Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.88.1
“Tim kami dibubarkan,” ujar Farid kepada kumparan di Jakarta, Kamis (22/12). Farid merupakan perekayasa di Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) yang terlibat proyek drone militer sejak 2017.
Drone yang dikembangkan Farid dkk ialah Pesawat Udara Nir Awak (PUNA) berspesifikasi militer dengan tipe Medium Altitude Long Endurance (MALE). Pengembangan drone kombatan bernama ‘Elang Hitam’ itu mulanya diinisiasi Balitbang Kementerian Pertahanan (Kemenhan) pada 2015.
Kemudian pada 2017, Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) ikut terlibat bersama Dislitbang TNI AU, PT Dirgantara Indonesia, PT LEN, dan Institut Teknologi Bandung. Keenam instansi tersebut membentuk konsorsium. Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) bergabung setelahnya pada 2019.
Drone ‘Elang Hitam’ dibangun khusus untuk kepentingan pertahanan TNI AU dengan dilengkapi rudal. Spesifikasi pesawat tanpa awak ini sekelas drone canggih milik Turki (AnKa), Amerika Serikat (Predator), dan Israel (Heron). Secara fisik, Elang Hitam memiliki panjang 8,30 meter dan bentang sayap 16 meter. Daya jelajahnya diklaim mencapai 23.000 kilometer non-stop dan ketahanan terbang tinggi selama 30 jam dalam radius 250 km.
Purwarupa Elang Hitam ditampilkan pertama kali di hanggar PT DI pada 30 Desember 2019. Selanjutnya pada 23 Januari 2020, Presiden Jokowi didampingi Menhan Prabowo melihat langsung drone tersebut di halaman Kemenhan. Tujuh hari berselang, Jokowi berbicara pentingnya pengembangan drone militer di hadapan para pegawai Kemenristek (kini BRIN).
"Kita sudah bisa kembangkan drone… Inilah riset ke depan yang harus kita loncatkan, sehingga negara kita tidak tertinggal. Sehingga kita harapkan itu jadi nilai tambah bagi negara dan perekonomian," kata Jokowi di Puspiptek Tangerang, 30 Januari 2020.
Di tahun itu pula Jokowi meneken Perpres 109/2020 yang memasukkan drone ‘Elang Hitam’ di daftar Prioritas Riset Nasional (PRN) 2020-2024. Elang Hitam ditargetkan bisa diproduksi massal dan memulai misi pertahanan mulai 2024. Bahkan Jokowi menargetkan Elang Hitam bisa produksi mulai 2022.
Namun harapan tinggal harapan. September 2022, BRIN memutuskan tak melanjutkan riset Elang Hitam.
“BRIN menghentikan sepihak [pengembangan drone Elang Hitam]. Ini sebenarnya menampar muka presiden. Dugaan saya ada sentimen negatif ke [peneliti] BPPT,” ucap Farid kecewa.
“Semestinya drone Elang Hitam sudah bisa diproduksi massal 2024, sesuai permintaan presiden,” timpal eks Kepala BPPT, Hammam Riza.
Kepala BRIN, Laksana Tri Handoko, menyatakan meski Elang Hitam masuk PRN, bukan berarti pengembangannya tidak bisa dihentikan. Menurut Handoko, justru Presiden Jokowi memerintahkan agar menghentikan semua PRN yang tak tuntas pada 2024 agar tidak membebani presiden berikutnya.
“Kami evaluasi mendalam selama 2021, termasuk PUNA MALE. Terpaksa kami hentikan karena gagal terbang kan Desember [2020],” kata Handoko kepada kumparan di kantornya, Jumat (23/12).
Di samping itu, Handoko mengatakan Indonesia masih belum memiliki teknologi kunci drone militer seperti satelit komunikasi. Padahal satelit komunikasi diperlukan untuk mengontrol pergerakan drone jumbo itu.
“Drone itu kan besar, kalau tidak ada satelit komunikasinya nanti nabrak gedung bagaimana? Empat rumah pasti hancur kalau [dronenya] jatuh, berbahaya. Minimal harus ada 3 satelit komunikasi yang kita miliki. Satelit enggak ada, terus ngapain dibikin? Menerbangkan saja enggak bisa, enggak akan pernah diizinkan,” jelas Handoko.
Walau demikian, Handoko menegaskan proyek drone itu tidak dihentikan begitu saja, tetapi dialihkan untuk tujuan sipil seperti monitoring cuaca hingga pemotretan kebakaran hutan.
