Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 ยฉ PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
ADVERTISEMENT
Konflik internal di Keraton Yogyakarta kembali mencuat setelah muncul surat pencopotan dari Raja Keraton Yogyakarta Sri Sultan Hamengku Buwono (HB) X kepada dua adiknya yaitu GBPH Prabukusumo (Gusti Prabu) dan GBPH Yudhaningrat (Gusti Yudha) beberapa waktu lalu.
ADVERTISEMENT
Jabatan keduanya di struktural Keraton sebagai Penghageng atau kepala di Kawedanan Hageng Punakawan Nityabudaya dan Parwabudaya diganti putri-putri Sultan .
Terkait polemik ini, Gusti Yudha buka suara. Dia menjelaskan gejolak ini telah terjadi sejak sabda raja pada tahun 2015 lalu yang dianggap menyalahi paugeran atau tradisi adat Keraton. Saat itu terjadi pengubahan gelar raja dari Buwono menjadi Bawono.
"Setelah sabda raja, kesepakatan saudara-saudara sudah mengingatkan Sri Sultan. Terus kita mundur (dari jabatan struktural Keraton itu) semua tidak ngeladeni (melayani). Karena raja sudah mengeluarkan sabda raja ganti nama Hamengku Bawono Langgeng Kasapuluh," kata Gusti Yudha ditemui di Dalem Yudonegaran, Kota Yogyakarta, Senin (25/1).
Langkah tersebut diambil Gusti Yudha dan saudara-saudaranya seperti Gusti Prabu supaya Sri Sultan menyadari langkahnya tak tepat. Harapannya tentu untuk menyelamatkan paugeran atau tradisi adat Keraton.
ADVERTISEMENT
"Semoga dengan kegiatan putra HB IX (mundur dari jabatan) dia (Sri Sultan) menyadari kesalahannya, tapi ndadi (semakin menjadi) ada dawuh dan sebagainya," katanya.
Dawuh dalem itu berisi pengangkatan GKR Mangkubumi, putri pertama Sri Sultan, sebagai putri mahkota. Nama Gusti GKR Pembayun pun menjadi Gusti Kanjeng Ratu Mangkubumi Hamemayu Hayuning Bawono Langgeng ing Mataram.
"Apalagi dawuh raja, Sultan mengangkat Gusti Pembayun (GKR Mangkubumi) terus duduk di Putra Mahkota," katanya.
Kini, dengan tak lagi menjadi pejabat struktural di Keraton, Gusti Yudha hanya bisa berdoa. Nantinya, semua akan dijawab oleh sejarah, apakah Keraton Yogyakarta akan tetap dipimpin laki-laki atau justru perempuan.
"Sekarang ini saudara-saudara hanya berdoa. Tidak mungkin itu kita berontak sampai nabrak regol (pagar) segala. Kita tidak sampai segitu. Kita berdoa, nanti langsung Allah SWT, nanti ada apa. Apakah beliau mau diwakili kalifah yang perempuan atau laki-laki. Nanti sejarah yang membuktikan," katanya.
ADVERTISEMENT
Sebelumnya, Raja Kraton Yogyakarta Sri Sultan Hamengku Buwono (HB) X angkat bicara terkait dua jabatan adiknya yang dicopot.
"Nak gelem aktif ora popo mosok ming gaji buta (kalau mau aktif bekerja tidak apa-apa, masak cuma gaji buta). 5 tahun tidak bertanggung jawab," kata Sri Sultan di Kepatihan Pemda DIY, Kamis (21/1).
Sri Sultan menjelaskan jabatan itu merupakan pembina budaya. Pengemban jabatan menerima gaji dari Dana Keistimewaan yang notabene merupakan APBN, yang kemudian ditampik Gusti Yudha.
"Iya to (digaji) kan pembina budaya kan dari APBN," katanya.
"Terlalu lama. Mosok 5 tahun gaji buta," ujarnya.
Sultan menepis keengganan adiknya bekerja terkait sabda raja. Menurutnya penggantian itu murni karena tanggung jawab pekerjaan.
ADVERTISEMENT
"Tidak ada hubungannya (sabda raja). Wong nyatanya yang nggak setuju sama saya kalau dia melaksanakan tugas sebagai pengagheng juga nggak saya berhentikan. Seperti Mas Jatiningrat, Mas Hadiwinoto kan juga tetap kerja karena dia juga melaksanakan tugas," ujarnya.