Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.94.0
Hakim Konstitusi Aswanto Dicopot DPR, Jimly hingga Mahfud MD Datangi Gedung MK
1 Oktober 2022 17:53 WIB
·
waktu baca 3 menitADVERTISEMENT
Sejumlah eks hakim Konstitusi mendatangi Gedung Mahkamah Konstitusi (MK). Kedatangan mereka tak terlepas dari polemik pencopotan Hakim Konstitusi Aswanto oleh DPR.
ADVERTISEMENT
Mereka yang hadir termasuk Jimly Asshiddiqie, Mahfud MD, Hamdan Zoelva, Maruarar Siahaan. Tiga nama pertama ialah para mantan Ketua MK.
Selain mereka, ada beberapa mantan Hakim Konstitusi yang hadir secara virtual. Termasuk Laica Marzuki dari Makassar, Harjono dari Surabaya, Sodiki dari Malang, Maria dari UI, dan Palguna dari Bali.
Mereka diterima oleh Guntur Hamzah. Guntur Hamzah ialah Sekjen MK yang dipilih DPR untuk menggantikan Aswanto.
Pertemuan diadakan secara tertutup kurang lebih 2,5 jam. Usai pertemuan, Jimly mengatakan pemberhentian Aswanto sangat menuai perhatian. Sehingga, mereka butuh penjelasan terkait hal tersebut.
"Karena keputusan rapat resmi, sidang paripurna DPR RI yang memberhentikan Profesor Aswanto sebagai Hakim (Konstitusi) yang demikian juga berhenti sebagai Wakil Ketua MK, dan mengangkat Profesor Guntur menjadi Hakim MK pengganti," kata Jimly, Sabtu (1/10).
DPR menyatakan Aswanto tidak diperpanjang masa jabatannya selaku Hakim Konstitusi. Melalui rapat paripurna, DPR kemudian menyatakan Aswanto diganti oleh Guntur Hamzah yang saat ini merupakan Sekjen MK. Padahal masa jabatan Aswanto baru selesai pada 2029.
ADVERTISEMENT
Pencopotan ini berawal dari adanya surat dari MK. Isi surat itu berisi konfirmasi pemberitahuan bahwa dengan adanya UU baru, maka ada Hakim Konstitusi yang bertambah masa jabatannya.
Namun, DPR kemudian memutuskan mengganti Aswanto dari total 3 Hakim Konstitusi usulan Senayan. Dua hakim lainnya yakni Arief Hidayat dan Wahidudin Adams tetap menjabat.
"Nah, ini kami tadi bertemu, karena para mantan ini konsen dengan masalah ini Maka semua dengan waktu mendadak kita bikin. Sebab kalau terlalu telat, Senin, Selasa, kita mau cepat-cepat," lanjutnya.
Dalam pertemuan itu, Ketua MK Anwar Usman tak dapat hadir karena tengah berada di NTB. Ia menyebut, klarifikasi bisa diberikan oleh Guntur yang ditunjuk sebagai pengganti Aswanto.
"Saya bilang, karena ketuanya tidak ada dengan Sekjen saja. Karena kita juga perlu klarifikasi dengan Sekjen kan, karena dia yang menjadi pengganti," kata dia.
ADVERTISEMENT
Menurut Jimly, pergantian yang dilakukan DPR itu sama saja seperti pemberhentian. Sebab, Aswanto masih menjabat 2029.
Jimly menyebut bahwa pemberhentian Hakim Konstitusi sudah diatur dalam UU. Termasuk dalam hal meninggal, mengundurkan diri, atau selesai masa jabatan.
Dengan adanya kekosongan itu, secara prosedur, MK akan menyurati lembaga pengusul, yakni DPR, Pemerintah, atau MK. Untuk dilakukan pemilihan mengisi kekosongan. Secara bersamaan, pemberhentian juga disampaikan MK kepada Presiden untuk diterbitkan Keppres.
Sehingga yang dilakukan DPR dinilai melanggar aturan. Sebab, surat dari MK ke DPR hanya berupa konfirmasi pemberitahuan adanya perpanjangan masa jabatan. Bukan terkait kekosongan jabatan.
"Jadi kesimpulan kami pertama, ini jelas melanggar UUD, UUD sudah tegas mengatur," kata Jimly.
Setelah berbincang dengan pihak MK, Jimly pun meyakini ada kesalahpahaman DPR membaca surat dari MK.
ADVERTISEMENT
"Ini salah paham dalam memahami isi suratnya MK," kata dia.
Hal serupa disampaikan Hamdan Zoelva. Menurut dia, prosedur pemberhentian hakim dilakukan Ketua MK ke lembaga terkait.
"Bahkan ada jangka waktunya, 6 bulan," ujar dia.
Selain itu, merujuk pada UU baru MK, Hakim Konstitusi bisa menjabat sampai umur 70 tahun atau total 15 tahun masa tugas.
"Kalau ada pemberhentian demikian sebelum mencapai usia atau masa jabatan itu, itu adalah pemberhentian karena meninggal dunia, karena mengundurkan diri atau diberhentikan karena banyak alasan-alasan antara lain pelanggaran etik, pelanggaran hukum dan sebagainya. Nah, ini tidak ada satu pun terpenuhi," papar Hamdan.
"Karena itu kami melihat, baik dari aspek prosedur maupun materil, pemberhentian itu bertentangan dengan UU," pungkasnya.
ADVERTISEMENT