Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Habis-habisan Dicurangi di PPDB: Yang Dekat, yang Tersingkir
17 Juli 2023 15:22 WIB
·
waktu baca 15 menitTempat tinggal Putri hanya berjarak 232 meter dari SMA Negeri 1 Bogor. Tapi ia tersingkir oleh 161 lebih siswa lain yang tiba-tiba rumahnya jadi superdekat bahkan mungkin menempel ke tembok sekolah itu.
Sebanyak 161 anak yang lolos di jalur zonasi SMAN 1 Bogor mencantumkan jarak rumah yang lebih dekat ke sekolah ketimbang Putri di sistem berbasis titik koordinat dan alamat Kartu Keluarga (KK) itu.
Putri yang menghuni rumah 14D di RT2/RW3 Kelurahan Paledang, Bogor Tengah, sontak berderai air mata. Hatinya makin perih karena tak ada orang tua untuk bersandar. Ayah Putri sudah meninggal, sedangkan ibunya tak tinggal bersamanya. Putri hanya ditemani neneknya kala menelan kabar pahit itu.
“Ibu saya (nenek Putri) telepon, nangis-nangis, bilang Putri enggak masuk [SMAN 1 Bogor] karena kegeser,” kata Joko Sarjanoko, paman Putri, saat disambangi kumparan, Kamis (13/7).
Hal serupa dialami putra Iwan Kustiawan, Ketua RT3/RW2 Kelurahan Paledang. Pada pukul 13.00 WIB, 4 Juli, nama anaknya yang juga lulusan SMP 1 Bogor masih bertengger di urutan 60. Namun kemudian namanya tergeser sedikit demi sedikit ke urutan 70.
Selepas pukul 15.30, urutannya terlempar 20 posisi ke bawah tiap 10 menit. Pupuslah harapan sang anak untuk masuk SMAN 1 Bogor. Namanya hilang dari 161 kuota yang tersedia di jalur zonasi sekolah itu.
“Saya yakin pasti masuk, tapi pas magrib langsung [muncul calon siswa berjarak] 50 meter, 60 meter, 70 meter [dari sekolah]. Muncul di detik-detik akhir,” kata Iwan kepada kumparan di kediamannya.
Menurut Iwan, rumahnya berjarak 320 meter dari SMAN 1 Bogor bila berjalan kaki atau berkendaraan. Namun jika dicek dengan menarik garis ukur melalui Google Earth ke SMAN 1 Bogor, jarak rumahnya ke sekolah itu hanya 230 meter.
Setelah pendaftaran ditutup, esoknya Iwan mendatangi SMAN 1 Bogor untuk bertanya ihwal anaknya tak lolos meski jarak rumahnya dekat ke sekolah. Iwan diberi jawaban bahwa urutan itu barulah proses pendaftaran dan hasil sementara.
Nyatanya, setelah diumumkan pada 10 Juli hasil pendaftaran status quo, anak Iwan dan keponakan Joko tetap tersingkir dari seleksi zonasi.
Seperti tercantum dalam situs web PPDB Jabar, dari 161 siswa yang diterima di jalur zonasi SMAN 1 Bogor, jarak terjauh tempat tinggal mereka adalah 218 meter. Sementara jarak terdekat siswa yang diterima ialah radius 52 meter.
Artinya, sebanyak 161 murid itu, seluruhnya tinggal di Paledang, kelurahan yang sama dengan letak SMAN 1 Bogor.
Aroma Busuk Sistem Zonasi
Gelagat curang sejatinya sudah dicium sejumlah pihak. Saat pengumuman PPDB zonasi, Joko dan Putri dikabari SMPN 1, sekolah asal Putri, bahwa tidak ada ucapan selamat untuk murid-murid mereka yang diterima jalur zonasi di SMAN 1 Bogor.
“Karena diambilnya dengan ketidakjujuran. Saya lihat guru-guru SMPN 1 Bogor punya integritas. Dia menyayangkan itu dan dia tidak pernah mengajarkan [untuk] berbuat tidak jujur. Tapi karena oknum orang tua, ini terjadi,” kata Joko.
