Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.102.2
Hakim Saldi soal Gugatan Bernadya-Raisa: Sudah Benar Dibawa ke Sini
24 April 2025 22:19 WIB
·
waktu baca 8 menit
ADVERTISEMENT
Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi (MK), Saldi Isra, memberikan komentar terhadap gugatan yang dilayangkan oleh Nazril Irham alias Ariel dan 28 penyanyi lainnya terkait Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta.
ADVERTISEMENT
Menurutnya, gugatan yang diajukan ke MK mesti disampaikan secara jelas, baik terkait pasal yang digugat dan dinilai bertentangan maupun alasan gugatan.
Saat itu, Saldi pun menyentil Ariel dkk selaku Pemohon agar tidak hanya bernyanyi dengan jelas, namun juga mesti menyampaikan gugatan ke MK dengan jelas.
"Jadi, kalau yang kita minta, yang kita persoalkan tidak jelas, apa yang mau diterangkan oleh orang lain?" kata Saldi saat memberikan tanggapannya terhadap gugatan Ariel dkk, di Ruang Sidang MK, Jakarta, Kamis (24/4).
"Jangan nyanyi aja yang jelas. Nah, ini menjelaskan permohonan ke MK harus jelas juga," lanjutnya.
Saldi menekankan, bahwa setiap gugatan yang didaftarkan ke MK mesti dijelaskan secara gamblang untuk meyakinkan Hakim Konstitusi apakah gugatan tersebut perlu dilanjutkan atau tidak.
ADVERTISEMENT
Pasalnya, kata dia, setelah Pemohon menyampaikan pokok-pokok permohonan, sembilan Hakim Konstitusi akan berdebat untuk menentukan nasib gugatan yang didaftarkan tersebut.
Diskusi antar hakim tersebut, lanjutnya, mulai dari apakah gugatan tersebut merupakan kewenangan mahkamah atau tidak, apakah para Pemohon memiliki legal standing atau tidak, atau substansi gugatan cukup diputus tanpa perlu pleno atau tidak.
"Kalau misalnya semuanya mengatakan, 'ah ini kita sudah paham ini, tidak perlu ke pleno', nah ini naskahnya kita putus sendiri tanpa mendengarkan pembentuk undang-undang," tutur Saldi.
"Tapi, kalau kami merasa perlu pendalaman, maka ini akan diminta DPR dan Presiden sebagai pembentuk undang-undang menjelaskan norma-norma yang diuji," papar dia.
Untuk itulah, Saldi menekankan bahwa kejelasan dalam gugatan itu penting dilaksanakan oleh para Pemohon. Tujuannya, agar Presiden dan DPR bisa menjawab dengan jelas juga ihwal aturan perundang-undangan yang digugat ke MK.
ADVERTISEMENT
"Presiden dan DPR nanti akan menjelaskan mengapa norma ini dirumuskan begini. Jadi, kalau tidak dijelaskan pertentangannya, Presiden dan DPR mau menjelaskan apa?" ucap Saldi.
Dalam kesempatan itu, Saldi juga menyinggung bahwa persoalan UU Hak Cipta yang digugat oleh Ariel dkk selama ini berjalan baik-baik saja.
Dengan munculnya gugatan tersebut baru-baru ini, menurut dia, perlu pula diterangkan secara jelas duduk permasalahan yang membuat puluhan penyanyi tersebut akhirnya menggugat ke MK.
"Ini kan ribut-ribut ini baru kedengaran akhir-akhir ini, kan, padahal undang-undangnya sudah lama ini. Jadi, membawa ke sini menjadi lebih clear, nah tolong itu dijelaskan di alasan-alasan permohonan," tutur Saldi.
Lebih lanjut, Saldi pun meminta kuasa hukum selaku perwakilan pihak Pemohon agar memberikan elaborasi yang jelas terkait gugatan tersebut.
ADVERTISEMENT
"Jadi, tugas para kuasa hukum adalah memberikan elaborasi yang clear kepada Mahkamah agar Mahkamah tidak salah dalam mengambil sikap karena ini penting sekali para pekerja seni ini," kata Saldi.
"Kalau dunia ini tidak ada seninya, ini dunia ini akan kaku banget, begitu, membosankan. Tapi, kalau para pekerja seni sudah saling berkelahi, jadi repot juga kita," pungkasnya.