Farid mengakui Elang Hitam gagal terbang saat uji coba pertama di Bandara Nusawiru, Pangandaran, pada Desember 2020. Kegagalan tersebut disebabkan struktur Elang Hitam yang mengutamakan keselamatan sehingga berdampak ke berat drone yang melebihi kondisi normal.
Selain itu, panjang landasan Bandara Nusawiru hanya 1.000 meter, ditambah kencangnya angin laut, tidak memberikan ruang yang cukup apabila ada kesalahan. Idealnya, panjang landasan untuk uji coba pertama 3.000 meter.
“Begitu first attempt, pilot abort karena tidak yakin kecepatannya bisa ngangkat [drone], kan [panjang landasan] cuma 1.000 meter. Jadi [drone] amblas, kakinya patah. Ini kesalahan minor yang bisa diperbaiki,” ucap Farid.
Elang Hitam kemudian dibawa ke Bandung untuk diperbaiki. Pada Maret 2022, perbaikan tuntas dan Elang Hitam siap diterbangkan. Namun hingga kini uji terbang itu tak terealisasi lantaran anggaran sudah beralih ke BRIN dan proyek pengembangan dihentikan.
Beralihnya anggaran—termasuk 14 ribu SDM—ke BRIN merupakan dampak peleburan 74 lembaga riset sesuai amanat Perpres 78/2021. Lembaga riset yang melebur di antaranya adalah LIPI, BPPT, LAPAN, dan BATAN. Peleburan itu membuat gusar Farid dan para peneliti lainnya.
Setahun pasca-peleburan yang tuntas pada awal 2022, para peneliti mengeluhkan kondisi BRIN yang karut-marut. Keluhan mereka utamanya persoalan anggaran riset, birokrasi yang rumit, hingga kepemimpinan.
Dana Riset Cekak
Para peneliti merasa peleburan puluhan lembaga riset ke BRIN justru membuat anggaran penelitian merosot. Pada kurun 2016-2019 atau sebelum lahirnya BRIN, anggaran riset Indonesia berkisar Rp 25 triliun hingga Rp 35,7 triliun. Anggaran itu tersebar di berbagai lembaga riset.
Sehingga lahirnya BRIN diharapkan mampu mengintegrasikan dan mengelola dana tersebut. Namun faktanya anggaran BRIN pada 2022 hanya sebesar Rp 7,1 triliun. Dari jumlah tersebut, sekitar Rp 4 triliun untuk operasional dan belanja pegawai, sedangkan Rp 3 triliun khusus riset.
Padahal ketika anggaran riset masih sekitar Rp 30 triliun, angka tersebut baru mencapai 0,28% terhadap PDB atau jauh dari ideal sebesar 1% dari PDB. Dana riset Indonesia makin berjarak dibandingkan dengan Filipina 0,32% terhadap PDB, Vietnam 0,5%, Thailand 1,1%, Malaysia 1%, Singapura 2%, Jepang 3,5%, dan Korea Selatan 4,2%.
“Sudah anggaran kecil, pencairannya gak mudah. Kadang-kadang pakai uang kita dulu, nanti di-reimburse, itu pun lama. Itu kan uang dapur yang harusnya buat keluarga,” lanjut Maxensius yang sebelumnya berkarier di LIPI.
Profesor Riset Astronomi-Astrofisika BRIN, Thomas Djamaluddin, mengakui anggaran riset kini memang lebih rendah. Ia mencontohkan anggaran LAPAN yang dipimpinnya hingga 2021, memiliki anggaran Rp 800 miliar. Kini setelah melebur dan berada di bawah organisasi riset penerbangan dan antariksa (ORPA), anggaran kurang dari Rp 100 miliar.
“Memang periset bertanya, kok jadi kecil? Tapi saya memahami, dulu itu Rp 800 miliar ada komponen gaji, pemeliharaan gedung, pengadaan fasilitas barang modal. Sekarang itu anggaran sekitar Rp 75 miliar di ORPA khusus untuk riset saja,” ucap Prof. Djamal.
Selain LAPAN, anggaran BATAN juga berkurang dari sebelum melebur Rp 815 miliar pada 2021, kini menjadi Rp 31 miliar di bawah organisasi riset tenaga nuklir.
