Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Harta Rafael disorot setelah anaknya, Mario Dandy Satrio, menganiaya David Ozora, putra pengurus GP Ansor. Dalam Laporan Harta Kekayaan Pejabat Negara yang diserahkan ke KPK, Rafael tercatat memiliki harta Rp 56,7 miliar—nilai yang dianggap janggal karena posisi Rafael hanya pejabat eselon III di Kementerian Keuangan.
“Kadang kala respons muncul sesudah ada kasus kayak Rafael,” ujar Mahfud, 9 Maret 2023.
Sehari sebelumnya, 8 Maret, dalam kunjungannya ke dua kampus di Yogya, Mahfud bikin geger dengan menyebut adanya dugaan transaksi mencurigakan sebesar Rp 300 triliun di Kementerian Keuangan.
Transaksi itu—menurut Mahfud yang juga Ketua Komite Koordinasi Nasional Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang—terentang sejak 2009, dan sebagian besar terjadi di Direktorat Jenderal Pajak serta Direktorat Jenderal Bea dan Cukai.
Esoknya, 9 Maret, Menteri Keuangan Sri Mulyani menanggapi ucapan Mahfud. Ia menyatakan mendapat laporan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) sebanyak 196 kali selama 2009–2023, namun tak menemui angka Rp 300 triliun yang disebut Mahfud.
Menkeu juga mengatakan, telah menindaklanjuti seluruh laporan PPATK; juga yang berasal dari permintaan Inspektorat Jenderal Kemenkeu.
Tanggapan Menkeu itu langsung direspons Mahfud. Hari berikutnya, 10 Maret, Mahfud bertemu jajaran pejabat tinggi Kemenkeu di kantornya. Ketika itu Menkeu tidak dapat hadir dan diwakili oleh Wamenkeu Suahasil Nazara yang hadir bersama Irjen Kemenkeu Awan Nurmawan Nuh dan Sekjen Kemenkeu Heru Pambudi.
Dalam konpers usai pertemuan itu, Mahfud menjelaskan bahwa transaksi janggal Rp 300 triliun yang ia maksud bukanlah korupsi, melainkan pencucian uang yang diduga melibatkan 467 pegawai Kemenkeu dalam rentang waktu 2009–2023.
Keesokannya, 11 Maret, Mahfud ganti menyambangi kantor Kemenkeu untuk bertemu langsung dengan Sri Mulyani. Namun, usai keduanya bertemu, Menkeu masih menegaskan belum tahu detail perkara angka Rp 300 triliun itu. Untuk itu ia hendak mengundang Kepala PPATK Ivan Yustiavandana guna menjelaskan duduk perkaranya.
Selang dua hari, 13 Maret, Kepala PPATK berkirim surat bernomor SR/3160/AT.01.01/III Tahun 2023 ke Kemenkeu. Surat itu dilengkapi lampiran 43 halaman dan berisi daftar 300 surat yang merinci laporan transaksi senilai total Rp 349 triliun .
Hari berikutnya, 14 Maret, Ivan mengunjungi kantor Kemenkeu. Di sana, ia menyatakan bahwa laporan transaksi Rp 349 triliun itu memang terkait pegawai Kemenkeu, namun nilainya tak sebesar yang disebut Mahfud.
“Nilainya sangat minim,” kata Ivan.
Transaksi Rp 349 triliun itu, menurut Ivan, sebagian besar terkait dengan tugas dan fungsi Kemenkeu dalam menangani kasus tindak pidana asal (TPA) menyangkut perusahaan atau perseorangan yang berhubungan dengan pajak, ekspor impor, kepabeanan, dan bea cukai.
Berdasarkan UU No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, Kemenkeu merupakan salah satu penyidik TPA. Dengan demikian, PPATK wajib melapor ke Kemenkeu ketika ada kasus atau transaksi mencurigakan yang berkaitan dengan perpajakan dan kepabeanan.
"Kasus-kasus itulah yang konsekuensi logisnya memiliki nilai luar biasa besar, yang kita sebut kemarin Rp 300 triliun. Dalam kerangka itu, perlu dipahami bahwa ini bukan tentang abuse of power atau korupsi yang dilakukan oleh pegawai Kementerian Keuangan,” jelas Ivan.
Sejak isu tersebut mencuat, spekulasi memang beredar santer. Publik menduga-duga apakah transaksi mencurigakan itu berpusar di Kemenkeu, atau terkait wewenang para pejabat Kemenkeu, atau jangan-jangan terkait pencucian uang di lingkungan Kemenkeu.
