Hakim Pemvonis Bebas Ronald Tannur Bantah Terima Gratifikasi: Warisan

24 Desember 2024 17:40 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tiga Hakim PN Surabaya yang vonis bebas Ronald Tannur menjalani sidang pembacaan surat dakwaan di Pengadilan Tipikor Jakarta, Selasa (24/12/2024). Foto: Fadhil Pramudya/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Tiga Hakim PN Surabaya yang vonis bebas Ronald Tannur menjalani sidang pembacaan surat dakwaan di Pengadilan Tipikor Jakarta, Selasa (24/12/2024). Foto: Fadhil Pramudya/kumparan
ADVERTISEMENT
Salah satu Hakim Pengadilan Negeri (PN) Surabaya, Heru Hanindyo, meminta Majelis Hakim memerintahkan kepada Jaksa Penuntut Umum (JPU) agar safe deposit box (SDB) yang disita oleh penyidik dikembalikan kepadanya.
ADVERTISEMENT
Heru membantah bahwa SDB itu berisi uang yang disimpan untuk menerima gratifikasi. Menurutnya, SDB tersebut justru berisi warisan dari orang tuanya.
Hal itu diungkapkannya saat menjalani sidang perdana atau pembacaan surat dakwaan terkait vonis bebas Ronald Tannur, di Pengadilan Tipikor Jakarta, Selasa (24/12).
Adapun dalam persidangan, Heru didakwa menerima suap dan gratifikasi. Untuk suap, Heru didakwa bersama dua hakim PN Surabaya lainnya, yakni Erintuah Damanik dan Mangapul, sebesar Rp 4,6 miliar.
Untuk gratifikasi, setiap Hakim berbeda-beda. Gratifikasi diterima Heru berupa uang dalam bentuk uang rupiah dan mata uang asing. Jumlahnya ditaksir mencapai Rp 835,5 juta.
Jaksa menyebut, uang yang diterima Heru Hanindyo tersebut disimpan dalam safe deposit box (SDB) di Bank Mandiri Kantor Cabang Cikini Jakarta Pusat dan di rumahnya.
ADVERTISEMENT
"Ada hal yang ingin saya sampaikan bahwa terhadap dakwaan dan yang kumulatif dari penuntut umum, di situ adalah yang bersumber dari SDB, adalah SDB merupakan peninggalan dari orang tua yang diatasnamakan berdua sebagai ahli waris kepada kedua anak laki-laki, yaitu saya dan kakak saya Arief Budiharsono," kata Heru di persidangan, Selasa (24/12).
Dalam persidangan itu, Heru pun memaparkan isi SDB yang disita oleh penyidik darinya.
"Di situ penyidik membuka SDB, kemudian tanpa memberitahukan dan tidak memberikan kepada kami yang mana di dalamnya itu adalah ada surat-surat kepegawaian dari orang tua dan surat-surat kepegawaian saya, ijazah satu keluarga, orang tua dan kakak-kakak, dan termasuk saya, kemudian surat-surat tanah," ucap dia.
"Yang sampai dengan saat ini, saya pribadi tidak diberikan. Sementara itu, semuanya harta waris termasuk uang yang disebutkan," lanjut dia.
ADVERTISEMENT
Lebih lanjut, Heru juga mengaku tidak menerima berita acara penggeledahan yang dilakukan penyidik Jampidsus Kejagung. Menurutnya, hal itu yang membuatnya mengajukan praperadilan.
Namun, praperadilan itu justru diputuskan gugur oleh hakim tunggal PN Jakarta Selatan lantaran Kejagung telah melimpahkan berkas perkara ke PN Jakarta Pusat.
"Saya mohon Yang Mulia, sejak pertama dilakukan penggeledahan, saya pun tidak diberikan surat berita acara, penggeledahan, dan penyitaan yang diberikan," tuturnya.
