Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.99.1
4 Ramadhan 1446 HSelasa, 04 Maret 2025
Jakarta
imsak04:10
subuh04:25
terbit05:30
dzuhur11:30
ashar14:45
maghrib17:30
isya18:45
ADVERTISEMENT

Gubernur non aktif Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) pernah geram dengan Pedagang Kaki Lima (PKL) di Pasar Tanah Abang. Dia tertibkan semua PKL liar dan minta Satpol PP berjaga. Bagaimana kondisinya saat Ahok cuti?
ADVERTISEMENT
"Sekarang ini walaupun Ahok lagi cuti, ya tetep aja begini kondisinya. Soalnya si Sumarsono itu sama aja tegasnya. Kan itu perintah dari Ahok juga pastinya," kata Yono, seorang pedagang kopi kepada kumparan di Pasar Tanah Abang, Jakpus, Senin (23/1).
"Kalau ibarat kata nanti Ahok kalah, siapapun yang gantiin juga pasti kondisinya begini. Soalnya udah terlanjur lumayan tertib," lanjut Yono yang juga kerap jadi juru parkir.

Yono bercerita, para PKL ini dulu sekali memenuhi jalanan di Pasar Tanah Abang hingga hanya menyiskan satu jalan untuk mobil melintas. Para PKL itu bisa bertahan karena punya backing, mulai dari preman hingga aparat.
"Tapi sejak Jokowi-Ahok, dihabisin itu semua. PKL disuruh pindah ke dalam. Ah, tapi paling gratisnya cuma 3 bulan pertama, habis itu bayar lagi. Di Blok B aja bisa Rp 20 juta setahun. Kalau yang dagang macam kain-kain gitu sih banyak yang bertahan (di dalam), tapi kalau yang kayak saya dagang minum atau jajanan gitu, mana laku kalau di dalem," bebernya.
ADVERTISEMENT
Dia menyebut sejak saat itulah hingga kepemimpinan Ahok, keberadaan PKL diawasi oleh Satpol PP. Terutama para PKL lihat yang mangkal. Karena itu, meski Ahok cuti, keberadaan PKL tetap dipantau karena ada Satpol PP.
Hal senada disampaikan oleh PKL lainnya, penjual otak-otak keliling di Tanah Abang. Biasanya Satpol PP lewat sehari 2-3 kali sehari. Dia menyebut Ahok keras menghadapi para PKL.
"Dagang jadi nggak tenang. Tapi kalau Ahok jadi (terpilih lagi), pasti lebih parah lagi. Bisa-bisa nggak boleh jualan sama sekali. Ini kalau kena razia biasanya dibawa ke Cakung, terus nebusnya pekgo (cepek gocap atau Rp 150 ribu)," ucapnya.
ADVERTISEMENT

Kasie Operasional Satpol PP Jakarta Pusat, Johnny Fredolin Hasudungan Hutauruk, membenarkan komentar para pedagang itu. Dia menyebut anak buahnya menertibkan PKL di pinggir jalan tak harus ada campur tangan langsung gubernur.
"Kalau penertiban sama-sama saja, namun mungkin sebelum Ahok sangat dikatakan ramai suasananya, termasuk dari mulai Sutiyoso tapi semuanya ini kita harus semangat harus menuaikan tugas," ucap Johnny kepada kumparan di sela penertiban.
"Kalau Plt Gubernur (Sumarsono) itu memang mempunyai kebijakan yang dijalankan oleh Ahok, jadi dia hanya melanjutkan saja," imbuhnya.

Menurut Johnny, para PKL di Tanah Abang tepatnya di Jalan KH Mas Mansyur, memang sangat bandel. Mereka seperti kucing-kucingan dengan Satpol PP. Karena itulah rutin digelar operasi setiap hari, pagi, siang dan sore. Termasuk menghalau PKL yang akan jualan dan memberi peringatan untuk yang terkena razia.
ADVERTISEMENT
"Tetap kita menertibkan kaki lima dengan baik. Kita hadapi dengan kekeluargaan, jangan ada rasa keributan. Kesulitan kita itu membatasi preman-preman di sini," ujarnya.
"Setiap pelanggaran kita akan meletakkan barang itu di gudang Cakung, kemudian diambil surat. Lalu kita urus di pengadilan di Jakarta Pusat. Dengan adanya penertiban tersebut, baik itu pejalan kaki maupun kendaraan yang arus lalin itu, bisa berjalan baik bagus," tambahnya.
Sementara itu, Lurah setempat, Kebon Kacang, Chotibul Umam, mengakui sulitnya menertibkan PKL di Pasar Tanah Abang. Ini bukan soal apakah Ahok cuti atau tidak, tapi petugas di lapangan pun bisa kewalahan.
"Percuma diusir kalau nanti balik lagi," ujar Umam saat ditemui kumparan di kantornya.

Dia sudah pernah menawarkan solusi dengan memindahkan PKL ke tempat lain. Namun karena pemerintah tidak punya lahan, akhirnya terpaksa bekerja sama dengan pihak swasta. Sayangnya, hal ini tidak bisa berjalan dengan baik karena uang sewa yang memberatkan PKL.
ADVERTISEMENT
PKL hanya mampu membayar sewa Rp 500 ribu per bulan, sementara pihak swasta ingin sewa Rp 1 juta per bulan. Akhirnya solusi ini tidak bisa dijalankan. Umam berharap agar rencana perataan Blok G bisa segera terwujud. Bagian bawah untuk parkir dan atas disediakan bagi PKL.
"Tapi awalnya harus gratis, paling tidak dua tahun pertama sambil mereka menyesuaikan diri dengan tempat baru dan mendapat modal cukup untuk bayar sewa. Mereka mau pindah selama tidak memberatkan biayanya," kata Umam.