Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.1
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
Ketua PP Muhammadiyah Bidang Hukum yang juga eks Ketua KPK, Busyro Muqoddas, mengingatkan Presiden Jokowi bahwa pemerintahannya akan mencatat sejarah karena saat ini KPK tumbang dan tak lagi punya gigi memberantas korupsi.
Ia mengaku selama ini bersama sejumlah tokoh-tokoh aktivis masyarakat sipil intensif melakukan pertemuan-pertemuan daring membahas nasib KPK di masa pemerintahan Jokowi.
"Dari bahasan-bahasan itu kesimpulan besar saya begini, bahwa penonaktifan 75 pegawai KPK melalui proses tes wawasan kebangsaan itu mempertegas pernyataan saya sebelumya, yaitu di tangan Presiden Jokowi sistem pemberantasan korupsi itu tumbang," beber Busyro.
"[KPK] timbang karena ditumbangkan. Itu kesimpulan besarnya," lanjutnya.
Busyro kembali mengingatkan Jokowi soal janji-janji kampanye Pilpres dulu. Dalam dua kali pemilu, 2014 dan 2019, Jokowi menegaskan komitmennya memperkuat KPK.
ADVERTISEMENT
"Janji-janji itu berujung dengan Surpres Jokowi untuk DPR tentang revisi UU KPK. Kedua, rangkaian langkah-langkah pemilihan pimpinan KPK terpilih ini tidak bisa dilepaskan dari RUU itu," jelasnya.
Peneliti Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) Universitas Andalas, Feri Amsari, juga menilai pimpinan KPK tak lagi paham prinsip kolektif kolegial dan hanya "manut pada keputusan Ketua KPK Firli Bahuri.
"Inilah anehnya, empat pimpinan lain tidak memahami kolektif kolegial. Saya melihat pimpinan lain hanya boneka yang digerakkan oleh kepentingan yang sama terhadap Pak Firli. Tidak bisa dilihat apa pun sikap, dan pilihan. Lebih banyak dari mereka sebagai orang tidak berguna saja di KPK," kata Feri.
Feri juga menyayangkan sikap Dewan Pengawas yang terkesan tak mau tahu dan tidak melontarkan kritik apa pun.
"Bagi saya, Dewas KPK dari dulu sudah dicurigai merupakan bagian dari permainan ini. Itu sebabnya tidak banyak di antara Dewas yang bersikap tegas bahkan seolah-olah tidak mau tahu," komentar dia.
ADVERTISEMENT
Tak hanya Feri, Peneliti ICW Kurnia Ramadhana, juga beranggapan Dewas harusnya bisa tegas mengevaluasi pimpinan KPK. Mestinya, Dewas proaktif dalam menindak dugaan pelanggaran kode etik di KPK.
"Dewas, kan, punya fungsi untuk melakukan evaluasi. Pertama, evaluasi kerja insan KPK, mengevaluasi pegawai dan pimpinan KPK secara berkala. Kedua, Dewas itu harus proaktif adanya dugaan pelanggaran kode etik di sini," kata dia saat dihubungi terpisah.
Menurut Kurnia, sikap otoriter Firli Bahuri dan penonaktifan semena-mena 75 pegawai KPK sudah termasuk pelanggaran hukum. Apalagi pelanggaran kode etik, menurunkan citra lembaga, dan sebagainya.
"Dewas bisa segera memanggil pimpinan KPK untuk menanyakan meminta klarifikasi atas perdebatan sepekan terakhir soal TWK. Atau, kami curiga mayoritas Dewas justru mem-backup kebijakan pimpinan KPK ini," tuturnya.
ADVERTISEMENT
Sementara itu, Peneliti Pusat Kajian Anti-korupsi (Pukat) Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Zaenur Rohman, menilai Surat Keputusan (SK) Ketua KPK Firli Bahuri untuk menonaktifkan 75 pegawainya cacat hukum dan berpeluang besar dipersoalkan. Menurut dia, ada niat menyingkirkan pegawai yang berintegritas di KPK baru.
"Menurut saya SK ini cacat hukum karena pembebastugasan pegawai didasarkan bukan karena pelanggaran kode etik atau pidana, tapi karena tidak lolos TWK (Tes Wawancara Kebangsaan)," kata Zaenur.
