Gelaran Formula E Jakarta dan Potensi Peningkatan Pasar Mobil Listrik di RI

19 Mei 2022 18:46 WIB
·
waktu baca 6 menit
clock
Diperbarui 9 Agustus 2022 6:45 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Foto udara Sirkuit Jakarta International E-Prix Circuit (JIEC) atau Formula E di kawasan Taman Impian Jaya Ancol, Jakarta. Foto: Faiz Zulfikar/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Foto udara Sirkuit Jakarta International E-Prix Circuit (JIEC) atau Formula E di kawasan Taman Impian Jaya Ancol, Jakarta. Foto: Faiz Zulfikar/kumparan
Ajang balap Formula E di DKI Jakarta pada 4 Juni mendatang diprediksi dapat mengamplifikasi animo masyarakat terhadap eksistensi mobil listrik di Indonesia. Meski begitu, Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (GAIKINDO) melihat bahwa ada sejumlah tantangan terkait penjualan kendaraan bebas emisi tersebut.
“Animo bisa meningkat, tapi daya beli kan susah ditingkatkan,” kata Ketua I GAIKINDO Jongkie Sugiarto kepada kumparan, Kamis (19/5).
Menurut Jongkie, daya beli masyarakat Indonesia saat ini masih di deretan mobil dengan harga Rp 300 juta ke bawah. Sementara itu, harga mobil listrik saat ini masih ada di kisaran Rp 700 juta per unit. Itu pun sudah dibebaskan pajak barang mewah (PPnBM).
Hal yang perlu dicatat, penjualan mobil berbasis listrik di Indonesia naik dari tahun ke tahun. Penjualan mobil listrik murni atau BEV (Battery Electric Vehicle) bahkan naik 5 kali lipat pada tahun 2021.
Berdasarkan survei BMW Group Asia, 83 persen pengemudi di Indonesia pada dasarnya ingin lebih banyak kendaraan listrik murni atau BEV di jalan. Hal ini didasari kesadaran akan dampak lingkungan yang lebih kecil bahkan nol dibanding mobil-mobil konvensional atau ICE (Internal Combustion Engine).
Sementara itu, 37 persen pengemudi di Indonesia akan mempertimbangkan membeli mobil listrik hybrid atau mobil listrik penuh saat hendak membeli kendaraan. Survei tersebut dirilis pada akhir Maret 2022 lalu atau tiga bulan sebelum perhelatan Formula E dilaksanakan.
Infografik tren Mobil berbasis listrik. Foto: Dimas Prahara/kumparan

Belajar dari Penjualan Mobil Listrik di Inggris

Pernyataan Jongkie soal adanya korelasi Formula E dan peningkatan animo masyarakat terhadap mobil listrik boleh jadi tepat. Sebab di Inggris, animo yang tinggi terhadap mobil listrik itu bahkan dapat mendongkrak penjualan mobil listrik nasional.
Sejak EPrix London digelar pada musim 2014-15 sampai musim 2015-16, penjualan mobil listrik murni atau BEV melesat hingga 14 kali lipat pada April 2022.
Berdasarkan data yang dirilis zap-map, jumlah mobil listrik yang berada di jalan-jalan Inggris pada tahun 2016 ada di angka 30.669. Namun pada April 2022, jumlahnya melonjak menjadi 473.561 unit. Itu tak lepas dari kampanye sustainability (keberlanjutan) yang digaungkan oleh gelaran Formula E di negara tersebut.
Sementara itu, market share atau pangsa pasar mobil listrik murni atau BEV di Inggris memang belum di atas 50 persen. Namun pertumbuhannya konsisten melesat dari tahun ke tahun. Dari yang awalnya nol sekian persen hingga menyentuh angka 14,4 persen pada April 2022.
Melesatnya pertumbuhan penjualan mobil listrik murni atau BEV itu dipicu oleh kesadaran masyarakat yang semakin peduli terhadap lingkungan. Selain itu, pemerintah Inggris juga menargetkan negaranya nol emisi pada tahun 2030.
Menurut data dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), mobil listrik murni atau BEV hanya akan menghasilkan emisi CO2 sebesar 0-5 gram/km. Sementara itu, emisi CO2 dari mobil konvensional atau ICE dapat mencapai 125-250 gram/km.
Banyaknya emisi CO2 yang lepas ke udara pada dasarnya akan berakibat pada meningkatnya suhu bumi. Pemanasan global tak lain disebabkan karena banyaknya bahan bakar fosil (BBM) yang digunakan oleh masyarakat. Dampaknya adalah terjadi perubahan iklim, naiknya permukaan air laut, hingga cuaca ekstrem yang merugikan umat manusia itu sendiri.
Di Inggris, meningkatnya penjualan mobil listrik murni atau BEV terbukti berhasil menekan emisi CO2. Berdasarkan data Society of Motor Manufacturers and Traders (SMMT), rata-rata emisi CO2 mobil baru turun 11,2%, menjadi 119,7 gram/km pada tahun 2021.
Angka tersebut cukup besar mengingat bahwa market share BEV baru ada di angka belasan persen. Bukan tidak mungkin emisinya akan benar-benar nol ketika BEV sudah menjadi tren baru di industri otomotif negara tersebut.
Test drive dari mobil listrik Hyundai IONIQ 5. Foto: Muhammad Haldin Fadhila/kumparan