Dari data yang dimiliki Maxensius, BRIN setahun terakhir lebih banyak mengalokasikan anggaran untuk kebutuhan infrastruktur fisik. Hal itu terlihat dari anggaran Deputi Infrastruktur Riset dan Inovasi yang mencapai Rp 2,1 triliun. Adapun Settama, Irtama, dan Pusdatin anggarannya mencapai Rp 2,9 triliun
“Sementara Organisasi Riset (OR) yang menjadi ‘dapur’ ilmu pengetahuan hanya mendapatkan anggaran yang kecil Rp 272 miliar,” kata Maxensius.
Sumber kumparan di internal BRIN bercerita, rendahnya anggaran BRIN disebabkan pimpinan BRIN yang tak mampu mengkonsolidasikan anggaran maupun program Balitbang di tiap kementerian. Mudahnya, BRIN hanya mendapat limpahan ribuan SDM peneliti dan aset dari tiap kementerian yang menjadi beban operasional, namun tidak dengan anggarannya.
Alhasil proses integrasi tak sesuai amanat Pasal 4 d Perpres 78/2019. Praktis kini anggaran BRIN hanya berasal dari 5 lembaga riset yakni Kemenristek, LIPI, BATAN, BPPT, dan LAPAN.
“Belum ada anggaran dari balitbang kementerian/lembaga yang terintegrasikan ke BRIN. Ini karena kegagalan pimpinan BRIN mengakomodasi program-program balitbang dan kegagalan mengemban amanat Perpres 78/2021,” ucap sumber tersebut.
Anggota Komisi VII F-PKS, Mulyanto, mengamini belum terintegrasinya anggaran kementerian yang dulu dialokasikan untuk balitbang ke BRIN. Masing-masing kementerian memilih membuat balai pelatihan atau balai pengujian sebagai pengganti balitbang, kemudian menyalurkan anggarannya ke balai tersebut.
Mulyanto mencontohkan dahulu Kementerian ESDM memiliki Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi Mineral dan Batu bara. Semenjak BRIN lahir, balitbang ESDM itu ikut melebur ke BRIN. Walau demikian, Kementerian ESDM tidak menyerahkan anggaran balitbangnya ke BRIN. Kementerian ESDM memilih membuat Balai Besar Pengujian Mineral dan Batu bara serta mengalokasikan anggarannya ke balai tersebut.
Sumber internal BRIN menyebut gagalnya menarik anggaran balitbang kementerian justru dinarasikan oleh pimpinan BRIN sebagai efisiensi dana riset Rp 19 triliun.
“Itu (efisiensi Rp 19 triliun) pembohongan publik. Itu karena tidak mampu mengkonsolidasikan anggaran antarkementerian, bukan efisiensi,” kata Mulyanto pada kumparan, Kamis (22/12).
Maxensius, Farid, dan sumber kumparan di kalangan peneliti menyatakan, rendahnya anggaran riset membuat para peneliti BRIN diminta mencari pendanaan dari eksternal. Padahal menurut Farid, riset untuk kepentingan negara -seperti riset soal gempa- sudah sepatutnya dibiayai negara.
Semakin ironi, di sisi lain, BRIN justru membuka tawaran pendanaan bagi peneliti eksternal melalui berbagai programnya seperti visiting researcher. Bayarannya mencapai Rp 18 juta per bulan.
“Open call proposal ke lembaga-lembaga lain, universitas, padahal kita masih kekurangan. Pencitraan seolah anggaran banyak, tapi yang di dalam dikorbankan. Peneliti BRIN seperti dianaktirikan, disia-siakan,” ucap Maxensius.
Kepala BRIN, Laksana Tri Handoko, menyatakan instruksi kepada peneliti untuk mencari pendanaan dari eksternal bukan karena anggaran BRIN yang rendah. Instruksi tersebut agar kompetensi para peneliti semakin meningkat.
“Kami dorong mereka untuk mendapatkan dana eksternal itu bukan karena enggak ada duit. Riset itu harus dikompetisikan. Dalam konteks kompetisi itulah dia (peneliti -red) harus cari keluar. Kalau dapat dari luar enggak ada yang akan bertanya proposal kamu bagus atau tidak, karena sudah ada yang menilai. Periset itu harus kompetisi, kalau enggak kompetisi ya enggak tambah pintar,” jelas Handoko.
Handoko tak ingin melanjutkan kebiasaan mengkaveling anggaran bagi peneliti internal layaknya dulu di lembaga riset sebelum melebur. Kini, ia membuka kesempatan bagi seluruh peneliti untuk mendapat pendanaan dari BRIN apabila proposal penelitiannya berkualitas.
