George Floyd Diperlakukan Tak Adil, Bagaimana Nasib Warga Afro-Amerika Lainnya?

2 Juni 2020 12:23 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Seorang warga melintasi mural dengan gambar wajah George Floyd di Taman Mauer, Berlin, Jerman. Foto: Odd ANDERSEN / AFP
zoom-in-whitePerbesar
Seorang warga melintasi mural dengan gambar wajah George Floyd di Taman Mauer, Berlin, Jerman. Foto: Odd ANDERSEN / AFP
ADVERTISEMENT
Kematian George Floyd memicu gelombang protes di Amerika Serikat (AS). Floyd pula yang menunjukkan kepada dunia bahwa di negara yang menjadi 'leluhur' demokrasi itu, rasialisme masih menjadi masalah serius.
ADVERTISEMENT
Floyd ditangkap di jalanan Minneapolis, Minnesota, atas tudingan menggunakan uang palsu saat berbelanja di supermarket pada Kamis (25/5). Floyd kemudian diborgol, dicekik di aspal dengan lutut aparat selama 8 menit 49 detik.
"I can't breathe!" kata-kata itulah yang menjadi ucapan terakhir Floyd.
Mantan Presiden AS Barack Obama mengatakan, aparat Minnesota harus menuntaskan penyelidikan kematian Floyd. Presiden keturunan Afro-Amerika pertama itu jengkel terhadap diskriminasi yang masih terus terjadi.
“Kita harus ingat, jutaan orang Amerika masih diperlakukan berbeda karena ras. Ini tragis, menyakitkan, menjengkelkan. Entah itu saat berurusan dengan sistem layanan kesehatan, peradilan pidana, sekadar jalan kaki atau jogging, atau bahkan menonton burung di taman," kata Obama dilansir AFP, Sabtu (30/5).
Barack Obama. Foto: AFP/Christof Stache
Pernyataan Obama itu nyatanya memang tak berlebihan. Dalam sebuah riset berjudul ‘Discrimination in the United States: Experiences of black Americans’ (Oktober 2019), diskriminasi terhadap warga Afro-Amerika masih mengakar di ruang sosial dan institusi publik AS.
ADVERTISEMENT
Riset itu dilakukan oleh Health Service Research sepanjang Januari-April 2017. Metodologi yang dilakukan adalah survei melalui sambungan telepon. Respondennya adalah 802 warga Afro-Amerika dan 902 warga kulit putih di atas 18 tahun yang dipilih secara acak.
Dalam survei tersebut, 92 persen responden Afro-Amerika mengaku bahwa diskriminasi rasial masih terjadi di AS. Sementara itu, ada 55 persen responden kulit putih yang percaya bahwa rasialisme itu masih ada.
Lebih lanjut, ada 6 variabel utama terkait diskriminasi di institusi publik yang ada dalam survei tersebut. Yakni, pekerjaan, pendidikan, kesehatan, tempat tinggal, partisipasi politik, polisi dan peradilan. Enam variabel itu kemudian dispesifikasikan lagi menjadi 8 variabel
Hasil surveinya dapat dilihat dalam grafik di bawah ini:
ADVERTISEMENT
Dalam grafik itu, 60 persen warga Afro-Amerika mengaku diperlakukan tak adil oleh polisi. Sementara itu, 56 persen responden Afro-Amerika mengaku mendapat perlakuan berbeda saat melamar pekerjaan. Pengakuan diskriminasi itu menyebar di seluruh variabel.
Pengakuan responden Afro-Amerika itu amat berbeda dengan responden kulit putih. Melalui variabel yang sama, kurang dari 20 persen responden kulit putih yang mengaku mendapat diskriminasi.
Warga berdemonstrasi di luar Pusat Pemerintahan Kabupaten Hennepin memprotes kematian George Floyd, seorang pria kulit hitam tak bersenjata di Minneapolis. Foto: Reuters/ERIC MILLER
Bahkan untuk perlakuan tak adil oleh polisi, hanya 6 persen responden kulit putih yang mengaku pernah didiskriminasi. Di bidang melamar pekerjaan sekalipun, hanya 13 persen yang merasa diperlakukan tak semestinya.
Itu baru survei tentang diskriminasi yang terjadi di ruang publik. Di ruang-ruang pergaulan sosial, perlakuan diskriminasi juga lebih banyak menimpa warga Afro-Amerika.
ADVERTISEMENT
Hasil surveinya dapat dilihat dalam grafik di bawah ini:
Dari grafik itu, lagi-lagi mayoritas responden Afro-Amerika mengaku mendapat perlakuan tak menyenangkan di ruang sosial. Misalnya, 51 persen responden mengaku pernah mendapat ejekan rasis selama hidup.
Responden kulit putih juga mengaku mendapat perlakuan tak sedap di ruang sosial. Namun jumlahnya jauh lebih kecil. Misalnya, hanya 23 responden yang mengaku pernah menerima ejekan rasis.
Dalam sudut pandang sejarah, perlakuan tak menyenangkan terhadap warga Afro-Amerika terjadi sejak tahun 1619. Kala itu, budak-budak Afrika diimpor untuk menjadi buruh perkebunan. Mereka kerap disiksa saat bekerja.
Ilustrasi perbudakan. Foto: Shutter Stock
Dalam perspektif orang kulit putih saat itu, orang-orang Afrika tak beradab. Mereka dinilai tak memiliki intelegensia layaknya orang kulit putih. Stigma itu terus berkembang hingga ratusan tahun.
ADVERTISEMENT
Perspektif itu baru diubah di era Presiden Abraham Lincoln pada tahun 1865. Dalam amandemen ke-13 UUD, disebutkan bahwa perbudakan tak lagi diperbolehkan di AS. Warga Afro-Amerika pun perlahan mendapat hak-haknya.
Namun kini, 401 tahun berselang, diskriminasi itu belum sepenuhnya hilang di tanah Amerika. Hanya kesadaran bahwa semua manusia setara yang dapat mengubah situasi menjengkelkan ini.
***
Simak sejarah diskriminasi warga Afro-Amerika di AS dalam visual stories berikut ini.