Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
ADVERTISEMENT
Sejak merebaknya wabah Corona, para peneliti dari berbagai negara mulai melakukan penelitian untuk mencari obat virus Corona.
ADVERTISEMENT
Salah satunya Guru Besar Bidang Farmakologi dan Farmasi Klinik Universitas Padjadjaran Keri Lestari. Dia merekomendasikan Tanaman Kina untuk mengobati virus Corona.
Keri menjelaskan, rekomendasi itu didasarkan atas critical appraisal dari evidence base medicine atas screening obat yang telah dilakukan dengan uji klinik multi senter peneliti dari China dan berbagai negara untuk mengetahui karakter genom dari Corona serta pilihan terapinya.
Pengetahuan atas genom dari Corona dilakukan agar peneliti mengetahui jenis patogen yang terkandung dalam virus itu sekaligus kiat untuk mengatasinya.
Keri menyebut, peneliti berhasil berhasil menemukan karakter genom dari Corona dalam waktu sepuluh hari. Sebelumnya, penelitian serupa untuk mengetahui karakter genom dari virus SARS memakan waktu hingga satu bulan. Perkembangan teknologi, mempengaruhi kecepatan peneliti dalam melakukan penelitian.
ADVERTISEMENT
Hasilnya, sambung Keri, dipastikan Corona merupakan bagian dari virus RNA. Kepastian tersebut diungkapkan pada tanggal 10 Januari lalu. Peneliti kemudian mencoba menggunakan obat HIV hingga Hepatitis C yang masuk ke dalam jenis virus RNA.
"Sehingga akhirnya setelah kita sudah mengetahui si Corona virus itu apa, kita bisa menentukan obat apa kiranya rasional untuk digunakan, nah tau lah pada tanggal 10 Januari itu Corona virus itu adalah virus RNA," kata dia ketika ditemui di Kampus Unpad Dipatiukur, Rabu (18/3).
"Kemudian dicarilah obat-obat yang selama ini digunakan untuk virus RNA, muncullah obat HIV digunakan lalu obat Hepatitis C digunakan karena itu semua RNA," lanjut dia.
Di sisi lain, lanjut Keri, China melakukan penelitian dengan melakukan screen terhadap ribuan obat yang berpotensi untuk menangani Corona. Setelah melalui rangkaian uji klinik multisenter, peneliti memperoleh dua senyawa sintetis yakni Remdisivir yang digunakan untuk penyakit Ebola serta Klorokuin Fosfat untuk Anti Malaria.
ADVERTISEMENT
Namun demikian, Remdisivir belum disetujui oleh FDA sebab tingkat efektivitasnya masih berada pada angka 60 persen. Sementara itu, Klorokuin Fosfat sudah lama beredar di Indonesia dan luar negeri selama 70 tahun dan waktu pemulihan yang lebih cepat. Dengan demikian, Klorokuin Fosfat lebih direkomendasikan dibanding Remdisivir.
"Juga ada riset di China. China ini men-screen ribuan obat yang kira-kira potensial untuk itu (Corona) apa? Nah akhirnya didapatlah hasil mereka setelah diuji coba segala macam, Remdisivir dan Klorokuin Fosfat," kata dia.
Selanjutnya, Keri mengatakan, kondisi negara lain kini sudah lockdown sehingga Indonesia bakal kesulitan untuk mendapatkan bahan baku Klorokuin Fosfat.
Sejauh ini, Indonesia mengandalkan impor bahan baku Klorokuin Fosfat. Meski masih ada sisa bahan baku di Kimia Farma, namun jumlahnya terbatas. Dikhawatirkan, tidak akan mencukupi bila tiba-tiba Corona semakin merebak di Indonesia. Unpad lalu meneliti kandungan yang ada dalam Klorokuin Fosfat.
ADVERTISEMENT
"Kalau pandemik ini tiba-tiba besar terus tiba-tiba banyak obat dan segala macem kan kita mesti survive kan dengan obat-obat yang ada sehingga dilihatlah ini Klorokuin Fosfat ini apa sih," kata dia.
Hasilnya, lanjut Keri, terdapat kesamaan struktur dasar antara Klorokuin Fosfat dan Quinine Sulfat. Keduanya, memiliki mekanisme kerja yang sama untuk Anti Malaria. Lagipula, pada tahun 1940 lalu, Klorokuin Fosfat pernah mengalami resistensi sehingga digantikan oleh Quinine Sulfat yang terdapat dalam Kina. Indonesia memiliki Kina sehingga tak perlu mengandalkan impor.
"Kalau Quinine digunakan kan bahan bakunya ada di Indonesia, kita tidak bergantung oleh impor dan memiliki bahan baku sendiri sebesar apa yang kita perlukan produksinya untuk memenuhi kebutuhan masyarakat Indonesia ya silakan," terang dia.
"Jadi wajar kalau Kang Emil (Gubernur Jabar) akhirnya memberikan semacam perhatian terhadap Kina untuk Corona. Karena pabrik kina itu memang yang fokus perkebunan yang menanam Pohon Kina memang di Jabar dan memang sekarang mereka masih memproduksi bahkan mereka mengekspor loh ekstrak kina itu," lanjut dia.
ADVERTISEMENT
Disinggung soal efek samping penggunaan Kina, Keri mengatakan, obat berbahan alam jika digunakan oleh manusia, kalaupun ada kerusakan atas organ tubuh maka akan bersifat reversibel. Artinya, tubuh akan memperbaiki dengan sendirinya ketika penggunaan obat dihentikan. Intinya, Kina aman dikonsumsi karena sudah lama digunakan di Indonesia dan kandungan senyawa dalam obat itu pun sudah diketahui.
"Yang lebih aman itu yang sudah kita tahu profil obatnya daripada menggunakan senyawa baru yang kita belum tahu apapun mengenai toksitas-nya," jelas dia.
Kini, Keri sedang melakukan penelitian bersama peneliti dari dokter ahli farmakologi yang tergabung dalam Ikatan Ahli Farmakologi (IKAFI) dan Persatuan Dokter Spesialis Ahli Farmakologis Indonesia (PERDAFKI) melibatkan periset dari Unpad, UI dan ITB serta berkolaborasi dengan periset dari Wuhan Institut of Virology atas bantuan Kedubes China. Langkah selanjutnya adalah menentukan dosis dan cara pemakaian untuk pasien yang sedang dikaji oleh para dokter ahli farmakologi.
ADVERTISEMENT
"Bukan Unpad saja, kita bareng-bareng ini. Kenapa harus bareng-bareng? To fight The Covid-19 collaboration is necessary and important. Jadi benar-benar harus kolaborasi," pungkas dia.