news-card-video
23 Ramadhan 1446 HMinggu, 23 Maret 2025
Jakarta
chevron-down
imsak04:10
subuh04:25
terbit05:30
dzuhur11:30
ashar14:45
maghrib17:30
isya18:45

Hakim PN Jayapura Vonis Bebas Polisi Terdakwa Kasus Pencabulan Anak

22 Maret 2025 14:28 WIB
·
waktu baca 7 menit
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi palu sidang diketuk tanda putusan hakim dijatuhkan. Foto: Shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi palu sidang diketuk tanda putusan hakim dijatuhkan. Foto: Shutterstock
ADVERTISEMENT
Seorang polisi berpangkat Brigadir Dua berinisial AFH divonis bebas oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri (PN) Jayapura dalam kasus pencabulan anak.
ADVERTISEMENT
AFH merupakan terdakwa kasus pencabulan anak di Keerom, Papua, yang terjadi pada 2022 lalu.
Putusan itu diketok oleh Ketua Majelis Hakim Zaka Talpatty dan dua orang hakim anggota yakni Korneles Waroi dan Ronald Lauterboom. Putusan perkara nomor 329/Pid.Sus/2024/PN Jap itu dibacakan pada Senin, 20 Januari 2025 lalu.
"Menyatakan Terdakwa tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana sebagaimana yang didakwakan Penuntut Umum dalam dakwaan alternatif kesatu maupun dakwaan alternatif kedua," ujar Hakim Zaka dalam amar putusannya, dikutip Sabtu (22/3).
"Membebaskan Terdakwa oleh karena itu dari seluruh dakwaan tersebut," lanjutnya.
Merujuk dakwaan, peristiwa tersebut terjadi saat AFH mendatangi rumah korban dan bertemu dengan kakak kandung korban pukul 8 malam. Kala itu AFH dan kakak korban berpacaran.
ADVERTISEMENT
Keduanya kemudian pindah tempat duduk ke Kedai, yang berada di depan rumah dan masih dimiliki keluarga korban. Saat itu, korban masih berusia 5 tahun ikut. Tak lama, sang kakak kemudian pergi ke kios untuk membeli sesuatu.
Menurut dakwaan, AFH langsung pindah tempat duduk di sebelah korban. Dia kemudian menutup mulut korban lalu melakukan kekerasan seksual.
Ilustrasi polisi. Foto: Shutterstock
Atas perbuatannya, AFH kemudian dijerat sebagai tersangka lalu disidang sebagai terdakwa. Jaksa menuntutnya 12 tahun penjara karena dinilai terbukti melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan, memaksa anak untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul. Sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76E Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Jo Pasal 82 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2016 tentang Penetapan PERPU Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perlindungan Anak.
ADVERTISEMENT
Sementara AFH pun dalam pemeriksaan terdakwa membantah adanya kekerasan seksual. Dia mengaku hanya memelototi korban lantaran mencoba mengambil hp milik kakaknya. Kala itu, saat kakak korban ke kios, hp-nya dipegang oleh AFH.

Pertimbangan Hakim

Ilustrasi meja pengadilan. Foto: ANTARA FOTO/Akbar Nugroho Gumay
Majelis Hakim kemudian menjatuhkan vonis bebas terhadap AFH. AFH dinilai tak terbukti melakukan perbuatan sebagaimana dakwaan.
Dalam pertimbangannya, Majelis Hakim menilai AFH tidak terbukti melakukan pencabulan terhadap korban. Sebab, tidak ada saksi yang mengetahui langsung peristiwa tersebut. Baik kakak maupun orang tua korban.
Hakim menyebut bahwa keterangan hanya berasal dari korban. Yang kemudian disampaikan kepada kakak korban.
Majelis Hakim menyebut, bahwa orang tua korban juga baru mengetahui peristiwa tersebut dari kakak kandung korban, di mana sang kakak juga hanya mendapat penjelasan atau keterangan tentang kejadian tersebut dari korban.
ADVERTISEMENT
Dengan kata lain, lanjut Majelis Hakim, kakak kandung dan orang tua korban tidak mengetahui secara langsung kejadian tersebut.
"Bahwa dari pertimbangan-pertimbangan di atas, nyatalah bahwa kesaksian anak korban, dalam hal ini merupakan satu-satunya alat bukti bagi adanya unsur perbuatan pidana di atas in casu unsur 'melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan'," ungkap hakim dalam pertimbangannya.
Berdasarkan hal tersebut dan merujuk pada Pasal 183 KUHAP yang pada pokoknya menyatakan bahwa hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang tanpa adanya keyakinan terpenuhinya minimal dua alat bukti yang sah.
"Atau, dengan kata lain, 'keterangan seorang saksi saja tanpa adanya alat bukti lain yang mendukung kebenaran kesaksian tersebut, haruslah dipandang tidak cukup untuk membuktikan adanya Unsur Kekerasan atau Ancaman Kekerasan'," jelas hakim.
ADVERTISEMENT
Dengan pertimbangan tersebut, Majelis Hakim menilai bahwa peristiwa pencabulan tersebut tidak dapat dibuktikannya secara menyeluruh. Sehingga, Majelis Hakim menyatakan bahwa AFH harus dinyatakan tidak bersalah atau tidak terbukti melakukan perbuatan pidana sebagaimana didakwakan jaksa penuntut umum (JPU) kepadanya.
"Menimbang, bahwa dengan tidak terbuktinya dakwaan penuntut umum baik dakwaan alternatif kesatu maupun dakwaan alternatif kedua terhadap perbuatan Terdakwa, maka Terdakwa haruslah dibebaskan dari dakwaan dimaksud dan harus pula memerintahkan Penuntut Umum untuk membebaskan atau mengeluarkan Terdakwa dari tahanan," imbuh hakim.

