Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.86.0
Sebuah pesan muncul di grup WhatsApp Bhayangkari yang berisi para istri perwira tinggi Polri . Salah seorang anggota grup mempromosikan jasa makeup artist (MUA) yang kerap ia gunakan ketika hadir di sejumlah acara. Kebetulan saat itu mereka hendak berkumpul untuk arisan yang biasanya dihelat dua pekan sekali.
“Ibu-ibu, saya makeup di sini. Murah, cuma Rp 8 juta,” tulis seorang anggota grup.
Ketika arisan berlangsung, para Bhayangkari kembali membahas jasa MUA yang bertarif ‘wah’ itu. Sumber kumparan yang mengetahui percakapan itu mengatakan, para istri jenderal menganggap lumrah biaya jutaan untuk sekali dandan. Namun, tak sedikit pula yang merasa tarif sekali makeup itu berlebihan.
Guru Besar FISIP Universitas Padjadjaran, Muradi, membenarkan para istri polisi kerap menggunakan jasa MUA bertarif jutaan ketika hendak menghadiri suatu acara.
Muradi yang mempunyai sejumlah kolega di Polri bercerita, istrinya pun pernah mendapat sentuhan MUA bernilai jutaan saat menghadiri resepsi di Jawa Timur. MUA tersebut didatangkan langsung dari Jakarta oleh istri seorang kapolres. Tarifnya Rp 6 juta per orang untuk sekali makeup.
Muradi yang kaget dengan tarif MUA itu lantas meminta istrinya untuk segera membayar ke istri kapolres tersebut. Namun bayaran itu ditolak. Sang istri kapolres menganggap jasa MUA itu sebagai hadiah darinya.
“Saya ngambek betul, karena menurut saya too much. Berlebihan. Biasanya makeup paling mahal di Bandung Rp 1 juta, itu sudah mewah. Akhirnya saya larang istri menghubungi [Bhayangkari] ketika ada acara di daerah,” ucap Muradi.
Muradi menyebut bahwa penggunaan jasa MUA dengan tarif jutaan sudah menjadi gaya hidup para istri perwira tinggi polisi, meski hal itu bersifat temporer.
“Tidak terus-terusan. Mereka hanya ingin tampil mapan sekali-kali di depan banyak orang. Meskipun kalau menurut saya, itu tetap too much,” ujarnya.
Berdasarkan penelusuran kumparan, jasa makeup artist bernilai jutaan rupiah yang dipakai istri para perwira polisi bermacam-macam. Salah satunya adalah MUA profesional Anpa Suha.
Anpa membenarkan sejumlah Bhayangkari pernah memakai jasanya. Begitu pula istri-istri pejabat TNI, pejabat kementerian, artis, hingga keluarga kerajaan Brunei Darussalam.
“Kami di-hire oleh beliau-beliau enggak sembarangan. Pasti dilihat dari kredibilitas kami, nama besar kami. Itu suatu kebanggaan,” kata Anpa di kawasan Kuningan, Jakarta Selatan, Jumat (4/11).
Istri pejabat yang pernah memakai jasa Anpa misalnya adalah putri Presiden Jokowi, Kahiyang Ayu. Sementara Bhayangkari yang pernah ia dandani juga tak sedikit.
“[Waktu mendadani Bhayangkari] saya ke rumah dinasnya. Istrinya Pak Andi Rian, saya makeup-in di tempat anaknya. [Biasanya] buat undangan, pelantikan, occasion tertentu. Itu menurut aku sesuatu yang harus, karena mereka ibu pejabat, jadi harus rapi,” jelas Anpa.
Mengenai tarif yang biasa ia patok, Anpa menyerahkan ke manajernya. Sang manajer menyebut tarif tersebu beragam, tergantung jenis acara dan keperluannya, apakah untuk daily/photoshoot makeup, birthday/graduation makeup, pre-wedding ceremonial, mother/sister of the bride or groom, atau pernikahan.
Tarif daily/photoshoot makeup di weekdays misalnya berkisar Rp 5 juta untuk sekali makeup. Sementara paket pernikahan yang mencakup jasa makeup dan hairdo untuk dua hari di Jakarta berkisar Rp 38 juta.
“Ada yang bilang Anpa mahal banget, itu asumsi orang. Tapi [tarif] itu normal-normal saja menurutku,” ucap Anpa yang merintis karier sebagai MUA dari Sukabumi sejak 2005.