Maka, agar perkara lebih cepat jernih, Mahfud memutuskan untuk membuat pertemuan intensif antara pihaknya, Kemenkeu, dan PPATK.
Dua minggu kemudian, 27 Maret, Sri Mulyani memberikan penjelasan resmi dalam rapat kerja Kemenkeu dengan Komisi XI DPR. Menurutnya, laporan dari Kepala PPATK yang ia terima pada 13 Maret berisi 300 surat yang merupakan gabungan hasil analisis PPATK.
Dari 300 surat itu, 100 surat sebelumnya dikirim ke aparat penegak hukum lain dengan nilai transaksi Rp 74 triliun; 65 surat berisi transaksi korporasi sebesar Rp 253 triliun yang berhubungan dengan fungsi Direktorat Jenderal Pajak dan Bea Cukai; dan 135 surat sisanya terkait Kemenkeu dengan nilai transaksi Rp 22 triliun.
Namun dari jumlah Rp 22 triliun yang disebut terkait Kemenkeu itu, menurut Sri Mulyani, sebanyak Rp 18,7 triliun merupakan transaksi korporasi yang tidak ada hubungannya dengan pegawai Kemenkeu.
Khusus transaksi yang melibatkan pegawai Kemenkeu, nilainya hanya Rp 3,3 triliun. Menurut Sri Mulyani, angka tersebut adalah transaksi debit-kredit termasuk gaji, transaksi terkait keluarga, dan jual beli aset pegawai.
Penjelasan berbeda disampaikan Mahfud. Dalam rapat kerja dengan Komisi III DPR pada 29 Maret, ia menyebut bahwa ada dugaan korupsi di Kemenkeu, dan jumlahnya bukan Rp 3,3 triliun, melainkan Rp 35 triliun.
Hal ini sontak bikin geger lagi.
Transaksi Apa Sebetulnya Rp 349 Triliun Itu?
Perbedaan penjelasan antara Menkeu dan Menko Polhukam akhirnya membuat Komisi III DPR memanggil keduanya untuk menggelar rapat bersama pada 11 April. Mahfud mendapat kesempatan pertama untuk memaparkan penjelasannya.
Dalam pemaparannya, Mahfud mengatakan bahwa 300 surat hasil analisis PPATK pada periode 2009–2023 memuat dugaan transaksi mencurigakan senilai total Rp 349,8 triliun.
Dari 300 surat analisis PPATK itu, 200 di antaranya ditujukan ke Kemenkeu dengan nilai transaksi mencurigakan Rp 275 triliun. Dua ratus surat itu terdiri dari 92 surat inisiatif PPATK dengan nilai transaksi Rp 236,2 triliun, dan 108 surat inisiatif Kemenkeu dengan nilai transaksi Rp 39,3 triliun.
Sementara dari 100 surat sisanya, 99 dikirim ke aparat penegak hukum lain, dan 1 dikirim ke lembaga lain. Nilai transaksi dalam 100 surat analisis tersebut ialah Rp 74 triliun.
Mahfud menjelaskan, perbedaan data pihaknya dengan Kemenkeu terjadi akibat perbedaan kategorisasi data. Mahfud mencampurkan semua data terkait pegawai Kemenkeu yang dikirim PPATK ke Sri Mulyani dan aparat penegak hukum (APH) lain.
“Terlihat berbeda karena klasifikasi dan penyajian data berbeda. Keseluruhan mencapai 300 surat itu sama. Dengan total nilai transaksi agregat Rp 349 triliun itu sama antara Kemenkeu dan Kemenko Polhukam,” ucap Mahfud.
Sri Mulyani senada soal 300 surat hasil analisis PPATK tersebut. Namun, ia mengklasifikasikan surat-surat itu sesuai dengan pemaparannya pada rapat Komisi XI DPR 27 Maret, bahwa 200 surat untuk Kemenkeu yang terdiri dari 65 surat bernilai transaksi Rp 253 triliun dan 135 surat bernilai Rp 22 triliun; serta 100 surat ke APH lain dengan nilai transaksi Rp 74 triliun.
Namun, pada rapat bersama Komisi III dan Mahfud kali itu, Sri Mulyani mendetailkan nilai transaksi pada 100 surat yang ditujukan ke APH lain. Dari 100 surat itu, menurutnya, 64 terkait pegawai Kemenkeu dengan nilai transaksi Rp 13 triliun, dan 36 surat lain terkait perusahaan dengan nilai transaksi Rp 61 triliun.
