Geliat Gereja Ortodoks di Indonesia

11 Juli 2022 11:30 WIB
·
waktu baca 7 menit
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
ADVERTISEMENT
Rumah besar yang terletak di samping Mal Gandaria City, Jakarta Selatan pada Minggu (3/7) pagi pukul 07.30 WIB nampak masih sepi. Hanya segelintir petugas jaga saja yang datang bergantian, memakirkan sepeda motornya di dalam.
ADVERTISEMENT
Sekilas, rumah tersebut tak jauh berbeda dengan rumah-rumah di kawasan elite Jakarta yang punya taman dan halaman yang luas.
Siapa sangka, itu adalah Gereja Ortodoks Rusia St Thomas, tempat ibadah bagi umat Kristen Ortodoks Rusia di Indonesia.
Maklum, di depan gereja ini tidak ada papan penanda atau plang seperti yang umumnya ditemukan di gereja-gereja lainnya. Gereja St Thomas punya dua bangunan besar, namun hanya satu yang dipakai untuk ibadah.
Lokasinya ada di belakang, setelah melewati taman samping dan kolam baptis. Sementara bangunan lain kini digunakan untuk ramah tamah.
Ikon "Pernikahan di Kana" di depan pintu masuk Gereja Ortodoks St Thomas. Foto: Nabila Ulfa/kumparan
Gambar “Pernikahan di Kana”, yang bercerita soal tempat Yesus membuat mukjizat pertama yaitu mengubah air menjadi anggur, langsung menyambut kami di depan pintu masuk. Terdapat lilin-lilin serta kotak berisi kerudung dan kain yang bisa digunakan umat untuk beribadah.
ADVERTISEMENT
Di dalam ruang ibadah yang tak terlalu besar tersebut, gambar-gambar yang disebut ikon itu tersebar di seluruh sudut. Ikon suci itu bukan hanya menampilkan Yesus Kristus saja, melainkan juga Bunda Maria dan para Santo Santa beserta kisahnya.
Hari itu, umat Ortodoks melaksanakan Liturgi Ilahi, sebuah ibadah wajib yang berisi doa dan pujian. Ibadah baru dimulai pada pukul 08.30 WIB, namun umat sudah mulai datang sekitar 07.40. Mereka yang baru tiba lantas masuk tanpa alas kaki, menyalakan lilin di depan salib, berdoa, lalu mencium ikon.
Umat yang baru tiba langsung menyalakan lilin lalu berdoa di depan salib. Foto: Nabila Ulfa/kumparan
Selama sekitar 2,5 jam, sekitar 30-an umat melantunkan mazmur yang dipimpin oleh Romo dan koor dari Reader (pembaca doa). Romo sendiri berada di ruangan suci terpisah yang letaknya di balik altar.
ADVERTISEMENT
Hampir seluruh rangkaian ibadah itu dilakukan sambil berdiri. Kursi memanjang hanya ada sedikit, itupun diisi anak-anak di baris belakang.
Umat wanita dan pria tampak berada di barisan terpisah. Saat beribadah, umat wanita mengenakan kerudung, layaknya hijab di agama Islam.
Para umat berdoa dengan khusyuk di Gereja Ortodoks St Thomas. Foto: Nabila Ulfa/kumparan
Ibadah lantas ditutup dengan umat berbaris, mencium kitab dan salib serta meminta berkat kepada Romo secara bergiliran. Usai berdoa, acara siang itu mereka lanjutkan dengan ramah tamah.
Selain di St Thomas, Jakarta Selatan, gereja Ortodoks lainnya di Jabodetabek adalah Paroki Epifani Suci. Gereja yang terletak di Kalimalang ini merupakan rumah ibadah bagi umat Kristen Ortodoks Kepatriarkan (Kepemimpinan) Konstantinopel. Gereja tersebut merupakan pusat ibadah Kristen Ortodoks pertama di Jakarta.
Gereja Ortodoks Epifani Suci, Jakarta Timur. Foto: Nabila Ulfa/kumparan
Lantas, apa bedanya dua gereja ini?
ADVERTISEMENT
Romo Prochoros Rinus Manukallo dari Paroki Epifani Suci, Kalimalang, Jakarta Timur menjelaskan bahwa gereja mereka berada di bawah yurisdiksi Kepatriarkan Konstantinopel (Turki).
Kepatriarkan (kepemimpinan) Konstantinopel merupakan salah satu dari lima kepatriarkan kuno (purba), yakni Yerusalem, Alexandria, Antiokhia, Konstantinopel, dan Roma. Gereja Epifani Suci ini mendapat pengaruh budaya Yunani.
Nah, gereja Moskow Rusia merupakan wilayah yang menerima Injil sekitar abad ke-10, sehingga menjadi Kristen oleh para penginjil dari Konstantinopel. Itulah yang menjadikan Rusia menerima Iman Ortodoks.
Di Indonesia sendiri, gereja Ortodoks Rusia ada di bawah Patriarkat Moskow yang awalnya merupakan bagian dari gereja Konstantinopel, namun menjadi gereja berkepala sendiri (autokefalus).
“Jadi, secara yurisdiksi berbeda. Yang satu yurisdiksinya Konstantinopel, yang satu yurisdiksinya Moskow. Beda wilayah hukumnya,” tutur Romo saat ditemui kumparan, Minggu (3/7/2022).
Kubah dengan ikon Yesus di Gereja Ortodoks Epifani Suci, Jakarta Timur. Foto: Nabila Ulfa/kumparan
Meski begitu, secara umum ibadah mereka sama. Yang membedakan adalah pengaruh budaya di masing-masing wilayah.
ADVERTISEMENT
“Hanya mungkin bingung kalau bahasa. Karena mungkin kebanyakan teman-teman yang menyebut diri sebagai komunitas Rusia itu biasanya mereka menggunakan (bahasa) Rusia separuh-separuh dan di sini kita menggunakan bahasa Yunani separuh-separuh,” jelasnya.

