Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Gula, Si Manis yang Bikin Orang Obesitas hingga Kena Diabetes
19 Oktober 2024 9:19 WIB
·
waktu baca 5 menitADVERTISEMENT
Sejak Januari 2024 lalu, N (21) didiagnosis terindikasi diabetes oleh dokter. Hal ini diakibatkan oleh gaya hidupnya yang rutin mengkonsumsi makanan dan minuman manis tanpa melakukan olahraga. Diperparah lagi dengan riwayat keluarganya yang memiliki penyakit turunan diabetes .
ADVERTISEMENT
Kebiasaan makan dan minum manis ini berawal saat ia berhenti merokok. Saat itu, COVID-19 yang mewajibkannya berdiam diri di rumah dan menyebabkan dirinya tidak bisa merokok secara leluasa. Akibatnya, ia mengalihkan dirinya dengan mengkonsumsi makanan dan minuman manis.
“Gua dapat indikasi diabetes karena sudah obesitas banget sama gula darah tinggi banget,” jelas N kepada kumparan pada Jumat (11/10).
Selain indikasi dari dokter itu, N juga mengaku sering kesemutan dan sering buang air kecil yang identik dengan gejala awal seseorang mengawali diabetes.
Diagnosis dokter itu pun diamininya. Terlebih, dirinya memiliki tinggi badan 173 cm dengan berat badan 101 kg. Sedianya, kata dia, berat badannya mesti di rentang 65 hingga 70 kg.
ADVERTISEMENT
Gula darah yang tinggi itu bisa dimaklumi N karena ia mengaku memiliki kebiasaan minum Minuman Berpemanis dalam Kemasan (MBDK). Seharinya ia dapat mengonsumsi 2-3 botol MBDK mulai dari teh, minuman berperasa buah, hingga kopi dalam kemasan.
Makanan manis pun tak luput ia konsumsi. Ia dapat menghabiskan satu porsi martabak manis sendiri dalam semalam. Martabak itu pun menjadi pengganti makan malam. Dia juga mengaku jarang bergerak dan tidak terbiasa untuk olahraga.
“Gua sekarang jatahin minum manis 1 botoh buat 3 hari. Gua juga ganti minuman manis ke susu murni. Minum air putih juga udah lebih banyak,” pungkasnya.
Bahaya Makanan dan Minuman Manis
Menurut Permenkes Nomor 30 Tahun 2013, anjuran konsumsi gula per orang dalam satu hari adalah tidak lebih dari 50 gram (setara dengan 4 sendok makan) atau sama dengan 10% dari total energi per orang per hari. Angka ini serupa dengan yang disarankan oleh badan kesehatan dunia (WHO).
ADVERTISEMENT
Namun, anjuran tersebut masih belum diketahui oleh publik secara merata. Menurut survei Center for Indonesia’s Strategic Development Initiatives (CISDI) yang dirilis pada 2022 lalu, sebanyak 31 persen masyarakat Indonesia tidak mengetahui batasan konsumsi gula harian.
Sementara itu, berdasarkan survei Jakpat pada 2022, masyarakat Indonesia paling banyak menyukai teh, kopi atau cokelat. Kandungan gula dalam satu botol minuman itu bisa bervariasi antara 19 hingga 27 gram gula.
Ketua PD Nutrisionis Jawa Barat, Otong Kusmana, menyebut mengonsumsi gula dalam jangka waktu pendek dalam kadar yang tinggi akan menyebabkan sugar crash. Istilah ini dapat disebut hipoglikemia reaktif, yang berarti kondisi badan yang kaget akibat lonjakan kadar gula yang langsung tinggi.
Menurutnya, kondisi badan yang semula memiliki kadar gula yang stabil atau rendah akan kaget. Akibatnya, tubuh akan dengan cepat memproduksi insulin agar kadar gula dalam tubuh tetap stabil. Tetapi, kata dia, hal ini menyebabkan glukosa darah menurun dan akibatnya tingkat energi akan turun secara tiba-tiba, serta dapat mengganggu konsentrasi dan produktivitas sepanjang hari.
ADVERTISEMENT
“Pankreas itu mengeluarkan insulin. Kalau gulanya banyak, pankreas akan kerja berat. Jadi kalau tumpukkan gulanya banyak, pankreasnya mogok. Karena mogok itu, insulin yang keluar sedikit. Jadinya kadar gula jadi tinggi di dalam darahnya. Itu yang disebut diabetes atau penyakit gula. Awalnya tumpukkan gula itu kan disimpan dalam lemak. Jadi obesitas dulu, baru diabetes,” jelas Otong kepada kumparan pada Jumat (11/10).
Berdasarkan SKI 2023, terjadinya diabetes lebih tinggi pada kelompok yang memiliki faktor risiko obesitas sentral atau aktivitas fisik yang kurang. Proporsi penderita diabetes umur 18-59 tahun yang obesitas sentral, 3 kali lebih tinggi dibandingkan penderita diabetes yang tidak menderita obesitas sentral.
Masih dari data SKI 2023, penderita diabetes yang melakukan aktivitas fisik kurang sedikit lebih tinggi 1,3 kali lipat dibandingkan penderita diabetes yang melakukan aktivitas cukup.
ADVERTISEMENT
Untuk dapat menurunkan angka ini, Otong menyebut, langkah yang dapat dilakukan seseorang untuk menekan konsumsi gula hariannya. Menurutnya, seseorang harus mulai sadar akan kadar gula dari minuman atau makanan yang dikonsumsi. Meningkatkan aktivitas fisik atau berolahraga juga mesti dilakukan agar gula dapat dipecah tubuh secara lebih optimal.
Di level yang lebih tinggi, Otong menyarankan sekolah atau universitas menekan peredaran minuman manis di lingkungannya. Selain itu, penerapan pajak pada makanan dan minuman manis juga akan berdampak baik pada angka penderita diabetes di masa depan.
“Kita beli karena tersedia, pengendaliannya itu ya harus diatur. Ketersediaannya jangan sampai menambah keinginan bagi anak untuk menambah asupan gula,” tambahnya.
Diabetes dalam Angka
Maraknya minuman manis seperti kopi susu, bubble tea, dan minuman berpemanis lainnya di Tanah Air menjadikan Indonesia negara kelima dengan jumlah orang mengidap diabetes yang terdiagnosis tertinggi. Itu berdasarkan data International Diabetes Federation (IDF) tahun 2021.
ADVERTISEMENT
Menurut catatan IDF, posisi pertama ditempati oleh China dengan 140,87 juta jiwa. Diikuti oleh India (74,19 juta jiwa), Pakistan (32,96 juta jiwa), Amerika Serikat (32,2 juta jiwa), serta Indonesia (19,5 juta jiwa).
Yang lebih berbahaya, proporsi angka diabetes yang tidak terdiagnosis di Indonesia diperkirakan mencapai 73,7 persen. Jumlah orangnya mencapai 14,3 juta orang per 2021.
Di Indonesia, kelompok usia yang mendominasi prevalensi diabetes adalah usia kepala 50-an hingga 75+. Menurut data Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI), per 2023, angka diabetes melitus pada anak naik 70 kali lipat dibanding tahun 2010.
Sementara itu, Jakarta menurut SKI 2023 tercatat menjadi provinsi yang paling tinggi prevalensi diabetes melitusnya, yaitu mencapai 3,9 persen. Posisi kedua ditempati DI Yogyakarta dengan angka 3,6 persen. Sedangkan, provinsi dengan prevalensi diabetes melitus paling sedikit ada di Papua Pegunungan dengan hanya 0,2 persen.
ADVERTISEMENT
Reporter: Aliya R Putri