Anggota DPR Soroti Vonis Bebas, Cium Ada Ketidakberesan

Wakil Ketua Komisi XIII DPR RI Andreas Hugo Pareira menyoroti vonis bebas yang dijatuhkan oleh Majelis Hakim PN Jayapura.
Ia menilai putusan pengadilan dalam kasus pencabulan oleh polisi tersebut justru menimbulkan keprihatinan dalam penegakan hukum dan perlindungan hak-hak anak di Indonesia.
ADVERTISEMENT
“Kasus ini mencerminkan bahwa aparat penegak hukum masih belum serius dalam menangani kejahatan seksual terhadap anak, meskipun telah ada Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak dan UU Nomor 12 tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual,” kata Andreas Hugo Pareira, dalam keterangannya kepada wartawan, Sabtu (22/3).
Ia menilai bahwa putusan tersebut juga telah mencederai keadilan dan tidak mendukung hak asasi manusia yang di dalamnya terdapat hak-hak anak.
Menurutnya, pengadilan perlu mempertimbangkan status terdakwa sebagai anggota kepolisian yang seharusnya menjadi pelindung masyarakat. Dengan putusan bebas kepada pelaku kekerasan seksual, pengadilan justru dinilai tidak mendukung perlindungan terhadap anak yang masuk dalam kelompok rentan.
“Di saat terdakwa telah mencoreng citra institusi kepolisian karena perilakunya, pengadilan pun ikut tidak berpihak kepada korban lewat proses peradilan yang penuh ketidakadilan,” tutur dia.
ADVERTISEMENT
Ia juga menilai bahwa putusan tersebut makin menunjukkan ketidakpercayaan publik terhadap lembaga peradilan.
Untuk itu, kata dia, pengawasan terhadap lembaga peradilan mesti diperkuat. Hal itu untuk memastikan bahwa putusan yang diambil telah berdasarkan fakta dan keadilan alih-alih karena intervensi.
“Putusan hakim pada kasus ini semakin menimbulkan ketidakpercayaan publik terhadap aparat penegak hukum. Tentunya harus menjadi perhatian kita bersama untuk sama-sama bisa mengawal kasus ini hingga tuntas,” bebernya.
Andreas juga menekankan pentingnya penegakan hukum yang memprioritaskan pada perlindungan hak-hak korban, terutama yang melibatkan anak-anak.
Ia pun berharap Komnas HAM ikut terlibat mengawal kasus tersebut demi memastikan hak-hak korban benar-benar terpenuhi.
Lebih lanjut, Andreas menyebut perlindungan HAM bagi anak korban kekerasan seksual juga diatur dalam UU TPKS. Mulai dari hak atas pendampingan, hak restitusi, hak pemulihan, hak bebas dari pertanyaan yang menjerat, hak memberikan keterangan tanpa tekanan, hak atas layanan hukum, hak atas penguatan psikologis, hak atas pelayanan kesehatan, dan hak atas layanan dan fasilitas sesuai dengan kebutuhan khusus korban.
ADVERTISEMENT
“Semua ini harus bisa dipenuhi oleh negara, termasuk dalam proses hukum yang ada. Selain soal penegakan keadilan, pemenuhan hak-hak ini yang semestinya menjadi pertimbangan dalam mengusut kasus kekerasan seksual,” tegasnya.
Ia juga menekankan bahwa kasus tersebut mesti menjadi refleksi semua pihak untuk terus memperjuangkan keadilan dan perlindungan bagi anak-anak.
“Serta, memastikan bahwa sistem peradilan berjalan sesuai dengan prinsip-prinsip keadilan, transparansi, dan berfokus pada pemenuhan HAM,” pungkasnya.

Duduk Perkara

Adapun kasus ini bermula saat munculnya tuduhan pencabulan terhadap korban di Kabupaten Keerom, Papua, pada 2022 lalu.
Saat itu, korban masih berusia 5 tahun. Kejadian tersebut kemudian dilaporkan kepada kakaknya. Terkait hal itu, keluarga korban kemudian melaporkan kasus ini ke Polda Papua pada 2023.
ADVERTISEMENT
Namun, kedua belah pihak sempat menyelesaikan kasus ini secara damai dengan pemberian biaya pengobatan korban yang sempat mengeluh mengalami sakit.
Biaya pengobatan yang disepakati kedua pihak yakni sebesar Rp 80 juta, dengan diberikan dalam tiga kali pembayaran. Saat itu, kesepakatan damai difasilitasi oleh pihak Kepolisian Polres Keerom.
Akan tetapi, setelah kesepakatan damai itu, ibu korban justru menerima laporan kalau dirinya difitnah oleh orang tua terdakwa. Atas hal itu, keluarga kembali melanjutkan kasus tersebut dan melaporkan ke kepolisian.
Proses persidangan kemudian mulai bergulir di Pengadilan Negeri Jayapura pada 2024, kemudian hakim mengucapkan putusannya pada Januari 2025.
Dalam kasus itu, AFH didakwa melakukan pencabulan terhadap anak sejak 2022 dan melanggar Pasal 76 E Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak juncto Pasal 82 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2016 tentang Penetapan Perppu Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perlindungan Anak menjadi Undang-Undang atau Pasal 6 huruf (b) juncto Pasal 4 Ayat (2) huruf (c) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual.
ADVERTISEMENT
Jaksa Penuntut Umum (JPU) kemudian menuntut AFH dihukum 12 tahun penjara. Tak hanya itu, AFH juga dituntut pidana denda sebesar Rp 200 juta subsider 6 bulan kurungan.
Namun, AFH kemudian divonis bebas Hakim PN Jayapura. Jaksa kemudian mengajukan kasasi.