Eksistensi dan Hubungan dengan Pemerintah

Geliat gereja Ortodoks di Indonesia dimulai pada 1988. Kala itu, gereja Ortodoks pertama berdiri di Solo, Jawa Tengah. Adanya gereja ini menambah keberagaman umat Nasrani yang didominasi oleh Katolik dan Protestan.
“Waktu itu dibawa oleh seorang anak muda yang kebetulan beliau belajar di Korea. Dari Korea, beliau ditahbis untuk menjadi seorang Romo dan Diakon,” kata Kepala Paroki Gereja Ortodoks Rusia St Thomas, Romo Boris Setiawan kepada kumparan pada Minggu (3/7/2022).
Anak muda yang Romo Boris maksud adalah Daniel Bambang Dwi Byantoro, seorang arkimandrit (kepala biara tertinggi) sekaligus pendiri Gereja Ortodoks Indonesia. Ia juga menerjemahkan buku-buku liturgi ke dalam Bahasa Indonesia. Upayanya berujung pada pengakuan resmi pemerintah terhadap Gereja Ortodoks di Indonesia pada 1996.
ADVERTISEMENT
Singkatnya, gereja-gereja Ortodoks terus berkembang ke wilayah lain di Indonesia. Saat ini gereja tersebut tersebar di Surabaya, Malang, Medan, dan lainnya.
“Seluruh Ortodoks di seluruh Indonesia sih–kita Ortodoks dan komunitas Ortodoks itu ada 5. Jadi kalau saya mungkin perkiraan aja, 3000 (umat) kemungkinan sekitar begitu,” ujar Romo Boris.
Bangunan Gereja Ortodoks Epifani Suci, Jakarta. Foto: Nabila Ulfa/kumparan
Kristen Ortodoks memang bukan salah satu dari enam agama resmi yang diakui oleh pemerintah Indonesia. Namun, ini bukan berarti gereja Ortodoks bergerak ‘di bawah tanah’. Setelah diakui tahun 1996, agama yang juga menggunakan Alkitab ini berada di bawah Bimas Kristen Kementerian Agama RI.
Romo Boris dan Romo Prochoros pun mengaku dukungan pemerintah terus mengalir. Menurut Romo Boris, hubungan Indonesia-Rusia yang baik juga membuat ikatan antara pemerintah dengan Gereja Ortodoks Rusia di Jakarta jadi lebih erat.
ADVERTISEMENT
“Hubungannya sampai saat ini sangat-sangat bagus. Itu juga pada waktu pentahbisan dari Uskup yang ditugaskan untuk Jakarta, perwakilan dari Dubes (RI) datang ke Katedral yang di Moskow. Dubes Rusia Ibu Lyudmila juga sering datang ke sini,” tuturnya.
Hal serupa turut diiyakan Romo Prochoros. Selain memberii izin untuk beribadah, pemerintah juga mendukung adanya sekolah-sekolah teologi.
“Biasanya kalau ada kegiatan dari pemerintah, kita diundang. Hubungannya sangat baik,” katanya.

