Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.88.1
Hakim MK: Jika UU Perkawinan Direvisi, Pertimbangkan Nikah Beda Agama
1 Februari 2023 12:43 WIB
·
waktu baca 4 menitADVERTISEMENT
Mahkamah Konstitusi (MK) menolak gugatan UU terkait perkawinan beda agama yang diajukan oleh E. Ramos Petege. Permohonan tersebut dinilai tidak beralasan menurut hukum.
ADVERTISEMENT
Kesembilan hakim MK bulat menolak gugatan tersebut dalam sidang yang digelar kemarin, Selasa (31/1). Namun ada alasan berbeda yang disampaikan oleh hakim Suhartoyo dalam penolakannya.
Suhartoyo menyebut berdasarkan data yang dihimpun Indonesian Conference on Religion and Peace (ICRP), sejak 2005 hingga 2022 terdapat 1.425 pasangan beda agama yang melangsungkan perkawinan di Indonesia.
Fakta tersebut, kata Suhartoyo, seolah menjawab fenomena banyaknya warga negara Indonesia yang melakukan penyelundupan hukum perkawinan dalam konteks perkawinan beda agama melalui cara-cara yang kemudian dapat dilegalkan secara administrasi kependudukan.
Cara-cara tersebut, yakni dengan melangsungkan perkawinan di luar negeri; manipulasi agama dengan cara melakukan perpindahan agama secara sementara untuk menikah; dan mengajukan penetapan pengadilan.
"Dalam konteks penegakan UU Perkawinan, fenomena perkawinan beda agama tersebut di atas seolah-olah terjadi karena ‘kurang atensinya’ negara yang tidak mengakui dan menganggap 'tidak sah secara agama' terhadap perkawinan beda agama, karena legalisasi perkawinan menurut hukum sipil hanyalah berupa pencatatan administrasi," kata Suhartoyo dalam pertimbangan dalam salinan putusan MK permohonan nomor 24/PUU-XX/2022 dari situs MK, Rabu (1/2).
Menurut Suhartoyo, dengan adanya bentuk ketidakpastian hukum demikian, seharusnya negara hadir untuk menyelesaikan permasalahan tersebut, melalui perubahan UU Perkawinan. Sebab saat UU Perkawinan terbit pada 1974, kata Suhartoyo, belum ada kondisi sosial dan dinamika kehidupan yang kompleks seperti saat ini.
ADVERTISEMENT
Jika dilakukan revisi atau perubahan atas UU Perkawinan itu, Suhartoyo menyebut perlu dipertimbangkan soal pernikahan beda agama di dalamnya.
"Tentunya dengan menyesuaikan dinamika sosial dan hal-hal lain terkait yang terjadi dalam kehidupan masyarakat, dengan tentunya menyeimbangkan kebebasan beragama di satu sisi dan mengakomodir fenomena perkawinan beda agama dan tata cara pencatatannya secara bijak pada sisi yang lain," kata Suhartoyo.
Berikut pertimbangan Hakim Konstitusi Suhartoyo:
Dalam konteks penegakan UU Perkawinan, fenomena perkawinan beda agama tersebut di atas seolah-olah terjadi karena ‘kurang atensinya’ negara yang tidak mengakui dan menganggap “tidak sah secara agama” terhadap perkawinan beda agama, karena legalisasi perkawinan menurut hukum sipil hanyalah berupa pencatatan administrasi.
Oleh karena itu, adanya bentuk ketidakpastian hukum demikian seyogyanya negara hadir untuk menyelesaikan permasalahan terkait, melalui adanya pembangunan atau perubahan UU Perkawinan yang pada saat diterbitkan pada tahun 1974 tentu kondisi sosial dan dinamika kehidupan masyarakat belum sekompleks saat ini.
ADVERTISEMENT
Terlebih, pada perubahan UU Perkawinan dalam UU Nomor 16 Tahun 2019 hanyalah mengubah norma mengenai batas usia kawin sebagai implikasi dari putusan MK Nomor 22/PUU-XV/2017.
Dengan demikian, fenomena perkawinan beda agama a quo negara perlu untuk mempertimbangkan agar kiranya pada masa yang akan datang jika akan dilakukan revisi terhadap UU Perkawinan dimaksud, memberikan atensi penyelesaian secara komprehensif, baik terkait dengan jalan keluar atas keabsahan dari hukum agama/kepercayaannya, maupun dalam hal mengakomodir akibat hukum pencatatannya.
Adapun substansi perubahan dimaksud, tentunya dengan menyesuaikan dinamika sosial dan hal-hal lain terkait yang terjadi dalam kehidupan masyarakat, dengan tentunya menyeimbangkan kebebasan beragama di satu sisi dan mengakomodir fenomena perkawinan beda agama dan tata cara pencatatannya secara bijak pada sisi yang lain.
ADVERTISEMENT
Sebab, sejatinya saat ini yang terjadi secara faktual akibat hukum perkawinan beda agama adalah sekadar pengakuan oleh negara secara administrasi saja.
Latar Belakang Permohonan yang Ditolak MK
Dalam gugatannya, Ramos yang merupakan Katolik hendak menikah dengan perempuan beragama Islam. Tetapi harus dibatalkan karena tidak diakomodasi dalam UU perkawinan soal pernikahan beda agama.
Dia merasa hak-hak konstitusionalnya dirugikan karena tidak dapat melangsungkan perkawinan tersebut.
Namun MK menolak gugatan tersebut. MK menyatakan tidak menemukan adanya perubahan keadaan dan kondisi atau pun perkembangan baru terkait dengan persoalan konstitusionalitas keabsahan dan pencatatan perkawinan.
Sehingga tidak terdapat urgensi bagi MK untuk bergeser dari pendirian atas putusan sebelumnya. MK setidaknya sudah dua kali menolak gugatan yang serupa.
ADVERTISEMENT
"Mahkamah tetap pada pendiriannya terhadap konstitusionalitas perkawinan yang sah adalah yang dilakukan menurut agama dan kepercayaan perkawinan yang sah adalah yang dilakukan menurut agama dan kepercayaan serta setiap perkawinan harus tercatat sesuai dengan peraturan perundang-undangan," kata hakim MK.
Dalil Ramos yang berkenaan dengan Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) serta pasal 8 huruf f UU 1/1974 dinilai tidak beralasan menurut hukum.
Kemudian, mengenai norma Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2), serta pasal 8 huruf f UU 1/1974 dinilai oleh MK tidak bertentangan dengan prinsip jaminan hak memeluk agama dan beribadah menurut agama dan kepercayaannya.
Kemudian tidak bertentangan dengan hak persamaan kedudukan di dalam hukum dan pemerintahan, hak untuk hidup dan bebas dari perlakuan diskriminatif, hak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan, hak atas pengakuan jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.
ADVERTISEMENT
"Dengan demikian permohonan pemohon tidak beralasan menurut hukum untuk seluruhnya," kata hakim MK.