Selain Anpa Suha, sosok lain di balik layar yang merias para istri polisi ialah Reval Alip. Ia berprofesi sebagai hairstylist. Salah satu istri polisi yang pernah menggunakan jasanya ialah istri eks Kadiv Propam Ferdy Sambo, Putri Candrawathi.
“Istri-istri polisi yang sudah sering di-hairdo, ngerti rambut, itu sudah pasti permintaannya banyak. Yang penting kami membuat dia lebih cantik, lebih elegan. Kalau istri polisi kesannya [rambutnya] memang harus ngembang,” ujar Reval pada kumparan, Minggu (6/11).
Menurutnya, menata rambut istri polisi hampir sama dengan perempuan-perempuan lain. Paling penting, ia menjaga sikap ketika sedang bertugas.
“Kami ngobrol hati-hati gitu, karena harus hormatlah. Tapi ada juga beberapa yang bisa bercanda-bercanda,” kata Reval yang menekuni profesi sebagai penata rambut sejak 2010.
Ia bangga bisa menjadi penata rambut bagi istri polisi, terlebih istri perwira tinggi Polri.
“Karena aku dari kampung, ke Jakarta, terus bisa kenal jenderal, ibu jenderal. Senang banget,” ucap Reval.
Reval menyebut tarif yang ia patok berkisar Rp 1 juta sampai Rp 3 juta.
“Kalau untuk acara biasa-biasa, party, sekitar Rp 1 juta lebih. Kalau untuk wedding, Rp 3 juta lebih untuk satu orang,” kata Reval.
Bagi mereka yang berpunya, hal itu memang bukan masalah karena dianggap sepadan dengan hasilnya. Tampil dengan makeup atau gaya rambut bagus pun dipandang sebagai kebutuhan integral bila hendak menghadiri acara penting.
Namunn, bagi peneliti kepolisian Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) Bambang Rukminto, bila tarif makeup mencapai puluhan juta, itu sudah masuk kategori mewah.
“Pendapatan seorang polisi itu sudah terukur. Ketika [pengeluaran] sangat jauh dibandingkan dengan pendapatan, artinya sudah bermewah-mewah. Kalau pendapatan jenderal sekitar Rp 50 juta, mengeluarkan makeup untuk istrinya Rp 10 juta itu mewah,” kata Bambang pada kumparan, Rabu (2/11).
Komisioner Kompolnas, Yusuf Warsyim, meminta pimpinan Polri mengawasi para anak buah, termasuk keluarganya, agar tidak bergaya hidup berlebih seperti mengenakan makeup jutaan rupiah. Namun, Yusuf berpendapat tarif makeup tersebut masih lumrah apabila hanya sesekali digunakan.
“Kalau misalnya untuk [riasan] pengantin, itu perlu, jangan dilarang, karena cuma sekali seumur hidup. Yang menjadi masalah kalau setiap hari. Masa setiap hari makeup harganya 8 juta?” kata Yusuf.
Di sisi lain, sejumlah pihak menyebut tak sedikit istri polisi yang memiliki pemasukan sendiri dan tak sepenuhnya bergantung pada gaji suami, terutama mereka yang berprofesi sebagai pengusaha. Oleh sebab itu, menurutnya, sebaiknya jangan menghakimi dan memukul rata semua Bhayangkari.
Terlepas dari perbedaan pendapatan di antara para istri polisi, Bhayangkari sesungguhnya diharapkan untuk hidup sederhana. Hal itu termuat dapat delapan sifat utama Bhayangkari yang tertanam dalam lambang Bhayangkari—Cupu Manik Astagina.
Delapan sifat utama yang harus dimiliki Bhayangkari tersebut adalah: 1) Beriman; 2) Adil; 3) Jujur dan sederhana; 4) Asah, asih, dan asuh; 5) Berjiwa besar; 6) Bersemangat dan penuh daya cipta; 7) Berteguh hati dan rela berkorban; serta 8) Mengabdi tanpa pamrih.
Berangkat dari falsafah tersebut, besar atau kecil pendapatan seorang Bhayangkari atau suaminya tidak berpengaruh terhadap gaya hidup mereka yang dituntut jujur dan sederhana.
Menurut Muradi, gaya hidup mewah anggota Polri, khususnya istri atau keluarga mereka, mencuat setelah Polri dan TNI berpisah pada 2000. Fenomena itu kemudian menguat pada 2007–2008. Hal ini terjadi lantaran polisi kini bisa menduduki jabatan-jabatan publik. Berbeda ketika masih bernaung di bawah ABRI, anggota Polri berada di bawah bayang-bayang TNI.
