LIPSUS Klitih Yogya (krispi)

Geger Klitih Berujung Maut di Yogyakarta

10 Februari 2020 11:58 WIB
comment
14
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Aksi klitih di Yogyakarta. Ilustrator: Indra Fauzi/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Aksi klitih di Yogyakarta. Ilustrator: Indra Fauzi/kumparan
Klitih menjelma menjadi teror tak berkesudahan. Di kota pelajar, Yogyakarta, korban berjatuhan tak pandang bulu. Ia mencoreng wajah kota jadi sedemikian bengis.
“Pengecut,” ujar Rosyid di balik kemudi. Makian itu ia tujukan kepada para pelaku klitih yang membuatnya susah. Gara-gara orang-orang yang ‘hobi’ mengklitih, omzetnya ngojek jadi susut. Rosyid yang sering berburu orderan hingga tengah malam, kini jadi ekstra hati-hati. Ia memilih menghindari daerah rawan klitih. Harus sayang-sayang dengan nyawa sendiri.
“Pokoknya tukang klitih itu pengecut,” kata Rosyid lagi. Ia tengah berbicara dengan penumpangnya—pekerja Jakarta asli Yogyakarta yang tengah pulang kampung. Si penumpang mengajaknya ngobrol soal klitih yang belakangan kembali marak.
“Kalau ketemu beneran sama mereka, sampean wani opo ora (kamu berani atau tidak)?” tanya penumpang itu penasaran. Maklum saja, Rosyid tipikal tukang ojek ‘gagah’. Tunggangannya motor besar, helmnya full face, dan jaketnya tebal mengesankan.
“Kalau dia (tukang klitih) datang dari depan, yo wani. Kalau muncul dari belakang, jelas nggak!” sahut Rosyid terkekeh sambil menerobos luwes jalanan Yogya yang padat merayap.
Warga Yogya mengenal aksi klitih sebagai kekerasan jalanan yang menyasar pengendara motor di malam hari. Pelaku membuntuti calon ‘mangsa’, lalu menggeber motor mendekatinya, dan menggertak korban dengan pukulan atau sabetan senjata tajam. Tak ada motif jelas di balik aksi teror itu.
Pada kasus beruntun di awal Februari 2020, dua pengemudi ojek online jadi korban. Kedua kasus terjadi di Jalan Kabupaten yang berlokasi di Kecamatan Gamping, Kabupaten Sleman. Jalan yang menghubungkan permukiman warga Sleman dengan Kota Yogyakarta itu dikelilingi persawahan. Di siang hari, jalur itu dipadati kendaraan. Namun di malam hari, ia berubah jadi sepi dan minim penerangan.
Dua pengojek nahas yang terkena klitih di Jalan Kabupaten itu adalah Enriko dan Pendiyanto. Enriko baru beres mengantar penumpang pada pukul 03.00 jelang subuh, Sabtu (1/2), ketika ia mendadak dibacok oleh rombongan remaja tanggung.
Dua hari berselang, Senin (3/2), Pendiyanto disabet samurai saat hendak pulang usai seharian mengantar-jemput pelanggan. Lengan kanan lelaki asal Gunungkidul itu mendapat 17 jahitan.
Grup chat para pengojek sontak dipenuhi pesan untuk sama-sama menjaga keselamatan. Semua waswas. Tetua kelompok mewanti-wanti agar rekan-rekannya memperhatikan lokasi penjemputan dan pengantaran, serta tak mengambil orderan larut malam.
Klitih di Yogyakarta. Ilustrator: Indra Fauzi/kumparan
Klitih’ sejatinya punya arti bersahabat, yakni keluyuran untuk nongkrong atau cari makan malam-malam. Warga Yogya kemudian menggunakan frasa ‘klitih’ untuk menamai aktivitas iseng itu.
Bahasa bermetamorfosa. ‘Klitih’ mengalami perubahan makna kala tawuran antar-SMA merebak di Yogya pada awal tahun 2000-an. Saat itu, hampir semua sekolah di Kota Yogyakarta, baik negeri maupun swasta, punya geng aktif. Beberapa geng kemudian bersekutu dan bermusuhan dengan kubu lain.
