Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
ADVERTISEMENT
Wacana pilkada tak langsung kembali bergulir setelah Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian ingin mengevaluasi pelaksanaan Pilkada serentak. Wacana ini membuat praktisi dan pakar kepemiluan angkat bicara, karena pilkada tak langsung dinilai sebagai langkah mundur dalam berdemokrasi.
ADVERTISEMENT
Peneliti Utama Network for Democracy and Electoral Integrity (Netgrit) Hadar Nafis Gumay menolak wacana perubahan sistem Pilkada dari dipilih rakyat secara langsung menjadi tidak langsung. Secara khusus, Hadar menanggapi opsi jika pemilihan kepala daerah dilakukan oleh DPRD.
“Secara tegas dan cepat saja, kami berpandangan kami tidak setuju dengan kembali ke pemilihan melalui DPRD, atau menjadi tidak langsung,” kata Hadar saat diskusi di Formappi, Jakarta Timur, Minggu (24/11).
Hadar mengaku cukup kaget ketika mendengar wacana ini kembali muncul ke permukaan. Sebab, menurut eks komisioner KPU itu, perdebatan soal apakah Pilkada harus dilakukan secara langsung atau tidak langsung sudah dilakukan sejak 2005 dan berhasil terselesaikan di era SBY lewat Perppu.
Artinya, ketika wacana tersebut muncul kembali, demokrasi di Indonesia justru mengarah satu langkah ke belakang. Ditambah lagi, konstitusi menjamin bahwa rakyat adalah pemegang kedaulatan tertinggi.
ADVERTISEMENT
“Kerena konstitusi kita sudah mengatakan kedaulatan diberikan kepada rakyat, makna itu ya diberikan kepada mereka masa karena kita mau gampangnya kita ambil kedaulatan itu dari warga,” kata Hadar.
Selain itu, menurut Hadar, Pilkada tidak langsung juga tidak menjamin pemilu yang lebih baik dari Pilkada langsung. Sama halnya dengan Pilkada langsung, Hadar mengatakan, Pilkada tidak langsung pun turut memakan biaya politik yang tinggi. Politik uang tidak bisa dihindari dalam Pilkada tidak langsung.
“Di DPRD itu bukan tidak ada biaya politiknya dan itu persoalan uang di sana juga besar,” kata Hadar.
Pilkada tidak langsung juga semakin buruk mengingat dampak-dampak setelahnya yang mungkin muncul. Misalnya, demonstrasi besar-besaran akibat kepala daerah pilihan DPRD tidak sesuai dengan selera rakyat.
ADVERTISEMENT
“Misalnya yang terpilih oleh DPRD ternyata tidak dikehendaki masyarakat sehingga terjadi protes, tidak berhentinya kekecewaan, protes, demonstrasi,” tutur Hadar.
Pilkada tidak langsung, menurut Haidar nantinya juga akan mengubah pertanggungjawaban kepala daerah tidak lagi kepada rakyat.
“Yang kemudian membuat parah kalau kepala daerah dipilih DPRD, maka pertanggungjawabannya lebih berorientasi ke DPRD,” kata Hadar.
Hadar mengatakan, mengevaluasi dan memperbaiki pelaksanaan Pilkada secara langsung lebih tepat daripada mengubahnya dan mengembalikan ke sistem tidak langsung.
“Jangan kita terlalu sederhana melihat permasalahan pilkada dan jangan kita simpulkan masalah ini di model pemilihannya langsung-tidak langsung,” kata Hadar.
Ada sejumlah persoalan yang menurut Hadar harus diperbaiki dalam Pilkada langsung saat ini, yakni biaya politik yang tinggi akibat politik uang dan sistem rekrutmen partai politik.
ADVERTISEMENT
“Ini yang harus dibenahi, dan memang pembenahan ini butuh perubahan UU, tapi bisa juga tidak perlu mengubah, bisa dari tindakan penyelenggara. Untuk politik uang dari sisi penyelenggara harus bisa memastikan mereka berkinerja dengan baik memberantas ini,” kata Hadar.
Sebelumnya, Mendagri Tito Karnavian mengatakan pelaksanaan Pilkada langsung sejak 2005 perlu dievaluasi. Menurut Tito, pelaksanaan Pilkada secara langsung yang sudah berjalan ini cukup menelan biaya yang sangat besar.