Masa Depan Mobil Listrik di Indonesia

Selain harga yang masih tinggi, tantangan mobil listrik di Indonesia adalah sumber energi yang belum 100 persen renewable (dapat diperbaharui). Mayoritas pasokan listrik dalam negeri masih didominasi oleh batu bara hingga diesel yang masih menyuplai CO2 ke udara.
Berdasarkan data BPS 2020, pembangkit listrik PLN yang ramah lingkungan seperti tenaga air, tenaga mikro hidro, serta tenaga surya masih relatif kecil.
Meski begitu, Direktur Eksekutif Komite Penghapusan Bensin Bertimbal, Ahmad Syafrudin, menilai bahwa fakta tersebut bukanlah alasan untuk tidak pindah ke mobil listrik. Menurutnya, kendaraan listrik yang menggunakan energi pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) yang notabene dari batu bara pun akan 44 persen lebih efisien ketimbang teknologi konvensional.
“Kalau kita diganggu ICE technology dengan mitos-mitos bahwa electronic vehicle masih polutif karena menggunakan listrik batu bara akhirnya kita enggak masuk di situ. Kalau kita masih bertahan di ICE technology, maka kita tidak punya peluang untuk zero emission vehicle,” kata Ahmad saat dihubungi terpisah.
Infografik Untung Punya Kendaraan Listrik. Foto: kumparan
Menurut Ahmad, pemerintah harus melakukan intervensi terhadap harga mobil listrik yang masih tinggi untuk pasar Indonesia. Oleh sebab itu, pemerintah perlu untuk menciptakan regulasi yang tepat terhadap kendaraan listrik tersebut. Apalagi pemerintah sudah berkomitmen bahwa tahun 2050 Indonesia mencapai nol emisi.
Analogi beban emisi CO2 kendaraan di DKI Jakarta. Foto: kumparan
Khusus di Jakarta saja, sumber emisi Gas Rumah Kaca (GRK) terbesar berasal dari sektor transportasi. Data Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta menunjukkan bahwa sepanjang 2021, emisi dari sektor tersebut mencapai 11,86 juta ton CO2 ekuivalen. Jika dianalogikan, beban emisi tersebut setara dengan berat 3 candi borobudur.
Sementara itu, kesiapan kendaraan listrik di Indonesia masih terus berproses. Sejumlah infrastruktur kendaraan listrik sudah dibangun. Salah satunya adalah Stasiun Pengisian Listrik Umum (SPKLU). hingga Februari 2022, total SPKLU nasional sudah mencapai 267 unit di 195 lokasi. Salah satu perusahaan yang memasok listrik untuk kendaraan ramah lingkungan tersebut adalah PLN.
Di atas kertas, Indonesia punya sejumlah keuntungan terhadap teknologi mobil listrik, Salah satunya adalah cadangan nikel Indonesia yang terbesar di dunia. Nikel merupakan komponen untuk pembuatan baterai mobil listrik. Uniknya, harga sebuah baterai mobil listrik dapat mencapai 50 persen dari harga mobil itu sendiri.
Pemerintah pun sudah melihat potensi besar tersebut. Presiden Jokowi bahkan sudah melakukan peresmian groundbreaking pabrik baterai kendaraan di Karawang, Jawa Barat, pada 15 Desember 2021 lalu.
Pabrik tersebut akan menjadi pabrik baterai kendaraan listrik terbesar di Asia Tenggara. Nilai investasi yang digelontorkan oleh Hyundai Motor Group dan LG Energy Solution mencapai 1,1 miliar dolar AS atau setara Rp 15 triliun.
Rencananya, pabrik tersebut dapat beroperasi pada tahun 2023 mendatang. Bukan tidak mungkin harga sebuah mobil listrik di Indonesia akan lebih kompetitif lagi karena diproduksi di dalam negeri. Bukan lagi impor seperti saat ini.