Apalagi, kata Zaenur, hingga saat ini belum ada keputusan pemberhentian kerja sebagai pegawai KPK. Sehingga status 75 orang tersebut masih pegawai KPK.
"Mereka ini masih jadi pegawai KPK, tapi mereka sudah dibebas-tugaskan. Jadi menurut saya itu cacat hukum," tegasnya.
Zaenur juga menganggap alasan KPK menonaktifkan pegawai yang tak lolos TWK juga mengada-ada karena hasil tes tersebut tidak berhubungan dengan proses penyidikan. Apalagi, terlepas dari hasil TWK tersebut, para penyidik memegang SK yang menjadi keputusan dalam jabatan sebagai penyidik.
ADVERTISEMENT
"Sehingga tidak ada alasan apa pun yang perlu dikhawatirkan karena keabsahan mereka dalam menangani sebuah perkara itu dipersoalkan pihak lain," lanjut Zaenur.
Pegawai KPK yang dinonaktifkan, Novel Baswedan, bahkan membuat tagar #BeraniJujurPecat yang diubah dari tagar KPK #BeraniJujurHebat.
"Potret Pemberantasan Korupsi negeri ini. #BeraniJujurPecat," tulis Novel.
Tagar itu sudah beredar sejak kemarin melalui media sosial termasuk WhatsApp. Cuitan Novel menuai dukungan di Twitter yang juga mengkritik pemecatan 75 pegawai KPK.
Pembelaan KPK
Anggota Dewan Pengawas (Dewas) KPK, Indriyanto Seno Adji, membela keputusan Firli Bahuri dkk mengenai 75 pegawai yang tak lolos tes wawasan kebangsaan (TWK).
Indriyanto menyebut keputusan itu bukan hanya kebijakan Ketua KPK, Firli Bahuri, melainkan telah diputuskan secara kolektif kolegial dalam sebuah rapat, yang turut mengundang Dewas.
ADVERTISEMENT
“Keputusan KPK ini harus dilihat dari facet (antara) hukum pidana (terkait fungsi lembaga penegak hukum) dengan hukum administrasi negara (terkait tupoksi wewenang), dan bahwa keputusan Pimpinan KPK itu dipastikan bersifat kolektif kolegial, sama sekali bukan keputusan individual dari Ketua KPK," ujar Indriyanto.
"Bahkan anggota Dewas KPK termasuk saya turut serta hadir dan paham isi rapat tersebut, walaupun selanjutnya substansi keputusan menjadi domain Pimpinan kolektif kolegial KPK,” lanjutnya.
Ia melihat keputusan pimpinan KPK mengenai nasib 75 pegawai KPK tak lolos TWK wajar. Sementara mengenai perintah menyerahkan tugas dan tanggung jawab kepada atasan langsung, kata Indriyanto, bukan berarti para pegawai nonaktif.
“[Jadi] tidak ada istilah penonaktifan. Ini prosedur hukum yang wajar atau layak, yang juga sama ditempuh oleh komisi atau lembaga lainnya, demikian juga halnya dengan KPK. Keputusan ini masih dalam tataran proper legal administrative procedures, karenanya memang harus ada penyerahan sementara kepada atasan langsung," ucapnya.
ADVERTISEMENT
“Walau misalnya saja terjadi arahan atasan berupa keputusan dilakukan secara lisan (mondelinge beschikking) sebagai penguasan keputusan tertulis yang ada, tapi tetap sah sebagai keputusan lisan,” lanjutnya.
Indriyanto berpendapat, keputusan pimpinan KPK harus dianggap selaras dengan prinsip Presumptio Iustae Causa, yakni kebijakan yang harus atau selayaknya dianggap benar menurut hukum dan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Sehingga dapat dilaksanakan lebih dahulu selama belum dibuktikan sebaliknya.
”Jadi bagi saya, keputusan tersebut tidak bermasalah secara hukum, walaupun harus selalu disadari bahwa kalau terkait produk apa pun di kelembagaan KPK, akan selalu bisa menjadi polemik yang dipermasalahkan,” pungkasnya.