Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 ยฉ PT Dynamo Media Network
Version 1.98.1
Gauk Plengkung Gading Yogya, Dulu Sebagai Tanda Bahaya kini Penanda Buka Puasa
20 Maret 2024 10:44 WIB
ยท
waktu baca 3 menit
ADVERTISEMENT
Gauk atau sirine tanda bahaya adanya serangan Belanda masih ada di Kota Yogyakarta. Tepatnya di Plengkung Gading, Kelurahan Patehan, Kemantren Kraton, Kota Yogyakarta.
ADVERTISEMENT
Sampai saat ini gauk tersebut masih ada, meski fungsinya telah berbeda. Selain dibunyikan saat hari-hari perjuangan seperti kemerdekaan dan 1 Maret, gauk kini juga sebagai penanda waktu buka puasa.
Gauk merupakan tiang besi dengan tiga terompet yang melingkar di atasnya.
Mohammad Sofyan adalah Ketua Takmir Nurul Islam Patehan. Sekitar 15 menit sebelum waktu berbuka tiba dia berjalan menuju Plengkung Gading. Menapaki anak tangga Plengkung Gading untuk mencapai gauk.
Gauk itu tingginya sekitar 10 meter. Gauk itu terasa makin tinggi karena tertancap di atas Plengkung Gading. Begitu waktu berbuka tiba, di menarik tuas gauk, suaranya meraung-raung.
"Harus tepat jam 17.53 WIB (waktu berbuka Yogyakarta), karena ini jadi patokan," kata Sofyan.
"Seminggu nggak bunyi ini karena rusak. Ketahuan rusak itu biasanya satu hari sebelum puasa kita coba. Ngadat. Ternyata ada spulnya gosong. Tiga hari ini sudah bunyi lagi," lanjutnya.
ADVERTISEMENT
Sejak dirinya lahir gauk ini sudah ada. Pada masa Sofyan kecil tahun 1970-an, gauk telah dioperasionalkan sebagai penanda waktu berbuka.
Namun, beberapa puluh tahun gauk ini tak difungsikan lagi sebagai penanda waktu berbuka puasa. Lalu Sofyan menghidupkan tradisi itu lagi pada 2012.
"Kita berinisiatif, takmir masjid, kami koordinasi dengan pihak terkait diizinkan mengoperasikan gauk ini untuk penanda buka puasa sebagaimana waktu kita kecil dulu. Sempat vakum mungkin puluhan tahun, saya munculkan lagi 2012-2013 sampai sekarang," katanya.
Selain tradisi, bunyi gauk sebagai penanda buka juga bisa untuk memaknai semangat perjuangan.
"Spiritnya Ramadan, semangat perjuangannya, tertuang di sirine gauk itu," katanya.
Perawatan gauk ini kata Sofyan mudah. Memang lima tahunan sekali harus rutin ganti spul.
ADVERTISEMENT
"Spul, ini lima tahunan. Dulu juga sempat. Saat pertengahan ramadan waktu itu," katanya.
"Hanya tiga hari perbaikan. Mudah. Tapi kemarin ada instalasi sekalian diperbaiki sehingga butuh waktu satu minggu bebernya," katanya.
Suara Radius 5 Kilometer
Sofyan mengatakan dahulu suara gauk ini bisa mencapai radius lima kilometer. Tetapi kini mungkin radiusnya menurun karena jumlah kendaraan makin banyak dan semakin banyaknya gedung.
"Dulu konon sampai 5 kilometer. Jadi terdengar sampai Madukismo," katanya.
ADVERTISEMENT
"Ini kalau relatif ke arah selatan jangkauannya lebih jauh. Kalau ke utara mungkin faktor angin juga ya, mengapa ke utara jangkauan relatif lebih pendek," bebernya.
Lanjutnya, masih ada beberapa gauk di Kota Yogyakarta bahkan kota-kota lain. Gauk di Pakualaman salah satu yang terinspirasi dan ikut membunyikan gauk sebagai penanda berbuka puasa.
ADVERTISEMENT
"Gauk Pakualaman dua tahun ini ikut kita (mengoperasikan). Saya nggak tahu tahun ini dioperasikan atau tidak," katanya.
Sofyan berencana akan mendata gauk-gauk di Yogyakarta untuk diusulkan ke pihak terkait dan masjid terdekat agar bisa jadi penanda waktu berbuka juga.
"Napak tilas, saya akan coba ke pihak terkait yang jelas satu kita akan perawatan ke seluruh gauk. Tapi kita juga akan komunikasi dengan warga atau masjid sekitar, minimal dioperasikan saat Ramadan," katanya.