Haji Naim, Legenda Pijat Tradisional di Jakarta

2 Mei 2020 16:20 WIB
comment
3
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ekspresi pasien ketika dipijat di tempat pengobatan patang tulang Haji Naim. Foto: Jamal Ramadhan/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Ekspresi pasien ketika dipijat di tempat pengobatan patang tulang Haji Naim. Foto: Jamal Ramadhan/kumparan
ADVERTISEMENT
Hari itu, sebuah rumah di Jakarta Selatan tampak ramai. Masyarakat mengantre untuk mendapatkan pengobatan patah tulang dan terkilir.
ADVERTISEMENT
Di Pijat Haji Naim yang berdiri sejak 1960, orang-orang dari berbagai kalangan datang untuk pengobatan. "Saya datang dari Tangerang. Tahu pengobatan ini dari teman dan sudah beberapa kali ngantar," ucap Faris (29) sehabis jari kirinya yang retak dipijat.
Hasil scan rontgen pasien yang datang ke pengobatan patah tulang Haji Naim. Foto: Jamal Ramadhan/kumparan
Haji Naim merupakan pemijat generasi pertama dari pengobatan tradisional itu hingga dia meninggal dunia karena darah tinggi pada 1981.
Sebelum Haji Naim meninggal, anak-anaknya mulai belajar memijat ke daerah Cimande, Bogor, untuk meneruskan praktik pengobatan di rumah. Banyak pasien yang sembuh setelah datang dipijat, sehingga membuat nama "Pijat Haji Naim" melegenda di Jakarta.
(Ki-Ka) Hasan, eka, Kosasih, dan Agus yang merupakan beberapa penerus pengobatan patah tulang Haji Naim. Foto: Jamal Ramadhan/kumparan
Foto wajah Haji Naim yang dibersihkan. Foto: Jamal Ramadhan/kumparan
Praktik itu buka setiap hari, mulai pukul 05.30 hingga pukul 23.00 WIB. Tiap hari Kamis, pemijat melakukan pengajian Al-Quran, sehingga praktik tutup sementara pada pukul 18.00 dan kembali buka pada pukul 21.00. Pijat di tempat tersebut menggunakan minyak khas Cimande dan penyangga yang terbuat dari bambu untuk pasien yang mengalami patah tulang.
Pemijat memijat salah satu pasien. Foto: Jamal Ramadhan/kumparan
Menurut salah satu penerus, Kosasih (50), banyak pasien dari rumah sakit meneruskan pengobatan ke Pijat Haji Naim karena tidak repot dalam urusan administrasi serta biaya pengobatan yang seikhlasnya.
ADVERTISEMENT
"Dalam sehari sekitar seratus sampai dua ratusan pasien datang kemari. Apalagi Sabtu (dan) Minggu, bisa hampir tiga ratus," ujar Kosasih.
Tempat pengobatan itu menyediakan ruang rawat inap sederhana dengan sejumlah ranjang dan bantal seadanya untuk pasien yang mengalami luka berat.
Sejak beroperasi tahun 1960-an, pengobatan ini tak banyak berubah, baik dari segi tempat maupun proses pengobatan. Meski begitu, pengobatan ini tetap diminati di tengah inovasi pengobatan modern.
Ruang rawat inap di pengobatan patah tulang Haji Naim. Foto: Jamal Ramadhan/kumparan
Beberapa alat yang digunakan untuk menangani patah tulang di pengobatan patah tulang Haji Naim. Foto: Jamal Ramadhan/kumparan
Banyak pasien datang membawa hasil scan rontgen dari rumah sakit atau klinik ortopedi. "Saya bawa rontgen biar pemijatnya lihat kondisi tulangnya. Soalnya ngeri juga kalau salah pijat," ucap Heri (34), pasien yang datang dari Bekasi.
Teriakan kesakitan pasien berbaur dengan senyum pasien yang sembuh, humor, dan keakraban para pemijat dengan pasien mengiringi perjalanan Pijat Haji Naim. Kesederhanaan itulah yang menjadi jati diri tempat pengobatan ini sejak berdiri hingga kini.
Data jumlah pasien yang ditangani masing-masing pemijat. Foto: Jamal Ramadhan/kumparan
Pasien mengembuskan asap di ruang rawat inap patah tulang Haji Naim. Foto: Jamal Ramadhan/kumparan
Pasien berbaring di ruang rawat inap. Foto: Jamal Ramadhan/kumparan
Ekspresi pasien ketika dipijat. Foto: Jamal Ramadhan/kumparan
Foto berbingkai Haji Naim (kiri) dan guru-gurunya. Foto: Jamal Ramadhan/kumparan
ADVERTISEMENT