Iwan juga mengendus kecurangan PPDB zonasi ini lantaran ada kawan anaknya, sesama alumni SMPN 1 Bogor, yang lulus ke SMAN 1 dengan jarak rumah 160 meter. Padahal, menurut anaknya, rumah temannya itu jauh dari sekolah.
“Makanya sekarang banyak alamat rumah di mana (jauh), tapi koordinat di situ (dekat sekolah). Saya ke sekolah, mereka (pihak sekolah) enggak tahu-menahu,” ujar Iwan.
Anehnya lagi, ada 4 siswa yang diterima di radius terdekat 52–62 meter. Padahal, dari 4 murid itu, setahu anaknya hanya 1 orang yang rumahnya memang berdempetan dengan tembok SMPN 1 yang bersebelahan dengan SMAN 1.
Posisi SMAN 1 Bogor terbilang unik. Ia tidak langsung diapit rumah-rumah warga karena berada di pusat kota. Sekolah itu berbatasan dengan Gereja Katedral Bogor di sebelah utara, Pusat Pastoral Keuskupan Bogor dan sekolah Budi Mulia di sisi timur, Istana Kepresidenan di barat, serta SMPN 1 Bogor yang persis menempel di sisi selatannya.
Jika mengacu pada lokasi SMAN 1 Bogor sesuai situs PPDB Jabar dengan garis bujur -6.5974000 dan lintang 106.7933000, maka pada jarak 52 meter garis radius dari sekolah itu tidak bersinggungan dengan rumah warga.
Bangunan rumah warga paling dekat ada di sebelah selatan dan barat daya yang merupakan Gang Selot. Di daerah itu, bangunan yang masuk radius 52 meter adalah pusat jajanan serba ada (pujasera).
Bangunan lain yang masuk radius tersebut adalah kafe di depan pujasera dan rumah milik Rinto yang lahir dan besar di sana sejak 1957. Menurut Rinto, bangunan di selatan SMPN 1 memang sudah pujasera sejak tahun 2000-an.
“[Jadi rumah warga] yang paling dekat [ke SMAN 1] ya rumah saya di sini,” kata Rinto di Pujasera Gang Selot, Kamis (13/7). Namun, di rumah Rinto tidak ada siswa usia sekolah.
Berdasarkan informasi yang dihimpun kumparan, dari 50-an siswa yang terdaftar di jalur PPDB zonasi ke SMAN 1, hanya 2 murid saja yang benar-benar tinggal di Kelurahan Paledang.
Informasi tersebut mirip dengan temuan yang didapat Joko, paman Putri, dari hasil kroscek informasi terhadap jarak rumah-sekolah murid-murid SMPN 1 yang diterima di SMAN 1 jalur zonasi.
Hasilnya, ada 45 anak yang alamat rumahnya diduga berbeda dengan yang didaftarkan pada PPDB zonasi. Temuan itu didasarkan pada perbedaan antara jarak pada PPDB zonasi SMAN 1 dengan alamat siswa yang ditulis di buku tahunan kelulusan SMPN 1.
“Buku tahunan itu dibuat April 2023, yang isi orang tua. Mungkin ortu ini lupa sudah titip anaknya di sini (Paledang), tapi masih nulis alamat asli [di buku tahunan]. Ini kan modus, enggak bisa disangkal. Rumahnya di mana, ngaku tinggalnya di mana,” ujar Joko geram.
Dari 45 anak tersebut, hanya 4 anak yang menulis tinggal di Kecamatan Bogor Tengah. Sementara 41 anak lainnya berasal dari Kecamatan Bogor Timur, Bogor Barat, Bogor Selatan, Bogor Utara, dan Kabupaten Bogor yang bukan merupakan wilayah kecamatan SMAN 1 Bogor.
Menurut warga setempat, Masjid At Taqwa di Gang Selot sampai bekas rumah nomor 15 di RT2/RW3—yang kini ditumbuhi rumput ilalang—di kelurahan Paledang juga dicatut menjadi alamat siswa.
