Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 ยฉ PT Dynamo Media Network
Version 1.101.0
Hadapi Trump, Posisi Dubes RI untuk AS Harus Senior dan Profesional
8 April 2025 20:21 WIB
ยท
waktu baca 3 menit
ADVERTISEMENT
Di tengah usaha Indonesia yang ingin menegosiasi AS terkait tarif dagang 32% yang dikenakan Presiden Donald Trump, posisi duta besar Indonesia untuk Amerika Serikat hampir 2 tahun kosong.
ADVERTISEMENT
Terakhir posisi itu diisi oleh Rosan Roeslani yang kini menjabat Menteri Investasi dan Hilirisasi. Posisi itu kemudian kosong ketika Presiden ke-7 Jokowi menunjuk Rosan menjadi Wamen BUMN pada 2023.
Kosongnya posisi duta besar Indonesia untuk AS menimbulkan pertanyaan: bagaimana bisa Indonesia bernegosiasi dengan Trump?
Pengamat hubungan internasional sekaligus pendiri Synergy Policies, Dinna Prapto Raharja, menilai kekosongan posisi duta besar yang lama membuat Indonesia tertinggal.
"Dengan kekosongan yang sedemikian lama, Indonesia boleh dikatakan tertinggal dalam informasi, kontak, dan jejaring yang pro pada Indonesia dari pihak AS dibandingkan negara-negara lain yang rutin punya dubes di AS," kata Dinna saat dihubungi kumparan, Selasa (8/4).
Apalagi, Dinna menyoroti posisi dubes di bawah pemerintahan Jokowi 'turun derajat' karena menugaskan dubes sebagai marketer penjual produk Indonesia. Selain Rosan Roeslani, Jokowi sempat menunjuk Muhammad Lutfi sebagai Dubes RI untuk AS.
"Delegasi yang dikirim dari Indonesia untuk negosiasi dengan Trump, kalau dilihat dari mandat dan komposisinya, akan berat mencapai keberhasilan karena model pembetukan tim itu adalah dengan menugaskan kumpulan pejabat untuk berangkat dengan persiapan minim, bahkan waktu yang minim untuk mengumpulkan masukan dari para ahli," jelasnya.
ADVERTISEMENT
Dinna juga menilai, negosiator yang akan dikirim Presiden Prabowo Subianto belum dikenal oleh pihak AS. Ditambah lagi negara yang ingin bernegosiasi soal tarif bukan hanya Indonesia.
"Mereka bahkan belum tentu satu pikiran tentang pendekatan yang pas ke AS. Mereka belum dikenal oleh para negosiator dan pihak yang berpengaruh di Amerika, apalagi karena mandat mereka sebagai negosiator kemungkinan besar bersifat adhoc saja, bukan untuk jangka waktu panjang," tuturnya.
"Dengan AS dalam situasi seperti sekarang, apalagi ada tawaran dari puluhan negara lain untuk juga nego dengan AS, yang penting itu kepekaan pada peluang dan kelihaian meyakinkan pihak AS," lanjutnya.
Dinna kemudian mengingatkan bahwa dubes yang ditempatkan di AS memiliki ranking diplomatik luar biasa dan berkuasa penuh, yang merupakan ranking tertinggi dalam dunia diplomatik, yang memiliki otoritas penuh untuk bernegosiasi dan membangun hubungan diplomatik antarnegara.
ADVERTISEMENT
"Tentu untuk itu kaliber pengalaman dan sudut pandangnya harus holistik; senior tapi bukan cuma dari segi umur dan penunjukan politik, tetapi harus profesional dan kenal betul cara menangani Amerika Serikat," tuturnya.
Dinna mencontohkan Vietnam yang menempatkan mantan Wakil Menlu, Nguyen Quoc Dzung, sebagai duta besar di AS.
"Yang juga mantan ketua SOM di ASEAN dan penempatan-penempatan sebelumnya di Eropa. Jadi beliau boleh dikatakan sudah siap betul sejak 2022 membangun jejaring di AS dengan bekal perspektif negara-negara TransAtlantik sekaligus ASEAN," ungkapnya.
Ia mengingatkan bahwa posisi AS bukan sekadar peserta politik global, tapi negara yang memiliki sejarah dan ambisi untuk kembali menghegemoni dunia.
"Jadi menghadapi AS butuh, ibaratnya, mata, telinga, dan indra peraba lain di AS; enggak bisa cuma adhoc, enggak bisa level di bawah dubes (misalnya seperti sekarang diserahkan ke diplomat level minister atau minister counsellor). Enggak akan terbuka informasi dan jalannya," tuturnya.
ADVERTISEMENT
Dinna kemudian menyoroti kualitas dubes Indonesia yang pernah ditempatkan di AS. Menurutnya, mereka adalah diplomat yang mumpuni untuk bernegosiasi dan berhadapan dengan AS.
"Tengok ada Arifin Siregar, Dorodjatun Kuntjoro Jakti, Dino Djalal, Soemadi (yang juga sangat dihormati dan punya bintang kehormatan dari Jepang) dan seterusnya. Mereka bukan cuma punya pengalaman setahun dua tahun berdiplomasi, apalagi sekadar untuk datang nego 1-2 kali dengan AS, tapi sudah pernah menangani kasus-kasus kompleks dengan negara-negara industri dan punya jejaring politik ekonomi di AS," pungkasnya.