‘Klitih’ kemudian terkait erat dengan aksi tawuran bermotor. Kebiasaan banyak siswa di Yogya mengendarai motor ke sekolah—cukup umur atau tidak, dan mengantongi SIM atau tidak—turut menopang popularitas klitih. Maka agak berbeda dengan tawuran di kota lain yang dilakukan dengan berlari atau membajak bus kota, pelajar Yogyakarta menggunakan motor sebagai ‘kendaraan perang’.
Dalam klitih, para pelaku lazimnya berboncengan. Yang memegang setir disebut ‘jongki’, sedangkan yang membonceng bertugas sebagai ‘petarung’. Mereka berkeliling kota mencari musuh yang sama-sama punya kebiasaan klitih.
Gonteng, mantan pelaku klitih lulusan SMA negeri di Yogyakarta, bercerita bahwa ia dulu biasa menanyakan asal SMA calon korbannya sebelum beraksi. Kalau benar orang itu dari sekolah ‘musuh’, ia akan langsung memukulinya.
Geng motor. Foto: ANTARA/Iggoy el Fitra
Ada aturan tak tertulis dalam klitih geng-geng SMA di Yogya. Mereka harus menyasar murid sekolah musuh, dan jika memungkinkan anggota geng lawan. Mereka juga mengharamkan target yang sedang membonceng perempuan.
“Jadi kalau saya kebetulan ketemu anak SMA tapi bukan (dari sekolah) musuh, ya nggak akan saya pukulin,” kata Gonteng kepada kumparan di Pasar Minggu, Jakarta Selatan, Jumat (7/2).
“Setelah klitih, nanti sekolahnya didrop (disamperin lawan), lalu akhirnya tawuran. Jadi klitih (dulu itu) alat buat mancing biar tawuran,” kata Eno, bekas tukang klitih lainnya, ketika ditemui di Yogya pada hari yang sama.
Klitih yang dimotori pelajar itu memakan banyak korban. Salah satunya alumni SMA Negeri 6 Yogyakarta, Teofilus Uky Caesar Kusuma, yang tewas saat terjebak tawuran antara adik kelasnya dengan siswa SMA Muhammadiyah 1 Yogya pada Desember 2009.
Tahun 2011, aksi itu mereda seiring bubarnya beberapa geng sekolah di Yogya. Namun, ia tak padam. Hanya berganti aktor. Tawuran antar-SMA tetap muncul dan cenderung semakin brutal karena disusupi geng kampung. Cara-cara yang digunakan lebih bengis. Berbeda dengan era sebelumnya yang minim penggunaan senjata tajam.
Sekarang pun, klitih sudah beda lagi. Ia bukan lagi permusuhan antar-geng SMA. Menurut Wakapolda DIY Brigjen Karyoto, “Yang dibilang ‘klitih’ sekarang itu sebetulnya kriminal tanpa motif.”
Klitih, Dulu dan Kini. Desainer: Masayu Antarnusa/kumparan
Karyoto menyatakan, sementara klitih antar-geng SMA punya motif balas dendam dan saling mengalahkan, kasus-kasus kekerasan jalanan masa kini terjadi tanpa alasan jelas. Data Polda DIY menunjukkan, pelaku klitih kebanyakan tetap remaja tanggung yang duduk di bangku sekolah SMP atau SMA.
Meski Polda DIY telah meningkatkan patroli, klitih termasuk kasus yang sulit diungkap karena ketidakjelasan jaringan dan motifnya. “Sehingga kami juga bingung kapan kejadiannya, di mana tempatnya, dan kami tidak bisa memprediksikan,” kata Karyoto.
Sepanjang 2019, Polda DIY mencatat terjadi 40 kasus klitih. Secara statistik, angka itu di bawah tindak kriminalitas lain seperti penipuan (795 kasus), pencurian biasa (515 kasus), narkoba (499 kasus), pencurian berat (182 kasus), dan pencurian kendaraan bermotor (364 kasus). Namun korban nyawa membuat klitih bergaung.
Tagar #DIYDaruratKlitih dan #Klitih bertengger di trending topic Twitter pada awal Februari 2020. Gubernur DIY Sri Sultan Hamengku Buwono X pun menyiapkan Peraturan Gubernur untuk meredam klitih di Yogyakarta. Pergub dirancang dengan sasaran pengawasan terhadap remaja. Keluarga tetap menjadi garda terdepan, dengan pelibatan psikolog hingga akademisi.
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten