Guru Besar Tata Negara soal UU Cipta Kerja: Harusnya MK Berani Batalkan!

1 Desember 2021 20:18 WIB
ยท
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi ruangan Mahkamah Konstitusi. Foto: Helmi Afandi/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi ruangan Mahkamah Konstitusi. Foto: Helmi Afandi/kumparan
ADVERTISEMENT
Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan bahwa UU Cipta Kerja inkonstitusional karena cacat formil. Namun demikian, MK tak membatalkan UU tersebut dan menyatakannya inkonstitusional bersyarat.
ADVERTISEMENT
Namun, Guru Besar Hukum Tata Negara Unpad, Prof. Susi Dwi Harijanti, menilai MK seharusnya berani membatalkannya bila memang kesalahan yang ditemukan parah.
"Kalau diketemukan bahwa prosedurnya itu cacat, maka akibatnya itu batal demi hukum. Kalau MK menemukan prosedurnya itu pelanggarannya amat parah, maka seharusnya MK harus berani membatalkan," kata Susi dalam webinar Integrity Constitutional Discussion, yang ditayangkan di YouTube, Rabu (1/12).
Dalam putusannya, MK memerintahkan pembentuk undang-undang untuk memperbaiki pembentukan UU Cipta Kerja dalam waktu 2 tahun. Sebab, MK menilai ada cacat formil dalam proses pembentukan UU tersebut.
Bila dalam waktu 2 tahun tidak diperbaiki, maka UU Cipta Kerja akan dinyatakan konstitusional. UU yang sebelumnya dicabut dan diubah akan kembali berlaku.
ADVERTISEMENT
Susi menilai MK mengambil jalan tengah dengan putusan itu. Padahal menurut dia, terdapat kesalahan yang layak menjadi dasar pembatalan UU.
"Mengapa MK tak berani batalkan? karena dia bersikap jalan tengah itu, terlihat inkonsistensinya. Jadi di pertimbangan, MK menemukan banyak sekali pelanggaran-pelanggaran misalkan MK menemukan materi yang sudah disetujui pada persetujuan bersama ternyata berbeda dengan materi yang pengesahan, buat saya itu kesalahan yang amat fatal. Itu melanggar prinsip pertama pembentukan UU yakni kedaulatan rakyat," sambung dia.
Jadi, kata Susi, MK mau menyeimbangkan terhadap terpenuhinya syarat antara formil dengan tujuan pembentukan undang-undang.
"Namun, dengan putusan inkonstitusional bersyarat, saya beranggapan, nampaknya MK menilainya agak lebih berat kepada tujuan dibentuknya UU Cq. Kalau misalkan dia lebih berat ke kedaulatan rakyat tadi, dan asas pembentukan UU, maka seharusnya dia berani batalkan UU itu," ucap Susi.
ADVERTISEMENT
Terkait putusan MK, Susi mengingatkan pemerintah dan DPR untuk tidak memilih-milih apa saja yang akan diperbaiki dalam UU Cipta Kerja. Ia menyebut Pemerintah dan DPR tidak bisa melakukan perbaikan UU Cipta Kerja berdasarkan pertimbangan MK yang menguntungkan saja.
Dia mencontohkan perbaikan yang dilakukan hanya berdasarkan pertimbangan untuk memasukkan metode omnibus dalam UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (PPP).
Dalam pertimbangannya, MK memerintahkan metode omnibus turut diatur dalam UU tersebut, sehingga mengakomodir pembuatan UU berdasarkan metode Omnibus. Tak seperti saat ini, di mana UU Cipta Kerja metode omnibusnya belum diatur dalam UU 11/2012.
"Jangan sampai ada pertimbangan 3.20.5 kemudian Presiden dan pemerintah hanya memilih pertimbangan-pertimbangan yang menguntungkan dengan yang saya katakan cherry picking, 'oke karena disuruh oleh mahkamah undang-undang 12/2011 diubah, yaudah diubah saja kita masukan metode omnibus' menurut saya perubahan UU 12/2011 enggak memasukkan omnibus tidak serta merta menyelesaikan kewajiban melakukan perubahan sebagaimana diperintahkan MK," kata Susi.
ADVERTISEMENT
Sebab, kata dia, ketika diminta adanya perubahan UU, maka seharusnya dilakukan dari tahap awal. MK, dalam putusannya, sudah memberikan arahan apa saja yang bermasalah dalam proses formal UU Cipta Kerja, salah satunya minimnya keterlibatan masyarakat.
"Ketika diubah harus dimulai dari awal pembahasan dari awal. Karena ketika memberikan rambu kepada partisipasi masyarakat, MK menyatakan paling tidak partisipasi itu pada tahap pengusulan, pembahasan dan pada tahap pengesahan," kata Susi.
"Paling tidak, artinya at the very minimum, kalau kita baca UU 12/2011 pembentukan perundang-undangan itu dari perencanaan, dan mahkamah memberikan rambu-rambu pelaksanaan seperti what is the meaningful participation," sambung dia.
Ilustrasi lambang Mahkamah Konstitusi. Foto: Helmi Afandi/kumparan

Tunda Semua Kebijakan Terkait UU Cipta Kerja

Susi menilai, atas adanya putusan MK, seharusnya pemerintah menangguhkan semua kebijakan strategis terkait UU Cipta Kerja. Baik yang sudah diberlakukan, maupun tak membuat aturan turunan baru. Hal tersebut merujuk pada pertimbangan MK.
ADVERTISEMENT
Berikut pertimbangan yang dimaksud Susi:
[3.20.5] Bahwa untuk menghindari dampak yang lebih besar terhadap pemberlakuan UU 11/2020 selama tenggang waktu 2 tahun tersebut Mahkamah juga menyatakan pelaksanaan UU 11/2020 yang berkaitan hal-hal yang bersifat strategis dan berdampak luas agar ditangguhkan terlebih dahulu, termasuk tidak dibenarkan membentuk peraturan pelaksana baru serta tidak dibenarkan pula penyelenggara negara melakukan pengambilan kebijakan strategis yang dapat berdampak luas dengan mendasarkan pada norma UU 11/2020 yang secara formal telah dinyatakan inkonstitusional secara bersyarat tersebut.
"Dalam pandangan saya sebaiknya presiden dan pemerintah memiliki kearifan menunda semua, karena tadi di pertimbangan dikatakan, pelaksanaan juga yang termasuk ditangguhkan. Jadi menunda semua, freeze semua, hold semua," kata Susi.
"Agar semuanya dapat diperbaiki secara lebih baik sesuai dengan perintah MK. Jadi bagaimana mungkin itu tetap berlangsung investasi yang sedang dikerjakan atau sedang diperiksa apakah itu akan disetujui bagaimana mungkin, karena UU-nya secara formil sudah dinyatakan inkonstitusional bersyarat," pungkas dia.
ADVERTISEMENT