“Jadi… setelah pemisahan [TNI-Polri], mereka (para istri polisi) pamer untuk menegaskan suami-suami mereka lebih sukses dibanding suami lain,” kata Muradi.
Hal tersebut diamini oleh sumber kumparan yang mantan Bhayangkari. Ia tak menampik para istri polisi seolah-olah berlomba pamer kemewahan. Menurutnya, para Bhayangkari yang kerap pamer itu mayoritas bersuamikan lulusan Akademi Kepolisian.
Hal tersebut berbeda dengan Bhayangkari yang bersuamikan polisi lulusan Sekolah Inspektur Polisi Sumber Sarjana/SIPSS (dulu Sekolah Perwira/SEPA) yang cenderung hidup lebih sederhana.
Glamornya istri polisi lulusan Akpol, masih menurut sumber itu, lantaran suami mereka ketika lulus pendidikan langsung ditugaskan di “tempat basah”, termasuk dengan langsung menjadi kapolsek.
“Bhayangkari yang suaminya Akpol itu hidup mewah dan cenderung berkelompok. Kalau Bhayangkari dari SEPA itu biasa saja, sederhana. Lulusan Akpol kan sudah disiapkan [bertugas] di tempat basah. Kalau SEPA [hidup dari] uang gaji, kecuali dia pintar cari uang,” ujarnya.
Kultur itu membuatnya tak kaget ketika melihat istri Ferdy Sambo—yang lulusan Akpol 1994—memiliki barang-barang mewah.
Tayangan live TV Polri di rumah Sambo saat rekonstruksi kasus pembunuhan Brigadir Yosua, misalnya, memperlihatkan walk in closet berisi deretan tas mewah Putri. Sebut saja Red Leather Mini BV Jodie Top Handle Bag yang harganya sekitar USD 1.450–2.500 atau setara Rp 21–37 juta.
Ada pula istri AKBP Agus Sugiyarso yang pamer duit arisan di medsos. Ulahnya itu membuat Agus dicopot dari jabatannya selaku Kapolres Tebing Tinggi pada 31 Oktober 2021. Contoh lain, anggota DPR Johan Budi pernah menemukan seorang istri polisi pamer sepeda seharga Rp 300 juta di media sosial.
Menurut eks Bhayangkari yang bercerita kepada kumparan, gaya glamor para Bhayangkari dari suami lulusan Akpol semakin kentara saat arisan sebulan sekali. Mereka pun kerap kumpul-kumpul di luar acara arisan dan agenda-agenda resmi Bhayangkari.
Pada saat-saat itulah jasa MUA profesional kerap mereka gunakan agar dapat tampil segar sepanjang hari. Bila pun tarifnya jutaan, ujar sumber itu, hal tersebut sudah dianggap lumrah, terutama bagi Bhayangkari yang suaminya menjabat di tingkat Polda.
kumparan mencoba mengkonfirmasi hal ini kepada empat pengurus Bhayangkari di tingkat pusat dengan berkirim surat kepada Ketua Umum Bhayangkari Juliati Sigit Prabowo dan Wakil Ketua Umum Bhayangkari Tutik Gatot Eddy Pramono; juga menghubungi Ketua Gabungan Bhayangkari Itwasum Winny Agung Budi Maryoto dan Ketua Gabungan Bhayangkari Bareskrim Evi Agus Andrianto. Namun, hingga artikel ini diturunkan, belum ada respons dari mereka.
Muradi menyatakan, gaya hidup mewah para Bhayangkari berbeda-beda. Ada yang pamer barang-barang mewah, ada yang gemar jalan-jalan ke luar negeri, ada pula uang hobi berbelanja. Meski demikian, ada pula gaya hidup yang positif, misalnya berbagi rezeki ke anak-anak yatim dan membangun masjid di kampung halaman.
“Bagi-bagi rezeki ke anak yatim itu sudah jadi tren di kalangan mereka (Bhayangkari),” kata Muradi yang kerap bergaul dengan para polisi.
Sementara Bambang Rukminto melihat bahwa para Bhayangkari yang bergaya hidup mewah mayoritas berlatar belakang selebritas atau mantan pesohor. Ia, misalnya, pernah mendapati seorang istri jenderal yang sedang berkunjung ke suatu daerah meminta disediakan barang-barang branded di kamar hotelnya.
Pertanyaannya: bagi Bhayangkari yang tidak memiliki pemasukan sendiri dan bergantung pada gaji suami, apakah gaya hidup mewah semacam itu dapat ditanggung oleh pendapatan suaminya?
