Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.102.2
Gubernur Sulteng Curhat: Kalau Nikelnya Habis Mungkin Jadi Daerah Hantu
29 April 2025 16:13 WIB
·
waktu baca 3 menit
ADVERTISEMENT
Gubernur Sulawesi Tengah, Anwar Hafid, curhat mengenai kondisi wilayahnya saat rapat kerja bersama Komisi II DPR RI dan Kementerian Dalam Negeri, Selasa (29/4).
ADVERTISEMENT
Anwar bercerita, kini wilayahnya hancur-karena eksploitasi tambang nikel besar-besaran.
"Negeri kami itu hancur-hancuran Pak, tambang di mana-mana, hancur-hancuran Pak, negeri kami itu, hancur-hancuran,”kata Anwar dalam rapat.
“Itu saya tidak tahu kalau nikelnya habis daerah itu mungkin daerah hantu, cuma Rp 222 Miliar (untuk daerah)," sambungnya.
Anwar mengungkapkan kebuntuan yang ia hadapi dalam mengatur aktivitas industri tambang di wilayahnya. Meski kerusakan lingkungan kian nyata, kewenangan pemerintah daerah justru terbatas.
“Di mana persoalannya? Gubernur nggak bisa masuk, Pak,” katanya.
Menurutnya para pelaku usaha berlindung di balik status kawasan industri, sehingga sulit disentuh oleh aturan daerah.
Para pengusaha, kata dia, kerap berdalih bahwa mereka berada di kawasan industri yang memiliki izin usaha industri (IUI), sehingga mereka merasa bebas melakukan apa saja, termasuk mengoperasikan kendaraan dan aktivitas tambang tanpa batas.
ADVERTISEMENT
“Para pengusaha ini bilang, 'ini bilang di kawasan industri spesial nggak boleh', Semua berdalih atas izin usaha industri. Jadi kawasan industri itu nggak bisa di apa-apain, semua bebas, kendaraan bebas, di dalamnya mau ngapain aja," tuturnya.
Anwar juga menyoroti kebijakan pembebasan pajak atau tax holiday yang diberikan kepada perusahaan tambang. Ia menyebut, fasilitas tersebut bisa berlangsung hingga 25 tahun, sementara cadangan nikel di wilayahnya diperkirakan hanya akan bertahan selama satu dekade.
Kebijakan ini dinilainya tidak adil dan merugikan daerah, karena kekayaan alam yang dieksploitasi habis dalam waktu singkat, sementara daerah tidak mendapatkan manfaat fiskal yang sebanding.
"Saya baca di undang-undang industri itu, yang jadi problem Pak, itu mereka para pengusaha ini diberi tax holiday, tax allowance itu sampai 25 tahun, nikel di Morowali itu tinggal 10 tahun Pak," ujar Anwar.
ADVERTISEMENT
"Jadi habis tax holiday itu selesai, habis nikel, kami akan mendapatkan begitu-begitu saja. Jadi ini perlu saya sampaikan karena ini berkaitan dengan sumber daya alam," tuturnya.
Belum lagi soal ketimpangan antara besarnya penerimaan negara dari sektor tambang di daerahnya dengan minimnya Dana Bagi Hasil (DBH) yang diterima oleh pemerintah provinsi.
Anwar menyebut, Presiden RI Prabowo Subianto pernah menyatakan bahwa kontribusi pajak dari industri smelter di Sulawesi Tengah mencapai Rp570 triliun.
Namun, angka itu sangat kontras dengan apa yang masuk ke kas daerah.
“Bapak Presiden bilang ada Rp 570 Triliun dari pajak yang bersumber dari industri Smelter yang ada di Sulawesi Tengah, tapi coba Bapak-Bapak bayangkan setiap tahun DBH itu kami hanya mendapatkan Rp 200 Miliar," ceritanya.
ADVERTISEMENT