Gugatan Ariel dkk soal UU Hak Cipta
Adapun gugatan tersebut dilayangkan oleh para musisi termasuk di antaranya yakni Bernadya, Nadin Amizah, Raisa Andriana, Tubagus Arman Maulana atau dikenal Armand Maulana, hingga Nazril Irham atau akrab disapa Ariel.
Dalam permohonannya, mereka mengajukan pengujian materi Pasal 9 ayat (3), Pasal 23 ayat (5), Pasal 81, Pasal 87 ayat (1), dan Pasal 113 ayat (2) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD NRI) Tahun 1945 ke Mahkamah Konstitusi (MK). Para penyanyi dan pencipta musik ini menyadari adanya isu hukum yang menimbulkan ketidakpastian hukum dan berpotensi merugikan hak konstitusionalnya dalam norma yang diuji tersebut.
ADVERTISEMENT
Pasal 9 ayat (3) berbunyi, "Setiap Orang yang tanpa izin Pencipta atau Pemegang Hak Cipta dilarang melakukan Penggandaan dan/atau Penggunaan Secara Komersial Ciptaan."
Kemudian, Pasal 23 ayat (5) berbunyi, “Setiap Orang dapat melakukan penggunaan secara komersial ciptaan dalam suatu pertunjukan tanpa meminta izin terlebih dahulu kepada Pencipta dengan membayar imbalan kepada Pencipta melalui Lembaga Manajemen Kolektif."
Berikutnya, Pasal 81 berbunyi, "Kecuali diperjanjikan lain, Pemegang Hak Cipta atau pemilik Hak Terkait dapat melaksanakan sendiri atau memberikan Lisensi kepada pihak ketiga untuk melaksanakan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1), Pasal 23 ayat (2), Pasal 24 ayat (2), dan Pasal 25 ayat (21)."
Pasal 87 ayat (1) berbunyi, "Untuk mendapatkan hak ekonomi setiap Pencipta, Pemegang Hak Cipta, pemilik Hak Terkait menjadi anggota Lembaga Manajemen Kolektif agar dapat menarik imbalan yang wajar dari pengguna yang memanfaatkan Hak Cipta dan Hak Terkait dalam bentuk layanan publik yang bersifat komersial."
ADVERTISEMENT
Pasal 113 ayat (2) berbunyi, "Setiap Orang yang dengan tanpa hak dan/atau tanpa izin Pencipta atau pemegang Hak Cipta melakukan pelanggaran hak ekonomi Pencipta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf c, huruf d, huruf f, dan/atau huruf h untuk Penggunaan Secara Komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah)."
Para Pemohon menjelaskan bahwa permohonan ini berangkat dari beberapa kasus yang menimpa sejumlah musisi.
Misalnya yang dialami Agnes Monica atau lebih dikenal Agnezmo. Agnezmo digugat dan dilaporkan pidana oleh Ari Bias, pencipta dari lagu “Bilang Saja”. Sebab, Agnezmo dianggap tidak meminta izin secara langsung dan tidak membayar royalti langsung kepada Ari Bias.
ADVERTISEMENT
Terkait perkara itu, Majelis Hakim Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pun memutus gugatan tersebut dengan menghukum Agnezmo mengganti rugi sebesar Rp 1,5 miliar kepada Ari Bias. Agnezmo pun dilaporkan secara pidana ke Kepolisian Negara Republik Indonesia dengan tuduhan pelanggaran Pasal 113 ayat (2) UU Hak Cipta.
Musisi lainnya yang terkena permasalahan yang serupa ialah grup band The Groove, Sammy Simorangkir, dan Once Mekel yang harus meminta izin secara langsung dan membayar royalti yang tidak berdasarkan ketentuan yang berlaku.
Menurut kuasa hukum, hal ini menjadi isu hukum dalam praktik penggunaan karya cipta. Mengingat ketentuan Pasal 9 ayat (3), Pasal 23 ayat (5), Pasal 81, Pasal 87 ayat (1), dan Pasal 113 ayat (2) UU Hak Cipta dinilai kerap digunakan pihak-pihak lain dengan penafsiran yang berbeda sehingga mengakibatkan ketidakpastian dalam praktiknya.
