Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
Meski demikian, putusan tersebut tidak bulat. Dari 9 hakim MK, salah satu di antaranya yakni Hakim Wahiduddin Adams, memiliki pendapat berbeda (dissenting opinion). Hakim Wahiduddin menilai revisi UU KPK yang terjadi seperti membuat UU baru untuk KPK.
"Tibalah saya pada keyakinan dan pendirian yang sama dengan keterangan ahli Bagir Manan dalam persidangan yang pada pokoknya menyatakan bahwa yang dilakukan oleh pembentuk UU melalui UU a quo, sejatinya adalah membentuk 'sebuah UU baru tentang KPK', meskipun UU a quo secara kasat mata terlihat seolah-olah terbatas sekadar membentuk 'sebuah UU perubahan KPK'," ujar Hakim Wahiduddin dalam pertimbangan hukumnya di ruang sidang MK, Jakarta.
Hakim Wahiduddin berpendapat revisi UU KPK merupakan UU baru lantaran banyak substansi yang berubah dibanding UU sebelumnya, UU 30/2002.
"Beberapa perubahan ketentuan mengenai KPK dalam UU a quo secara nyata telah mengubah postur, struktur, arsitektur, dan fungsi KPK secara fundamental," ucapnya.
ADVERTISEMENT
Terlebih menurut Wahiduddin, proses revisi tersebut dilakukan secara singkat dan dalam momentum yang spesifik.
Momentum yang dimaksud Wahiduddin yakni proses revisi UU KPK dilakukan saat hasil Pilpres dan Pileg sudah diketahui, serta pengesahannya dilakukan hanya beberapa hari menjelang berakhirnya anggota DPR periode 2014-2019, dan beberapa minggu menjelang berakhirnya pemerintahan Presiden Jokowi periode pertama.
"Suatu pembentukan UU yang dilakukan dalam jangka waktu yang relatif sangat singkat dan dilakukan pada momentum spesifik yang mengundang pertanyaan besar memang tidaklah secara langsung menyebabkan UU tersebut inkonstitusional dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat," kata Wahiduddin.
"Namun, singkatnya waktu pembentukan UU a quo jelas berpengaruh secara signifikan terhadap sangat minimnya partisipasi masyarakat, sangat minimnya masukan yang diberikan oleh masyarakat secara tulus dan berjenjang (bottom up) dan dari para supporting system yang ada baik dari sisi Presiden maupun DPR, serta sangat minimnya kajian dampak analisis terhadap pihak (khususnya lembaga) yang akan melaksanakan ketentuan UU a quo (in casu KPK)" lanjutnya.
ADVERTISEMENT
Sehingga Hakim Wahiduddin menyatakan berbagai kondisi tersebut mengarah pada nihilnya jaminan konstitusionalitas revisi UU KPK.
Atas argumen-argumen tersebut, Hakim Wahiduddin menilai bahwa MK seharusnya membatalkan UU KPK hasil revisi.