Sri Mulyani juga menguraikan perbandingan datanya dan Mahfud. Ia menyandingkan tabel perbedaan klasifikasi data di antara keduanya. Kesimpulannya, ujar Sri, meski kedua data beda penyajian, tetapi sesungguhnya tidak berbeda.
Sri Mulyani kukuh pada penjelasan awalnya bahwa transaksi yang menyangkut pegawai Kemenkeu hanya Rp 3,3 triliun dari Rp 35 triliun yang ditudingkan Mahfud.
Dalam tabel penjelasannya, Rp 3,3 triliun itu merupakan bagian dari transaksi Rp 22 triliun dalam 135 surat analisis PPATK yang dikirimkan ke Kemenkeu. Sementara Rp 18,7 triliun sisanya merupakan transaksi 4 perusahaan dan 2 individu pada periode 2015–2022.
Walau begitu, Sri Mulyani juga menampilkan data transaksi pada surat yang dikirim PPATK ke APH terkait pegawai Kemenkeu sebesar Rp 13 triliun. Namun ia tak merinci kasus yang ditangani di luar institusinya tersebut.
Dengan demikian, transaksi Rp 22 triliun dan Rp 13 triliun di atas jika ditotal berjumlah Rp 35 triliun.
Menkeu menegaskan, sebagian besar surat yang dikirim PPATK ke instansinya telah ditindaklanjuti, sedangkan sisanya dalam proses penyelesaian oleh Kemenkeu dan APH.
Staf Khusus Kemenkeu Yustinus Prastowo menyampaikan, 98% surat PPATK yang telah ditindaklanjuti memuat nilai transaksi Rp 275 triliun.
“Sisanya [dengan nilai transaksi] Rp 362 miliar atau sekitar 2% masih dalam proses tindak lanjut,” kata dia kepada kumparan di kantor Kemenkeu, Kamis (13/4).
Yang juga menjadi sorotan publik adalah transaksi Rp 189 triliun yang merupakan bagian dari Rp 349 triliun tersebut. Berdasarkan penjelasan Mahfud, transaksi Rp 189 triliun itu merupakan tindak pidana asal dari perusahaan yang melanggar kepabeanan.
Untuk itu, Mahfud dan Sri Mulyani berkomitmen menindaklanjuti dugaan transaksi mencurigakan senilai total Rp349 triliun itu melalui case building dengan membentuk Satgas Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU).
“Dengan memprioritaskan LHP (Laporan Hasil Pemeriksaan) paling besar dengan nilai agregat Rp 189 triliun karena telah menjadi perhatian masyarakat,” kata Mahfud.
Satgas TPPU ini akan melibatkan PPATK, Ditjen Pajak, Ditjen Bea Cukai, Bareskrim Polri, Kejaksaan Agung, Otoritas Jasa Keuangan, Badan Intelijen Negara, dan Kemenko Polhukam.
Pegawai Kemenkeu di Pusaran Transaksi Mencurigakan
Soal transaksi Rp 3,3 triliun yang melibatkan pegawai Kemenkeu, Yustinus menjelaskan kementeriannya telah melimpahkan 16 kasus pegawai yang terbukti melakukan tindak pidana korupsi ke penegak hukum. Keenam belas kasus itu telah ditindaklanjuti dan para pegawai yang terlibat pun telah divonis.
Menurut Yustinus, yang menentukan ada-tidaknya tindak pidana pencucian uang oleh pegawai Kemenkeu setelah kasus dilimpahkan ke aparat adalah hakim dan penyidik. Case building juga dapat membuka tabir lebih menyeluruh.
“Jadi itulah pentingnya Satgas, karena case building jadi bisa dilakukan bersama-sama,” kata Yustinus.
Sri Mulyani menjelaskan, sebagian besar surat PPATK telah ditindaklanjuti kementeriannya lewat audit. Terdapat 82 audit investigasi yang berujung hukuman disiplin terhadap 193 pegawai. Ada pula 13 pegawai yang divonis di pengadilan.
Yustinus menjelaskan, 193 pegawai kementeriannya yang dihukum disiplin memang belum mendapat sanksi pidana. Ini karena UU Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara mengatur bahwa kewenangan kementerian hanya di ranah administrasi atau kode etik.