ADVERTISEMENT
Para Pemohon menjelaskan, seperti halnya dengan penggunaan hak-hak ekonomi lainnya oleh orang lain dengan seizin pencipta, dalam penggunaan hak ekonomi pertunjukannya (performing rights), pencipta tetap berhak untuk mendapatkan imbalan yang wajar berupa royalti.
Meski penggunaan hak ekonomi pertunjukan tersebut dinilai seharusnya dapat dilakukan tanpa meminta izin terlebih dahulu kepada pencipta sebagaimana diatur dalam Pasal 23 ayat (5) UU Hak Cipta. Royalti tersebut harus dibayarkan oleh pengguna melalui Lembaga Manajemen Kolektif (LMK).
Konsisten dengan ketentuan di mana royalti untuk menggunakan hak ekonomi pertunjukan (performing rights) dibayarkan melalui mekanisme LMK.
Konsekuensi dari keanggotaan dalam LMK adalah beralihnya wewenang pengelolaan hak ekonomi kepada LMK yang melekat pada lembaga tersebut. Karena itu, dalam setiap tindakan hukum terkait pengelolaan, maupun penegakan hak ekonomi atas karya cipta, pencipta sudah memberikan izin digunakan ciptaannya dalam suatu pertunjukan (performing) pada saat pencipta tersebut menjadi seorang anggota LMK.
ADVERTISEMENT
Menurut para Pemohon, sistem blanket license yang diterapkan di Indonesia sangat masuk akal. Sebab, untuk memaksimalkan nilai ekonomi, sangat tidak mungkin bagi pencipta untuk mengawasi semua pertunjukan musik yang diadakan di Indonesia.
Apalagi untuk menagih royalti performing rights satu persatu dari penggunaan yang mungkin terjadi ratusan hingga ribuan kali di waktu yang bersamaan di seluruh dunia. Dengan diterapkannya sistem blanket license tersebut, para Pemohon menilai tata kelola penghimpunan dan pendistribusian royalti dapat dilaksanakan secara berkeadilan dan berkepastian hukum.
Namun, pada realitanya, para Pemohon menyebut bahwa apa yang diamanatkan dalam UU Hak Cipta belum dapat terwujud karena masih banyak timbul polemik dan gejolak. Khususnya terkait sistem perizinan dan royalti sebagai akibat dari inkonsistensi dalam pelaksanaan undang-undang dan/atau kekeliruan dalam penafsirannya.
ADVERTISEMENT
Untuk itu, para Pemohon meminta adanya perubahan dalam sejumlah pasal UU Hak Cipta, yakni:
Pasal 9 ayat (3)
Konstitusional sepanjang dimaknai: "Setiap Orang yang tanpa izin Pencipta atau Pemegang Hak Cipta dilarang melakukan Penggandaan dan/atau Penggunaan Secara Komersial Ciptaan dalam suatu pertunjukan tidak memerlukan izin dari Pencipta atau Pemegang Hak Cipta dengan kewajiban untuk tetap membayar royalti atas penggunaan secara komersial ciptaan tersebut."
Pasal 23 ayat 5
Konstitusional sepanjang frasa "Setiap Orang" dalam pasal tersebut dimaknai sebagai “Orang atau badan hukum sebagai Penyelenggara Acara Pertunjukan." Kecuali apabila diperjanjikan berbeda oleh pihak terkait mengenai ketentuan pembayaran royalti, Serta sepanjang dimaknai bahwa pembayaran royalti dapat dilakukan sebelum dan sesudah dilakukannya penggunaan komersial suatu ciptaan dalam suatu pertunjukan;
ADVERTISEMENT
Pasal 81
Konstitusional sepanjang dimaknai: "Untuk Penggunaan Secara Komersial dalam suatu Pertunjukan tidak diperlukan lisensi dari Pencipta dengan kewajiban untuk membayar royalti untuk Pencipta melalui LMK."
Pasal 87 ayat (1)
Konstitusional, sepanjang tidak dimaknai: "Pencipta, Pemegang Hak Cipta ataupun Pemilik Hak Terkait juga dapat melakukan mekanisme lain untuk memungut royalti secara non-kolektif dan/atau memungut secara diskriminatif."
Pasal 113 ayat (2) huruf f
Inkonstitusional dan tidak berkekuatan hukum (dihapus).