“Tugas untuk menyelidiki [pencatutan alamat rumah] bukan kami. Kami hanya memberikan bukti awal, selebihnya pihak berwenang yang menyelidiki,” ujar Joko.
kumparan bertandang ke Kelurahan Paledang, namun tak bertemu sang lurah. Seorang staf merekomendasikan agar surat permohonan wawancara dimasukkan lebih dulu. Namun meski surat sudah diserahkan, hingga berita ini ditulis, Kelurahan Paledang belum memberikan respons.
Korban PPDB Mencari Keadilan
Iwan kini pasrah menyekolahkan putranya di SMK Kosgoro Kota Bogor dengan biaya masuk Rp 5,7 juta plus seragam, dan SPP per bulan Rp 400-450 ribu.
Bukan cuma biaya sekolah ekstra, anak Iwan pun jadi harus menempuh jarak ekstra, sebab jarak rumah ke sekolahnya sekitar 3,6 km, lebih jauh dari sekadar berjalan kaki ke SMAN 1 Bogor.
Dengan jarak tersebut, biaya transportasi pun tak terelakkan. Anak Iwan harus naik angkot ke sekolah dengan ongkos Rp 10 ribu tiap harinya.
Sementara Putri kini tak jelas nasib pendidikannya setelah tersingkir dari PPDB zonasi SMAN 1 Bogor. Meski pamannya sempat pasrah dan hendak mendaftarkannya ke pondok pesantren, namun Putri tegas menolak.
“Ini kan hak saya [ke SMAN 1 Bogor yang dekat rumah], kenapa diambil orang lain?” kata Putri ke pamannya.
Mendengar ucapan itu, sang paman pun menarik rencananya mendaftarkan Putri ke ponpes. Ia mendukung keponakannya menuntut keadilan.
Joko lantas menyambangi Kelurahan Paledang untuk bertanya soal dugaan manipulasi KK di PPDB zonasi. Ia diberi tahu bahwa pembuatan KK tak lagi butuh rekomendasi RT-RW, kelurahan, dan kecamatan, melainkan langsung ke Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil, sehingga kelurahan tak tahu-menahu soal itu.
Mendengar jawaban itu, Joko lanjut mengadu ke Dinas Pendidikan Kota Bogor, tetapi kewenangan PPDB SMA rupanya ada di Disdik Provinsi Jabar, tepatnya di Kantor Cabang Dinas Pendidikan Wilayah II (KCD II). Hal ini berbeda dengan PPDB SMP yang berada di bawah kewenangan Pemerintah Kota Bogor.
Joko bahkan sempat mengadu ke Wali Kota Bima Arya dan Wakil Wali Kota Bogor Dedie Rachim.
“Jawabannya, ‘Mas Joko, kita ikhtiar ya. Kita usahakan yang curang-curang ini akan kita tindak’. Kalau Pak Walkot hanya bicara, [untuk PPDB SMA] bukan kewenangannya,” ujar Joko.
Wali Kota Bogor Bima Arya memang sempat melakukan sidak ke sejumlah lokasi dan rumah warga di sekitar SMPN 1 Bogor untuk mengecek alamat peserta PPDB SMP yang mendaftar di jalur zonasi ke SMPN 1 Bogor.
Dari situlah ditemukan indikasi penggunaan KK palsu, penambahan anggota keluarga di KK, dan pindah KK. Ada juga yang titik koordinat domisilinya berada di kontrakan kosong. Sidak itu digelar setelah 300 aduan lebih masuk ke Pemkot Bogor terkait PPDB zonasi.
Kecurangan kian masif karena tidak ada verifikasi faktual ke lapangan. Ketua Panitia PPDB SMAN 1 Bogor Yusuf Sulaeman menjelaskan proses pendaftaran PPDB SMA yang selama ini berlangsung.
Mula-mula, peserta didik menerima akun dari Provinsi Jawa Barat melalui sekolah asal. Akun itu digunakan di aplikasi PPDB untuk menginput NIK dan nomor KK.
Jika data sudah sesuai dengan data Disdukcapil Jabar, maka siswa bisa langsung lanjut mengunggah persyaratan seperti surat kelulusan, akta kelahiran, kartu keluarga dengan penerbitan minimal setahun ke belakang, KTP orang tua, dan titik koordinat domisili.
