Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.86.0
ADVERTISEMENT
Majelis hakim Pengadilan Tipikor Jakarta, menegur jaksa penuntut umum KPK karena menyinggung soal kasus e-KTP kepada saksi dalam sidang kasus dugaan korupsi proyek pembangunan Gedung IPDN. Dalam sidang itu, jaksa menghadirkan eks Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi sebagai saksi.
ADVERTISEMENT
Hakim menegur jaksa saat bertanya pada Gamawan yang bersaksi untuk terdakwa mantan General Manager Divisi Gedung PT Hutama Karya, Budi Rachmat Kurniawan. Gamawan diketahui memang juga jadi saksi KPK di kasus e-KTP.
"Saudara penuntut umum, bisa dipahami dimengerti bahwa satu persidangan itu 'an sich'. Dalam perkara a quo tidak bisa kita tanyakan dalam perkara lainnya. Jadi sangat tidak dibenarkan mengikutkan perkara lain dalam perkara ini," kata ketua majelis hakim Sunarso dalam persidangan, Senin (17/6).
'An Sich' merupakan istilah yang berarti 'pada dirinya sendiri'. Dalam konteks pemahaman hukum, berarti pemahaman yang tidak dicampuri oleh pemikiran lain selain apa yang sudah tercantum dalam definisi terikat yang telah diberikan.
Berawal ketika jaksa menduga ada dugaan keterlibatan Gamawan dengan adiknya, Afdal Noverman atau akrab Dadang, dalam kasus korupsi proyek IPDN Bukittinggi di Kabupaten Agam.
ADVERTISEMENT
Jaksa pun menyinggung soal kasus e-KTP yang juga diduga melibatkan adik Gamawan bernama Azmin Aulia.
"Kita pernah bertemu sebelumnya dalam perkara e-KTP, dalam perkara itu ada juga pola yang dilakukan oleh Pak Azmin Aulia dan Pak Dadang (Afdal Noverman) apakah dalam perkara ini juga dilakukan pola seperti itu?" tanya jaksa Wawan Yunarwanto ke Gamawan.
"Saya sangat keberatan sekali kalau Pak Jaksa bilang gitu. Saya, kalau terima satu sen dari e-KTP, hukum mati saya. Hukum mati saya," ucap Gamawan dengan nada tinggi.
"Kalau saya mau protes, Yang Mulia," kata Gamawan kepada hakim.
"Iya," kata hakim.
"Saya, maaf, Pak Jaksa, siap dihukum mati, hukum mati saya. Bapak boleh tanya Pak Dadang terima uang enggak, saya. Tanya Pak Budi, enggak kenal. Saya mohon maaf Pak Jaksa, jangan kaitkan saya dengan itu," kata Gamawan.
ADVERTISEMENT
"Saya menanyakan kepada Saudara, kalau tidak merasa, tidak masalah. Saya hanya menanyakan dengan pola yang sudah kita dapatkan, kalau tidak merasa ya enggak apa-apa," kata jaksa.
Hakim pun menengahi dengan mengingatkan jaksa agar tidak membandingkan atau membawa kasus berbeda dalam perkara korupsi IPDN.
Dalam kasus ini, pihak swasta bernama Hendra mengaku pernah bekerja sama dengan Dadang untuk mendapatkan fee 2,5 persen dari proyek IPDN di Agam.
Hendra mengklaim mendapatkan fee proyek itu dari Budi karena menjual nama Gamawan. Ia mengaku diperintahkan Dadang meminta fee itu kepada Budi dengan menyebut Dadang adiknya Gamawan.
Namun Budi tak percaya, hingga Hendra mengaku akhirnya mempertemukan Budi dan Dadang untuk bahas fee.
"Kami jual nama pak Gamawan. Saya bilang saja, Pak Dadang ini adiknya pak Gamawan gitu," ucap Hendra.
ADVERTISEMENT
Hendra menjelaskan, mencatut nama Gamawan merupakan kesepakatan dengan Dadang. Hendra bilang, itu dia lakukan lantaran Gamawan menjabat sebagai Mendagri.
"Karena waktu itu Pak Gamawan itu dulu menteri. Jadi saya dengan Pak Dadang (mencatut), kalau saya sendiri sebagai apa? Kan ibarat saya sebagai siapa gitu. Jadi berdua dengan pak Dadang untuk dapat uang itu," jelas Hendra.
Dari 2,5 persen tersebut, Hendra mengaku menerima total Rp 2,83 miliar. Uang itu didapatkannya dari Budi sebanyak empat kali penerimaan dari November hingga Desember 2011.
"Tiga kali Rp 750 juta, Rp 580 juta sekali. Dari 2,83 miliar itu saya terima 15 persen atau Rp 580 jutaan," ujar Hendra.
Pada kasus ini, Budi Rachmat Kurniawan didakwa terlibat korupsi pembangunan kampus IPDN di Kabupaten Agam, Sumatera Barat dan IPDN di Kabupaten Rokan Hilir, Provinsi Riau. Perbuatan Budi disebut telah merugikan keuangan negara Rp 56,91 miliar
ADVERTISEMENT