“Kalau dulu kan dikaveling, dibagi-bagi, tidak ada sistem yang menilai bahwa riset dia itu memang layak dibiayai atau tidak. Makanya riset enggak ada yang jadi. Sekarang harus dikompetisikan terbuka, bukan karena orang BRIN pasti dikasih, ucap Handoko.
Handoko menyadari anggaran BRIN sebesar Rp 7 triliun menjadi sorotan. Ia pun mengakui ada kementerian yang enggan menyerahkan anggaran riset dan asetnya ke BRIN. Dari ratusan aset, BRIN hanya menerima 6 aset dari Kemenkes, Kementerian ESDM, serta Kementerian Kelautan dan Perikanan. Namun Handoko tak ambil pusing.
Ia memilih memaksimalkan anggaran yang tersedia untuk melihat berapa sebenarnya kebutuhan BRIN. Handoko menggunakan basis kompetensi para periset sebagai tolok ukur kebutuhan anggaran.
“Kami mau tahu betul kapasitas dan kompetensi mereka di mana. Setelah itu kami bisa mengukur untuk mendukung hal yang sesuai kemampuan dia itu perlu dana berapa,” kata Handoko.
Handoko lebih memilih anggaran riset puluhan triliun disalurkan ke BRIN secara bertahap, ketimbang diberikan secara gelondongan. Ia tak ingin anggaran tersebut berakhir sia-sia. Terlebih dari hasil telaahnya, anggaran riset 2018 mayoritas untuk diseminasi.
“Kalau uangnya gelondongan masuk, kami enggak bisa belanjakan ya sia-sia juga, akhirnya uangnya hilang. Kami mau tahu baseline-nya, untuk melakukan aktivitas dan penguatan sebenarnya perlu berapa. Kalau keburu digerojok kan enggak tahu karena sibuk menghabiskan anggaran,” ucap Handoko.
Birokrasi Rumit dan Kritik Kepemimpinan
Keluhan para peneliti mengenai karut-marutnya BRIN juga dari sisi birokrasi. Sumber kumparan yang berstatus peneliti madya BRIN bercerita, pengajuan proposal dana penelitian BRIN kini terbagi di dua deputi. Pengajuan dana untuk pembelian bahan penelitian ke Deputi Infrastruktur Riset dan Inovasi. Sedangkan usulan dana transportasi atau ekspedisi ke Deputi Fasilitasi Riset dan Inovasi.
Dalam banyak kasus, seorang peneliti bisa mendapat anggaran bahan penelitian, namun tidak dengan biaya transportasi. Begitu pula sebaliknya.
“Contohnya sudah banyak, ketika sudah dapat [dana] bahan penelitian, [dana] transportasinya enggak dapat. Anggaran transportasi dapat, bahan penelitian malah enggak dapat,” kata sumber tersebut.
Laksana Tri Handoko menyatakan, kesulitan tersebut karena para peneliti belum terbiasa. Ia mengakui adanya kasus seperti itu di mana peneliti mendapatkan anggaran bahan riset, tetapi tidak dengan anggaran transportasi atau ekspedisi. Ia berpandangan kasus itu terjadi lantaran proposal riset yang diajukan tidak cukup bagus.
“Ini kan baru pertama kali, jadi maklum mereka belum terbiasa. Semestinya cari hibah ekspedisinya dulu baru setelah itu cari anggaran bahan. Itu belum terbiasa kompetisi, kalau yang terbiasa enggak ada problem,” kata Handoko.
Rumitnya birokrasi pencairan anggaran membuat sejumlah peneliti BRIN yang mendapat pendanaan dari pihak eksternal, memilih tidak memasukkan anggarannya ke BRIN. Mereka memilih anggaran penelitian tetap berada di rekening pihak eksternal untuk pencairannya. Menurut sumber tersebut, skema ini diperbolehkan asalkan ada MoU antara BRIN dengan pendonor.
“Kalau dimasukkan ke kantor, semisal di proposal lump sum harian Rp 300 ribu, BRIN punya kebijakan sendiri maksimal lump sum Rp 150 ribu per hari. Nanti pertanggungjawaban ke pendonor bagaimana? Lalu jadi 2 kali buat laporan pertanggungjawaban. Seringkali laporan pertanggungjawaban BRIN lebih sulit daripada eksternal,” jelas sumber itu.