Titik koordinat domisili bisa ditentukan sendiri oleh peserta didik sesuai dengan alamat KK. Terakhir, peserta wajib mengisi form surat bermaterai Rp 10 ribu yang menandakan bahwa semua dokumen dapat dipertanggungjawabkan.
Selanjutnya, pihak sekolah yang dituju (SMA) akan memverifikasi dokumen-dokumen tersebut—apakah KK peserta benar terbit minimal setahun ke belakang, dan apakah titik koordinat benar sesuai dengan alamat KK.
“Kalau tidak sesuai, maka kami langsung beri notifikasi, ‘Kartu Keluarga yang Anda upload belum 1 tahun dari masa pendaftaran.’ Jadi tidak bisa dipakai,” terang Yusuf.
Menurutnya, sekolah sebatas mengecek kelaikan dokumen yang diunggah. Sementara verifikasi lapangan tidak ditugaskan Provinsi Jabar karena waktu yang sempit dan SDM yang terbatas.
“Kami hanya melihat di layar komputer. Kalau ada pelanggaran yang kami lihat, misal dia mengubah tanggal dikeluarkan [KK] dengan font berbeda, saya balikin [dokumennya]. Atau misalnya nama pejabat yang mengeluarkannya baru, itu kami notifikasi. Tapi kalau semua sesuai, ya kami percaya,” tutur Yusuf.
Ia mengatakan, pihak SMA hanya mengikuti petunjuk teknis yang diberikan provinsi dalam Kepgub Jabar Nomor 4864/HK.02.03/sekre tentang SOP PPDB 2023.
Dengan begitu, Yusuf mengakui bisa jadi memang ada calon siswa yang pindah KK setahun sebelum PPDB demi masuk SMA incaran.
Pindah KK ini diatur dalam SOP PPDB 2023 BAB II Huruf D Poin 2 soal Dokumen Persyaratan Khusus bagi calon peserta didik yang menumpang famili lain. Syaratnya antara lain: minimal telah tinggal di sana setahun, asal SMP-nya masih satu kabupaten/kota, dan melampirkan surat tidak keberatan dari pemilik KK yang ditandatangani di atas materai.
“Apa enggak boleh mereka melakukan seperti itu (menumpang KK)? Kalau sekolah [melihat pindah KK], sepanjang itu prosedural, ada di juknis, terus kami tolak, mereka (calon siswa) pasti marah ke kami—‘Kenapa dibatalkan pendaftaran saya?’ Jadi sekolah serbasalah,” jelas Yusuf.
Jika ada dugaan kecurangan, ujarnya, orang tua bisa melengkapi datanya ke KCD II. Jika KCD II mengonfirmasi temuan tersebut, maka mereka akan memerintahkan ke satuan pendidikan soal tindak lanjutnya untuk peserta didik terkait.
Hingga pendaftaran ditutup, ada 373 pendaftar PPDB zonasi di SMAN 1 Bogor. Sebanyak 360 peserta dinyatakan layak mengikuti seleksi, sementara 13 lainnya dibatalkan pendaftarannya lantaran tak menindaklanjuti notifikasi di masa sanggah.
Yusuf menekankan, sekolah tak berwenang mencoret pendaftar terkait dengan aduan PPDB zonasi.
“[Laporannya] ke KCD, bukan ke sekolah,” tutup Yusuf.
Kala wawancara berlangsung, di luar pagar SMAN 1 Bogor tengah berlangsung demonstrasi dari organisasi mahasiswa kampus yang memprotes sistem zonasi.
Kekacauan Sistemik Sistem Zonasi
PPDB zonasi telah berlangsung sejak 2017 dan diatur melalui Permendikbud Nomor 17 Tahun 2017. Saat itu, kuota jalur zonasi disyaratkan minimal 90% untuk tiap sekolah. Artinya, hampir sepenuhnya zonasi.
Aturan tersebut menuai polemik di lapangan. Melalui serangkaian evaluasi, kuota zonasi susut pada 2018 menjadi 80%, dan pada 2019 hingga kini menjadi 50%. Namun, polemik soal zonasi tak jua usai. Buka cuma di Bogor, tapi di berbagai wilayah di Indonesia.
