tahun 2020 yang dinilai 'hilang'.