“Jadi misalnya seorang pegawai mengakui kekayaannya meningkat dan dia tidak bisa menjelaskan, itu kan secara profil tidak memberikan laporan. Dia tidak benar dan dilakukan disiplin pegawai. Kami berikan sanksi ke yang bersangkutan. Namun, apakah itu tipikor atau tidak, itu kewenangan APH, jadi kami tidak bisa tindak lanjuti,” jelas Yustinus.
Secara rinci, transaksi mencurigakan senilai Rp 3,3 triliun tersebut diduga melibatkan 348 pegawai Kemenkeu. Dari jumlah itu, penindakan dibagi menjadi dua tahap.
Pada tahap pertama, ada 164 pegawai yang dihukum disiplin: 37 diberhentikan, 20 dibebaskan dari jabatan, 64 diturunkan pangkatnya, dan 43 ditegur serta ditunda kenaikan pangkatnya.
Pada tahap kedua, ada 184 pegawai yang dihukum. Dari jumlah itu, 13 di antaranya divonis pengadilan, 41 diaudit, 12 dimutasi, 13 mengundurkan diri.
Mengenai transaksi Rp 253 triliun yang diduga berhubungan dengan fungsi Direktorat Jenderal Pajak dan Bea Cukai, Sri Mulyani menjelaskan bahwa PPATK tak menemukan hal itu terkait dengan pegawai Kemenkeu.
Kendati demikian, Inspektorat Jenderal Kemenkeu tetap menggelar audit investigasi soal transaksi Rp 253 triliun itu yang berujung pada pemberian sanksi disiplin terhadap 24 pegawai, dengan rincian: 6 diberhentikan, 5 dibebaskan dari jabatan, 1 diturunkan pangkatnya, dan 12 diberi surat teguran.
Data Transaksi Tetap Disoal
Anggota Komisi III DPR Taufik Basari tetap mengkritik penjelasan Sri Mulyani dan Mahfud yang menurutnya masih berbeda. Perbedaan itu menurutnya terletak pada tiga hal.
Pertama, mengenai jumlah pegawai Kemenkeu yang terlibat dalam transaksi janggal Rp 349 triliun. Mengacu pada pemaparan Mahfud, terdapat 491 pegawai Kemenkeu yang terlibat. Jumlah tersebut lebih banyak 2 pegawai dibanding pemaparan Sri Mulyani.
Menanggapi hal itu, Yustinus menjelaskan ada surat yang rangkap sehingga memungkinkan terjadinya perbedaan minor dalam jumlah pegawai Kemenkeu yang terlibat.
“Di Kemenkeu dihitung sekali, sedangkan Kemenko kan tidak tahu detail sehingga dihitung (rangkap),” kata dia kepada kumparan, Minggu (16/4).
Kedua, Tobas—sapaan Taufik Basari—mempertanyakan perbedaan jumlah surat yang dikirim ke Kemenkeu oleh PPATK. Dalam pemaparan Mahfud, ada 200 surat yang semuanya merupakan laporan hasil analisis (LHA) PPATK.
Sementara itu, Kemenkeu menghitung lebih rinci, bahwa 200 surat itu terbagi menjadi 166 surat berupa informasi transaksi keuangan, dan 34 surat lainnya ialah hasil analisis PPATK yang ditujukan ke Kemenkeu.
“Kemungkinannya Kemenko kan hanya menerima rekap surat, jadi berasumsi itu semua LHA. Sementara Kemenkeu mengecek surat ke arsip fisik,” jelas Yustinus.
Ketiga, Tobas mempertanyakan kategorisasi pemaparan Sri Mulyani yang lebih banyak dibanding Mahfud. Menurutnya, jumlah kategorisasi pemaparan yang berbeda akan menentukan tindak lanjut dari case building secara keseluruhan.
Pemaparan Sri Mulyani membagi kategorisasi keterlibatan pegawai Kemenkeu dalam tiga bagian. Pertama, kategori surat yang dikirim ke pegawai Kemenkeu secara langsung. Kedua, yang melibatkan pegawai Kemenkeu dan pihak lain. Ketiga, yang terkait dengan kewenangan.
Selain ketiga poin tersebut, Tobas mengkritisi tiadanya pemisahan surat dan nilai transaksi keuangan yang sudah tuntas ditindaklanjuti, sehingga nilai tersebut tidak dikeluarkan dari Rp 349 triliun yang merupakan data agregat.
“Berapa nilainya (transaksi yang belum diselesaikan), itu yang harus kita kejar. Karena kalau cara penyampaian di awal heboh Rp 349 T, kesan di publik Rp 349 T itu masih bermasalah dan punya potensi untuk dikejar,” tutup Tobas.