Gubernur Lemhannas: G30S, Perebutan Kekuasaan TNI AD dan PKI

21 September 2017 13:12 WIB
clock
Diperbarui 14 Maret 2019 21:15 WIB
comment
5
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Gubernur Lemhanas Agus Widjojo (Foto: Nabilla Fatiara	)
zoom-in-whitePerbesar
Gubernur Lemhanas Agus Widjojo (Foto: Nabilla Fatiara )
ADVERTISEMENT
Gubernur Lemhannas Letjen (Purnawirawan) Agus Widjojo menjadi salah satu saksi dalam peristiwa G30S/PKI. Agus yang merupakan putra sulung dari Pahlawan Revolusi, Mayjen Sutoyo. Ia mengetahui detik-detik saat ayahnya diculik pada 1 Oktober 1965 dini hari.
ADVERTISEMENT
Agus yang saat itu berusia 18 tahun menceritakan pandangannya mengenai peristiwa G30S/PKI. Menurut mantan Kepala Staf Teritorial TNI ini, peristiwa G30S/PKI adalah sebuah perebutan kekuasaan politik.
"Kalau kita pahami sebetulnya, tragedi 1965 itu suatu perebutan kekuasaan politik. Dan karena dia politik, apalagi dengan tujuan kekuasaan, wilayah abu-abunya sangat luas karena politik akan saling menggunakan," ujar Agus ketika berbincang dengan kumparan (kumparan.com) di kantornya, Jalan Medan Merdeka Selatan, Jakarta Pusat, Rabu (20/9).
Lalu, perebutan kekuasaan politik apa yang dimaksud Agus?
Tahun 1965 merupakan perebutan kekuasaan politik antara TNI AD dan Partai Komunis Indonesia (PKI). Menurut dia, saat itu ketegangan antara TNI AD dan komunis sudah terlihat jelas di kancah politik Indonesia. PKI merupakan partai komunis terbesar di Indonesia yang bukan negara komunis.
Partai Komunis Indonesia (PKI) (Foto: Wikipedia)
zoom-in-whitePerbesar
Partai Komunis Indonesia (PKI) (Foto: Wikipedia)
"Kemudian PKI sangat dekat dengan kekuasaan Presiden Sukarno saat itu. Bahkan juga sudah ditengarai bahwa posisi atau alur dari politik Presiden Sukarno sudah bergeser ke kiri. Terbukti ada istilah poros Jakarta-Peking-Pyongyang. PKI sangat dekat dengan Bung Karno," ujarnya.
ADVERTISEMENT
"Dan ada desas-desus hidup Sukarno tidak akan lama lagi. Di sini partai komunis cukup bernafsu mengejar kekuasaan. Dan pesaing dari PKI sebagai kekuatan politik di sisi lain adalah Angkatan Darat," lanjutnya.
Di mata Agus, PKI dan TNI AD, memiliki pendekatan yang berbeda dalam mengamankan kekuasaan. PKI lebih ofensif dengan melancarkan intimidasi-intimidasi serta teror. Sementara AD lebih bersifat defensif, bagaimana caranya agar tidak didahului oleh PKI.
Ia mencontohkan PKI cukup agresif mendekati kalangan Islam. Mereka juga memperjuangkan adanya angkatan kelima, yaitu dengan mempersenjatai golongan buruh dan tani. Agus mengatakan saat itu, sudah ada kesadaran agar Indonesia tidak bergeser ke paham komunis. AD dan PKI, kata Agus, saling berebut kekuasaan, siapa yang akan mengambil tampuk kekuasaan setelah Sukarno meninggal dunia.
ADVERTISEMENT
"Sudah dicurigai ada pergeseran menjadi negara komunis dan perlu dicegat. Perang urat syaraf untuk menunggu siapa yang mendengar 'berita' pertama kali bila Presiden Sukarno meninggal dunia," tuturnya.
Untuk mengamankan kekuasaan, lanjut dia, PKI menanamkan agen untuk disusupkan ke TNI AD. Hal ini dilakukan agar setidaknya ada sedikit perwira AD yang bersimpati atau mendukung PKI. Ia tak menampik upaya ini berhasil. Akhirnya, upaya ini berujung kepada serangan 1 Oktober dini hari.
Meski serangan sudah dilancarkan pada 1 Oktober 1965, dari kaca mata militer, Agus menilai serangan itu tak sepenuhnya berhasil. Upaya untuk 'menyiksa' Jenderal Ahmad Yani dan Mayor Jenderal TNI Anumerta Donald Isaac Panjaitan tak berhasil. Keduanya ditembak di tempat, bukan diculik atau disiksa sebagai rencana awal.
ADVERTISEMENT
Upaya kudeta, kata Agus, dinilai gagal. Setelah serangan kepada para perwira tinggi AD berhasil dilumpuhkan, PKI tak mampu melancarkan serangan balasan.
"Siapapun yang bertindak sebagai koordinator gerakan di Lubang Buaya, untuk master mind yang dicurigai adalah PKI, ketika melihat 2 orang itu sudah ditembak mati, dia bisa mengambil kesimpulan bahwa gerakan ini gagal. Ditambah lagi gerakan ini tidak terencana dengan baik," kata Agus.