Ombudsman RI Perwakilan Daerah Istimewa Yogyakarta misalnya menemukan 1 rumah dengan 2 KK yang masing-masing berisikan nama 10 anak dengan status ‘famili lain’ di dekat SMA negeri favorit di Yogya.
Plt. Wali Kota Bekasi Tri Adhianto menemukan 97 nama “Siti Aisyah” yang mendaftar di SMAN 1 Bekasi. Sementara di Tangerang, ada orang tua yang sampai mengukur jarak rumah-sekolah memakai meteran, karena jarak domisilinya yang hanya 412 meter dari sekolah ternyata tak membuat sang anak lolos PPDB zonasi ke SMAN 5 Tangerang.
Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) Ubaid Matraji menganalisis, polemik yang terjadi soal PPDB zonasi di berbagai daerah tahun ini merupakan masalah hilir, sementara akar masalahnya tak dibendung.
Menurut Ubaid, modus-modus kecurangan di PPDB seperti praktik jual-beli kursi, penggunaan domisili palsu, pembuatan surat keterangan miskin demi masuk jalur afirmasi, hingga kuota bangku sekolah yang tidak transparan, sudah pernah terjadi di tahun-tahun sebelumnya.
Ubaid menyebut masalah utamanya ada pada sistem seleksi yang dibuat pemerintah. Menurut statistik data pokok pendidikan (dapodik), sekitar 60% siswa SD gagal masuk SMP negeri, dan 70% siswa SMP gagal masuk SMA negeri karena bangku yang terbatas.
Alhasil, mereka yang tak mendapat kuota di sekolah negeri mesti melanjutkan pendidikan ke SMP atau SMA swasta dengan kocek sendiri.
“Pemerintah malah bikin mekanisme rebutan kursi sekolah. Itu sistem lotre. Tidak ada jaminan orang yang dekat rumahnya dari sekolah pasti masuk,” kata Ubaid.
Menurutnya, mestinya dapodik digunakan untuk memastikan setiap peserta didik bisa sekolah. Ubaid mengusulkan adanya sistem undangan bagi siswa sesuai zonasinya. Sekolah ibarat TPS yang mengundang warga negara pemilik hak pilih untuk mencoblos.
“Syaratnya, pemerataan kualitas pendidikan. Dengan begitu, maka orang akan sekolah di mana pun yang kualitasnya sama. Kemudian orang akan sekolah di sekolah yang dekat rumahnya,” tutur Ubaid.
Wakil Sekretaris Jenderal Persatuan Guru Republik Indonesia Dudung Abdul Qodir juga menyebut perlunya pelibatan sekolah swasta untuk menutup kekurangan daya tampung di sekolah negeri.
Dudung menyitir UUD 1945 yang menyebut setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan. Maka, negara mesti menyiapkan anggaran bagi siswa yang tak diterima di sekolah negeri.
“Pemerintah mengedukasi juga bahwa sekarang sekolah tidak lagi harus negeri-minded. Saya yakin orang tua tak akan lagi berebut negeri karena persoalannya adalah sekolah [swasta] sudah bebas biaya [ditanggung negara],” kata Dudung.
Persoalannya, anggapan adanya sekolah favorit tetap melekat di benak orang tua. Sekolah belum dianggap sama, misalnya, karena ada intervensi khusus pada program Sekolah Penggerak. Ini membuat orang tua siswa akan berpikir bahwa sekolah non-penggerak tidak bagus.
Masalah lain, pemerataan pendidikan sulit terjadi karena perguruan tinggi menentukan kuota peserta jalur undangan (Seleksi Nasional Berdasarkan Prestasi) berdasarkan akreditasi sekolah.
“Mestinya enggak ada begitu, karena semua sekolah merata, akreditasinya merata, mestinya pemerintah memberikan pendampingan pada sekolah yang akreditasinya buruk,” kata Ubaid.
Dudung menyebut idealnya dengan zonasi, setiap siswa mendapat kualitas pelayanan yang sama di setiap sekolah. Namun kini mimpi itu tak sejalan dengan rencana zonasi.
“Yang terjadi ingin masuk ke sekolah hebat, akhirnya berbagai cara dilakukan oleh orang tua. Bayar enggak masalah sampai [masuk sekolah favorit],” ujar Dudung.