"Berita penyitaan, penyegelannya pun tidak diberikan kepada saya maupun keluarga. Demikianlah yang disebutkan di dakwaan kumulatif. SDB itu adalah murni semuanya adalah harta waris," ungkap dia.
Oleh karenanya, Heru pun meminta Majelis Hakim memerintahkan JPU untuk mengembalikan SDB miliknya.
"Sisanya tidak diberikan kepada kami. Surat-surat tanah, ijazah, perhiasan orang tua. Demikian, Yang Mulia," imbuhnya.
ADVERTISEMENT
"Sekiranya bisa ditekankan para penuntut umum untuk kembalikan, karena itu semuanya adalah budel waris yang belum dibagi waris," pungkas dia.
Sementara itu, Hakim PN Surabaya lainnya yang juga menjadi terdakwa dalam kasus ini, Erintuah Damanik, turut menjelaskan ihwal sisa uang SGD 30.000 yang diterima dari pengacara Ronald Tannur, Lisa Rachmat.
Adapun dalam dakwaannya, jaksa menyebut bahwa Erintuah menerima uang sejumlah SGD 140.000 dengan pecahan SGD 1.000 dari Lisa Rachmat. Penyerahan uang itu terjadi di Gerai Dunkin Donuts Bandara Jenderal Ahmad Yani Semarang, pada awal Juni 2024.
Usai uang tersebut diterima, Erintuah pun sepakat untuk membagi-bagikan uang itu bersama Heru Hanindyo dan Mangapul. Pembagian uang suap itu terjadi di ruang kerja hakim.
ADVERTISEMENT
Rinciannya, masing-masing untuk Terdakwa Heru Hanindyo sebesar SGD 36.000, untuk Erintuah Damanik sebesar SGD 38.000, dan untuk Mangapul sebesar SGD 36.000.
Sedangkan, sisanya sebesar SGD 30.000 disimpan oleh Erintuah Damanik. Akan tetapi, jaksa justru tak menjelaskan lebih lanjut keperluan uang itu disimpan untuk apa. Erintuah pun menjelaskan perihal dakwaan tersebut.
"Sebenarnya, di dalam keterangan saya, saya sebutkan bahwa itu ada kepentingan untuk apa, makanya [uang itu] ada sama saya," kata Erintuah dalam kesempatan yang sama.
"Saya simpan dan nanti akan kita kemukakan di persidangan," sambungnya.
Adapun ketiga Hakim PN Surabaya itu didakwa menerima suap sebesar Rp 4,6 miliar, dengan rincian Rp 1 miliar dan SGD 308.000 atau setara dengan Rp 3.671.446.240 (Rp 3,6 miliar).
ADVERTISEMENT
Tak hanya itu, mereka juga didakwa menerima gratifikasi terkait pengaturan vonis bebas terhadap Ronald Tannur. Jumlah gratifikasi yang diterima masing-masing hakim tersebut beragam.

Berikut Rincian Gratifikasi Ketiga Hakim

Erintuah Damanik

Erintuah didakwa menerima gratifikasi berupa uang dalam bentuk mata uang rupiah dan mata uang asing. Jumlahnya ditaksir mencapai Rp 608,8 juta. Berikut rinciannya:

Heru Hanindyo

Heru Hanindyo didakwa menerima gratifikasi berupa uang dalam bentuk mata uang rupiah dan mata uang asing yang jumlahnya ditaksir mencapai Rp 835,5 juta. Berikut rinciannya:
ADVERTISEMENT

Mangapul

Hakim Mangapul juga didakwa menerima gratifikasi dalam bentuk uang rupiah dan mata uang asing. Jumlahnya ditaksir mencapai Rp 125,4 juta. Berikut rinciannya:
Akibat perbuatannya, ketiga Hakim PN Surabaya didakwa melanggar Pasal 12 huruf c atau Pasal 6 ayat (2) atau Pasal 5 ayat (2) juncto Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Mereka juga didakwa melanggar Pasal 12B juncto Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
ADVERTISEMENT