Beragam Ciri Khas

Berdasarkan sejarah dan tradisi, Kristen Ortodoks memiliki kedekatan dengan Katolik Roma. Mereka pun punya sejumlah kesamaan dalam beribadah. Namun, terdapat banyak perbedaan dari keduanya.
Salah satu kejadian penting terkait ini adalah peristiwa Skisma Besar tahun 1054 M. Peristiwa tersebut menandai pecahnya dua kubu antara Katolik Roma (sering disebut Gereja Barat, berbasis di Roma) dengan Ortodoks (sering disebut gereja Timur, berbasis di Yerusalem, Alexandria, Antiokhia dan Konstantinopel Turki).
Infografik Serba-serbi Kristen Ortodoks. Foto: kumparan
Dalam peristiwa itu, gereja Barat dan Timur menghadapi konflik politik dan beberapa ketidakcocokan dalam beragama. Misalnya, Katolik Roma percaya bahwa Paus adalah pemimpin gereja yang paling tertinggi.
ADVERTISEMENT
Ketika Paus bicara untuk seluruh gereja, maka itu adalah sebuah kebenaran. Namun, ini ditentang Kristen Ortodoks, sebab Paus adalah manusia yang tak mungkin luput dari kesalahan.
Kristen Ortodoks dipimpin oleh Patriark, pemimpin yang ada di beberapa wilayah di seluruh dunia. Patriark ini bersifat sebagai pemimpin spiritual saja dan tidak berhak membuat dogma atau ajaran baru.
Selain itu, Kristen Ortodoks mempertahankan tradisi-tradisi purba atau kuno. Bagi mereka, penting untuk memegang ajaran yang terdahulu.
Praktik tradisi gereja mula-mula ini tampak dari ornamen hingga cara berdoa. Dalam gereja Ortodoks, tak ditemukan alat musik. Mereka pun tak menggunakan media penyembahan patung, sebab itu dianggap sebagai tradisi yang tidak dipraktikkan di awal Kekristenan.
Oleh sebab itu, mereka cenderung menggunakan ikon-ikon bergaya Byzantine maupun Rusia yang tersebar di seluruh ruangan. Ini berasal dari tradisi awal sebagai wujud nyata Inkarnasi Sabda Allah dalam dunia.
Ikon para Santo Santa di Gereja Ortodoks Epifani Suci, Jakarta. Foto: Nabila Ulfa/kumparan
Adapun cara berdoa, mereka juga mengangkat tangan seperti umat Islam. Umat Ortodoks bahkan mempunyai ibadah salat atau sembahyang yang merujuk pada Nabi Daniel (3 kali sehari) dan Nabi Daud (7 kali sehari).
ADVERTISEMENT
Hari raya Natal, bagi mereka yang mengikuti kalender Julian Lama seperti Ortodoks Rusia, dirayakan pada 7 Januari. Sementara bagi umat Ortodoks Konstantinopel yang menggunakan kalender Julian Baru, hari raya Natal jatuh pada tanggal 25 Desember.
Romo Boris Setiawan, Kepala Paroki Gereja Ortodoks Rusia St Thomas, Jakarta. Foto: Nabila Ulfa/kumparan
Jumlah umat Kristen Ortodoks di Indonesia memang tak sebanyak umat Katolik atau Kristen Protestan. Hal ini membuat mereka sebagai minoritas rentan mendapat opini negatif dari sekitar, terlebih soal cara ibadah yang berbeda.
Bagi Romo Boris, masyarakat awam berhak menilai Ortodoks dari kacamata mereka, baik itu baik atau buruk. Namun, dia berharap mereka mau datang ke gereja dan berdiskusi untuk saling mengenal.
Selama ini pun Gereja St Thomas maupun Epifani Suci terbuka menerima tamu dari Kristen lainnya maupun dari agama lain. Mereka yang datang biasanya penasaran soal kegiatan keagamaan Kristen Ortodoks. Tak jarang, ada yang meminta berkat dari Romo untuk kesembuhan atau keselamatan.
ADVERTISEMENT
Romo juga mengatakan, perbedaan yang ada bukanlah penghalang untuk bermasyarakat.
“Mari kita datang cari kesamaan dari semua agama atau denominasi. Kesamaannya apa, sih, kita? Kalau kita berkata cuma mencari suatu perbedaan, akhirnya terjadi suatu perdebatan. Itu adalah permasalahan yang terjadi di semua agama,” jelas Romo Boris.