Handoko membantah sulitnya pencairan dana eksternal yang dikelola BRIN. Handoko menilai itu pandangan peneliti yang menganggap dana eksternal hanya milik peneliti. Padahal seharusnya dana tersebut bisa dimanfaatkan anggota tim di organisasi riset yang menaunginya.
“Kalau mereka dapat dana eksternal bukan berarti uang kita. Itu uang bersama. Tahun ini mungkin dia menang kompetisi, dapat hibah riset, share dong sama grupnya. Karena tahun depan belum tentu dia dapat. Kalau dia keep sendiri sudah melanggar aturan, itu kan korupsi,” ucap Handoko.
Sumber kumparan lain di kalangan peneliti bercerita, sentralisasi birokrasi imbas peleburan membuat proses bisnis berjalan sangat lambat dan rumit. Alhasil kegiatan riset kehilangan efektifitasnya. Ia mencontohkan periset tidak memiliki kebebasan mengakses peralatan lab karena adanya birokratisasi pemakaian lab.
“Padahal peralatan lab ibarat cangkul atau senjata periset. Ibarat petani, kalau sudah tidak bisa menggunakan cangkul artinya efektifitas mencangkul akan sangat berkurang,” ucap sumber itu.
Adapun perekayasa madya BRIN, Akhmad Farid Widodo, berpendapat rumitnya birokrasi dirasakan para eks penggawa BPPT. Mereka diwajibkan membuat jurnal layaknya peneliti LIPI. Padahal selama di BPPT, tujuan perekayasa yakni mengembangkan rancang bangun suatu produk.
Kewajiban tersebut membuat Farid mengais data-data hasil rancang bangunnya untuk dibuat jurnal. Meski di satu sisi ia dilema, lantaran rancang bangun yang dikembangkan terkait industri pertahanan yang datanya sangat rahasia.
“Diseragamkan menjadi ala LIPI, maka ada istilah di internal itu LIPI-nisasi,” kata Farid merujuk pimpinan BRIN yang mayoritas berasal dari LIPI.
Maxensius, peneliti utama BRIN yang sebelumnya berkarier di LIPI, mengamini birokrasi yang rumit tersebut.
“BRIN menjadi lembaga birokrasi, bukan lagi lembaga riset. Sudah sama seperti kementerian. Kalau dibuat seperti kementerian yang sangat birokratis, formal, soul risetnya enggak akan keluar. Riset harus dalam ekosistem yang egaliter, dialogis, transparan, inklusif, karena berurusan dengan manusia,” ucap Maxensius.
Maxensius, Farid, dan para peneliti BRIN yang enggan disebut namanya menganggap pangkal masalah rendahnya anggaran riset dan birokrasi yang rumit ialah kepemimpinan. Mereka berharap Kepala BRIN Laksana Tri Handoko diganti agar dunia riset tidak semakin mundur.
“Ciri kepemimpinan BRIN sekarang sepihak (tidak ada dialog/konsensus dalam merumuskan arah organisasi), arogan, otoriter, memaksakan kehendak dan tidak bervisi,” ucap sumber kumparan.
Kepala BRIN, Laksana Tri Handoko, mempersilakan segala kritik disampaikan secara langsung kepadanya.
“Mereka tahu WA (WhatsApp) saya, tapi enggak pernah kontak saya. Kalau enggak pernah kontak saya, saya tidak anggap. Tapi kalau kontak, saya akan pikirkan,” ucap Handoko.
Handoko berpendapat, munculnya protes dari para peneliti merupakan sesuatu yang wajar. Sebab setahun terakhir ialah masa adaptasi para peneliti pasca-peleburan ke BRIN. Handoko menganggap para peneliti masih belajar tata kelola yang lebih baik dan berkompetisi.
Meski demikian, Handoko menekankan seluruh peneliti BRIN harus mengikuti aturan yang telah ditetapkan, walau keputusan itu tak menyenangkan semua pihak. Ia mengingatkan para peneliti BRIN merupakan ASN, sehingga harus menjalankan tugas negara.
“Lembaga ini bukan milik kita, kita numpang hidup di lembaga ini, itu yang enggak boleh lupa. Kalau enggak cocok, ya, keluar saja, kok repot amat buang waktu,” tegas Handoko.
Perekayasa Madya BRIN, Akhmad Farid Widodo, menilai alasan perlunya adaptasi makin memperkuat argumen bahwa peleburan 74 lembaga ke BRIN justru memperburuk dunia riset Indonesia.
“Kenapa harus dilebur kalau kalau proses transisinya harus dibayar dengan harga yang mahal,” tutup Farid.