Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.86.0
Surahman terenyak membaca pesan WhatsApp yang masuk ke ponselnya. Siang itu, akhir Maret lalu, ia sedang bekerja di tempat salah satu klien kantor.
Tiba-tiba ponsel pria 23 tahun itu berbunyi tanda ada pesan baru masuk. Seorang rekan kerja menyampaikan kabar buruk: Surahman dipecat.
"Langsung saya WhatsApp bos. Eh, bener, dipecat," katanya kepada kumparan, Selasa (7/4).
Surahman baru 11 bulan bekerja sebagai teknisi di perusahaan penyedia jasa perawatan alat-alat dapur dan laundry yang berdomisili di Jakarta. Saban hari dia mondar-mandir ke hotel dan restoran besar rekanan kantornya.
Pandemi COVID-19 membuat usaha perhotelan dan restoran lesu. Perusahaan tempat Surahman bekerja pun tak luput kena imbas.
Bisnis perusahaan, kata dia, terseok-seok. Banyak rekanan kerja memangkas nilai kontrak hingga hanya setengah dari nilai awal.
Pemasukan yang cekak membuat perusahaan lantas merumahkan karyawan secara sepihak. Surahman tak sendiri. Empat orang teknisi lain di kantornya bernasib serupa.
Mereka tidak dapat pesangon. Surahman kini harus putar otak untuk menutup biaya cicilan sepeda motor yang masih tersisa tujuh bulan lagi.
"Rp 1,1 juta sebulan, paling harus bongkar tabungan. Tapi setelah itu habis, enggak ada pegangan lagi," Surahman berujar.
Dia sedikit beruntung karena masih menumpang di rumah kedua orang tuanya. Setidaknya, Surahman tidak perlu mengeluarkan biaya untuk tempat tinggal.
Pandemi corona memukul hampir semua lini bisnis. Ana, seorang pemandu wisata, juga sudah tidak bekerja sejak sebulan terakhir.
Dalam kondisi normal, hampir setiap bulan dia memandu rombongan wisata ke luar negeri. Sejak sebaran COVID-19 masif, orang-orang urung berwisata.
Alhasil, penghasilan bulanan Ana tergerus 70 persen. Sebagai pemandu wisata, sebagian besar pemasukannya didapat dari uang perjalanan.
Sejak konsumen sepi, dia hanya mendapat gaji pokok. Pencairannya bulan lalu pun terlambat hampir sepekan. Bulan depan kondisinya akan lebih berat.
"Manajer bilang gaji pokok bakal dipotong 30-50 persen," ungkap Ana.
Baginya, kondisi itu jelas bikin pusing. Setiap bulan Ana masih harus membayar indekos. Ia juga harus mengirim uang ke orang tua di kampung halaman.
Belum lagi, ada biaya kuliah adiknya yang harus ditanggung. Ana harus bersiasat mencari kerja sambilan untuk bertahan hidup di ibu kota. Ia berharap masa pandemi segera berakhir.
"Pemerintah bilang tanggap darurat diperpanjang sampai tanggal 19. Tapi enggak tahu ini diperpanjang lagi apa enggak," katanya dengan nada tidak yakin.
Di Jakarta, tercatat 30.137 orang yang sudah di-PHK. Kepala Dinas Tenaga Kerja, Transmigrasi, dan Energi, Andri Yansyah mengatakan 172.447 pekerja lainnya dirumahkan tanpa mendapat gaji.
Pemprov DKI Jakarta kini tengah menggenjot pendataan tenaga kerja terdampak penyebaran penyakit yang disebabkan virus corona jenis baru.
Mereka akan diarahkan untuk mendapat bantuan dari pemerintah pusat berupa Kartu Prakerja. DKI Jakarta, menurut Andri, kebagian kuota sebanyak 1,6 juta.
"Kami dikejar-kejar terus datanya. Bukan hanya dari Kementerian Ketenagakerjaan, tapi juga dari Kemenko Perekonomian," Andri menuturkan.
Gelagat gelombang PHK dan perumahan pekerja terjadi di semua daerah di seluruh Indonesia. Data Kementerian Ketenagakerjaan per 7 April 2020 mencatat 1,2 juta pekerja telah dirumahkan dan terkena Pemutusan Hubungan Kerja.
Sekitar 39.977 perusahaan melakukan PHK dan merumahkan 1.010.579 karyawan tanpa gaji. Sementara dari sektor usaha informal, terdapat 34.453 perusahaan dengan jumlah pekerja yang di-PHK maupun dirumahkan sebanyak 189.452 orang.
"Total jumlah perusahaan yang merumahkan pekerja dan PHK sebanyak 74.430 perusahaan, dengan jumlah pekerja/buruh/tenaga kerja sebanyak 1.200.031 orang, " kata Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah melalui keterangan tertulis, Rabu (8/4).
Kementerian Tenaga Kerja berusaha mencegah PHK yang lebih besar dengan membuka dialog dengan Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) dan dengan serikat pekerja. Meski, langkah itu hanya sebatas imbauan.
Najib Azca, sosiolog Universitas Gadjah Mada, memperingatkan pemerintah untuk mengantisipasi gelombang PHK ini. Menurutnya, saat ini dampaknya belum bisa diukur karena variabel periode pandemi COVID-19 yang belum pasti.
"Tapi yang pasti ini akan menimbulkan keresahan sosial yang agak besar, dan saya kira sudah terjadi," katanya kepada kumparan.
Pemerintah harus menjaga stabilitas dalam bentuk terobosan skema bantuan sosial. Najib meminta pemerintah juga mempersiapkan instrumen yang bisa menjadi bumper sosial.
Ia khawatir meningkatnya pengangguran akan memunculkan situasi yang destruktif. Jika terjadi percikan kekacauan di suatu tempat, lanjutnya, maka akan dengan mudah menyebar ke tempat lain.
"Jadi jangan sampai ini berlarut-larut dan kemudian menghasilkan eskalasi masalah," tegas Najib.
Pemerintah memang sudah mencanangkan Kartu Prakerja bagi tenaga kerja terdampak COVID-19. Kartu Prakerja sebenarnya bagian dari janji kampanye Jokowi yang kemudian diperluas dan dipercepat untuk mengantisipasi dampak COVID-19.
Akan tetapi, program itu diperkirakan cuma mampu menjangkau 5,6 juta orang. Padahal, riset Badan Pusat Statistik pada Agustus 2019 menunjukkan terdapat 7,05 juta pengangguran di Indonesia.
Artinya, ada kemungkinan sebagian orang terdampak COVID-19 tidak bisa mengakses program itu. Belum lagi masalah sosialisasi yang masih kurang.
Surahman, misalnya, baru tahu rencana program itu dari pemberitaan media. "Tapi belum tahu nih kita ngikutnya gimana," ujarnya.
***
kumparanDerma membuka campaign crowdfunding untuk membantu mencegah penyebaran coronavirus. Yuk, bantu donasi sekarang!