Kemendikbud Serahkan ke Daerah soal Zonasi
Inspektur Jenderal Kemendikbud Chatarina Muliana Girsang menyebut bahwa tugas pemerintah pusat sebagai regulator hanya menetapkan kuota minimal zonasi 50 persen. Adapun penetapan zonasi diserahkan ke daerah yang bebas menentukan berdasarkan jarak, geografis, hingga administrasi.
Menurut Chatarina, tidak boleh ada daerah yang tidak terjangkau zonasi sekolah (blankspot). Ia menyebut semestinya dengan kebijakan zonasi, pemda dapat melihat sejauh mana suatu daerah kekurangan bangku sekolah.
“Jadi mereka kan berpikir kekurangan sekolah, jadi harus nambah sekolah. Selama ini anak disalahkan enggak dapat sekolah, padahal pendidikan dasar itu pemerintah wajib memberikan dan membiayai,” kata dia.
Chatarina mengaku tak menyalahkan pemda soal ini. Tetapi ia menggarisbawahi wewenang penyelenggaraan sekolah di suatu daerah.
“Ya pemda yang punya kewajiban [menyediakan kekurangan sekolah], karena dengan zonasi pemda tahu ternyata kami masih butuh sekolah,” ujarnya.
Untuk pelibatan sekolah swasta, Chatarina menyebut sudah berlangsung di wilayah urban. Misalnya DKI Jakarta yang membiayai anak-anak yang tak mampu karena saat seleksi tak diterima di sekolah negeri.
Pelibatan sekolah swasta menurutnya solusi yang paling memungkinkan untuk zonasi di kawasan urban. Sebab jika jumlah kelas ditambah, maka sekolah swasta akan berteriak kekurangan murid.
“[Pendanaan bersekolah di swasta] dari pemerintah daerah, bagi yang tak mampu. Karena kalau masuk sekolah negeri kan gratis,” kata dia.
Chatarina mengakui jika mandat konstitusi memerintahkan kewajiban bagi pemerintah untuk menyekolahkan setiap warga negara. Namun, menurutnya tidak mungkin negara membiayai mereka semua yang masuk di sekolah swasta.
“Anggaran fungsi APBN kan sekarang untuk bantu gaji guru, kalau enggak bayar gaji guru mungkin bisa. Tapi kan ini sudah putusan MK bayar gaji guru, maka kalau negara terbatas, kita lihat siapa yang paling enggak mampu,” tuturnya.
Pada 2008, Mahkamah Konstitusi menyebut bahwa gaji pendidik masuk sebagai komponen anggaran pendidikan 20 persen dalam APBN/APBD. Namun, menurut penelitian World Bank tahun 2020 menunjukkan bahwa alokasi anggaran pendidikan di kab/kota di Indonesia 86% habis untuk gaji dan tunjangan guru.
“Diikuti oleh bantuan lain untuk belajar (5%), infrastruktur (5%), biaya operasional (3%), dan pelatihan guru (1%),” tulis laporan berjudul Revealing How Indonesia’s Subnational Governments Spend their Money on Education: Subnational Education Public Expenditure Review 2020.
Menyikapi kisruh zonasi, pada 2024 Kemendikbud tak akan menghapus atau mengurangi kuota zonasi yang sudah berlaku. Hanya saja institusi itu bakal mendetailkan aturan untuk menutup celah kecurangan dalam PPDB.
Misalnya, menurut Chatarina Girsang, KK yang boleh menjadi syarat pendaftar PPDB zonasi adalah KK orang tua kandung atau wali yang sama pada jenjang sebelumnya. Bisa juga peserta didik mesti berada di KK yang sesuai akta kelahiran.
“Jadi udah clear, [zonasi] niatnya baik. Permasalahannya bukan karena kebijakan, tapi implementasi dan penegakkan aturannya,” ujar Chatarina.
Sementara pemerintah pusat dan daerah saling lempar tanggung jawab soal kecurangan zonasi, ada nasib Putri dan siswa lain yang kini terancam putus sekolah lantaran terdepak zonasi. Terlepas dari kisruh PPDB dan akar masalah yang melingkupinya, tuntutan mereka hanya satu.