Merujuk ke Pusat Keuangan Polri, pendapatan anggota Polri terdiri dari gaji pokok dan 15 tunjangan, mulai dari tunjangan istri, anak, hingga tunjangan jabatan struktural/fungsional.
Sesuai Peraturan Pemerintah No. 17 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua Belas atas PP No. 29 Tahun 2001 tentang Peraturan Gaji Anggota Polri, gaji pokok anggota Polri dibedakan berdasarkan golongan mereka.
Golongan I (tamtama) mendapat gaji paling rendah Rp 1.643.500 untuk pangkat bharada dan paling tinggi Rp 2.960.700 untuk pangkat ajun brigadir polisi. Berikutnya golongan II (bintara) mendapat gaji terendah Rp 2.103.700 untuk pangkat bripda dan tertinggi Rp 4.032.600 untuk pangkat Aiptu.
Selanjutnya Golongan III (perwira pertama) mendapat gaji terendah Rp 2.735.300 untuk pangkat ipda dan tertinggi Rp 4.780.600 untuk pangkat AKP. Terakhir, golongan IV (perwira menengah dan perwira tinggi) memiliki gaji terendah Rp 3.000.100 untuk pangkat kompol dan tertinggi Rp 5.930.800 untuk pangkat jenderal.
Sementara berdasarkan Perpres No. 103 Tahun 2018 tentang Tunjangan Kinerja Pegawai di Lingkungan Polri, anggota Polri mendapatkan tunjangan sesuai kelas jabatannya, dari 1 sampai 18.
Terendah, kelas jabatan 1, sebesar Rp 1.968.000. Tertinggi, kelas jabatan 18 (Wakapolri), sebesar Rp 34.902.000. Khusus Kapolri mendapat tunjangan kinerja 150% dari tunjangan kelas jabatan 17 (Rp 29.085.000), yakni sebesar Rp 43.627.500.
Merujuk pada data tersebut, ujar Bambang, gaya hidup mewah yang dipertontonkan sebagian Bhayangkari tak sesuai dengan pendapatan suaminya. Alhasil, muncul dugaan bahwa bujet untuk kehidupan mewah tersebut bersumber dari hasil penyelewengan jabatan polisi seperti pungutan liar.
“Gaya hidup mewah tentu kompensasinya ialah biaya yang mahal. Kalau sekadar dari gaji resmi saja enggak cukup. Harus ada penghasilan di luar pendapatan resmi, salah satunya pungli. Di Lantas ada pungli di jalanan, SIM. Di Reskrim bisa saja dengan main pasal atau jual beli barang bukti seperti kasus Irjen Teddy Minahasa,” jelas Bambang.
Sementara Komisioner Kompolnas Yusuf Warsyim berpendapat, apabila biaya hidup polisi hanya bergantung pada gaji dan tunjangan yang diberikan negara, hidup mewah adalah sesuatu yang tidak mungkin dilakukan.
“Yang mampu [didapat] ya sebagaimana standar hidup masyarakat biasa. Sudah terukur,” ucap Yusuf.
Sumber kumparan di lingkup Bhayangkari daerah mengamini bahwa tuntutan gaya hidup mewah istri membuat para suami mencari sumber-sumber pendapatan lain.
Berdasarkan pengalamannya, suatu ketika saat seorang kapolres hendak membangun rumah, seluruh kapolsek di wilayahnya dimintai setoran Rp 3–5 juta setiap bulannya. Ada pula yang dimintai bantuan berupa pasir dan semen.
Tak heran berbagai laporan soal pungli membuat Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo gerah. Ia menyatakan tak segan menindak anggotanya yang kedapatan melakukan pungli atau menuntut setoran dari bawahan.
“Kita-kita yang atasan-atasan ini juga harus mengurangi atau menghilangkan hal-hal yang membuat anggota memiliki alasan untuk melakukan pungli, karena alasannya untuk melakukan setoran ke atasan. Ini tolong ditiadakan,” ujar Sigit dalam salah satu arahan kepada jajarannya.
Selain melalui pungli, para anggota Polri memenuhi gaya hidup mewah keluarganya juga dari pihak ketiga. Hal inilah yang dikhwatirkan Muradi, karena sifatnya bukan cuma-cuma.
“Itu tidak gratis. Ada kecenderungan untuk mengembalikan ke pemberinya, entah dalam bentuk program, pengamanan, atau lainnya,” kata dia.
Meski demikian, Muradi melihat ada pula perwira polisi atau istrinya yang hidup mewah karena memang berasal dari keluarga berada. Tentu saja, ini tak menjadi alasan bagi mereka untuk mengabaikan tuntutan hidup sederhana.
“Mereka pejabat publik yang mendapat fasilitas negara dan mendapat sorotan masyarakat, jadi seharusnya mencerminkan kondisi masyarakat. Kalau dengan alasan mampu lalu bermewah-mewah, tentu menyakiti rasa keadilan masyarakat,” ucap Bambang.
Muradi melihat bahwa para istri polisi yang bergaya hidup mewah biasanya memiliki suami berpangkat perwira menengah atau Kombes Pol ke bawah, khususnya yang menjabat sebagai kapolres. Sementara ketika sang suami sudah menjabat sebagai perwira tinggi, mereka tak lagi terlampau menampakkan kemewahan dan lebih mampu mengendalikan diri.
“Kalau sudah perwira tinggi tapi istrinya masih [pamer kemewahan] begitu, ada yang salah… Bhayangkari tidak dikontrol suaminya. Biasanya karena suaminya punya utang [budi dalam mengerek] karier, [misal dibantu istri] lobi, atau ia punya salah, jadi cenderung gagal menasihati [istri],” terang Muradi.
Muradi menekankan, anggota Polri maupun keluarganya harus memiliki sense of crisis ketika tampil di depan publik. Tidak perlu mengenakan barang bermerek yang mahal atau mewah dalam acara-acara formal. Misalnya saat Brigjen Andi Rian yang ketika itu Dirtipidum Bareskrim mengenakan kemeja Burberry senilai Rp 7 juta dalam konpers kasus Ferdy Sambo, sementara perwira tinggi Polri lain memakai baju dinas.
“Mungkin pakai Burbery dia anggap biasa. Kalau mau pakai itu, jangan pas acara dinas,” ujar Muradi.
Soal itu, Andi Rian sebelumnya menolak berkomentar. Menurutnya, tugasnya “bukan untuk menanggapi netizen, tetapi memastikan bekas perkara diterima jaksa.”
Yusuf Warsyim, Komisioner Kompolnas, menyatakan dalam kondisi tingkat kepercayaan ke Polri yang rendah, anggota Polri maupun keluarganya harus mengerem gaya hidup bermewah-mewah.
“Anggota Polri harus memiliki sense of crisis. Gaya hidupnya ngerem untuk tidak bermewah-mewah. Anggota polisi yang ideal tampak kesederhanaannya, agar menjadi role model bagi masyarakat,” kata Yusuf.
Polri sudah memiliki aturan mengenai penggunaan barang mewah dalam Peraturan Kapolri No. 10 Tahun 2017. Aturan itu menyebut barang yang tergolong mewah berupa kendaraan seharga lebih dari Rp 450 juta dan tanah/bangunan seharga lebih dari Rp 1 miliar.
Anggota Polri yang memiliki barang mewah harus melaporkan ke Propam untuk didata. Namun, Perkap 10/2017 tersebut sebatas mengatur kendaraan dan tanah/bangunan sebagai barang mewah, sedangkan barang-barang bermerek tidak diatur di dalamnya. Sayangnya Kompolnas menilai Propam tidak cukup aktif mendata barang-barang mewah milik para anggota Polri.
“Propam harus aktif mencatat kepemilikan barang mewah yang itu diwajibkan lapor dan sudah diatur,” kata Yusuf.
Melengkapi Perkap 10/2017, Polri kembali mengingatkan jajarannya untuk tidak bergaya hidup mewah melalui Surat Telegram bernomor ST/30/XI/Hum.3.4/2019/DivPropam. Surat itu diteken Listyo Sigit kala menjabat Kadiv Propam di masa kepemimpinan Kapolri Jenderal Idham Azis. Anggota Polri yang melanggar aturan itu diancam ditindak.
Walau begitu, hukuman bagi anggota Polri yang melanggar regulasi tersebut bisa dihitung jari. Tak sedikit anggota Polri beserta keluarga mereka yang masih bergaya hidup mewah hingga kini.
Muradi dan Bambang Rukminto menyatakan segala aturan akan sia-sia jika di Polri tak ada teladan mengenai gaya hidup sederhana.
“Yang paling penting keteladanan dari pucuk pimpinan di atasnya. Kalau pucuk pimpinan masih menggunakan makeup artist mahal, ya yang di ring 1 atau orang-orang terdekat ibu pimpinan Bhayangkari akan menyesuaikan dengan itu,” kata Bambang.
“[Gaya hidup pimpinan Polri] harus sesuai yang diomongin, jangan [melarang] hidup mewah tapi dia sendiri hidup mewah. Harus selaras,” tutup Muradi.