Hakim Tolak Praperadilan Eks Sekretaris Mahkamah Agung, Nurhadi

21 Januari 2020 15:53 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Mantan Sekretaris Mahkamah Agung Nurhadi Abdurrachman (kiri) berjalan memasuki Gedung KPK untuk menjalani pemeriksaan. Foto: ANTARA FOTO/Reno Esnir
zoom-in-whitePerbesar
Mantan Sekretaris Mahkamah Agung Nurhadi Abdurrachman (kiri) berjalan memasuki Gedung KPK untuk menjalani pemeriksaan. Foto: ANTARA FOTO/Reno Esnir
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Mantan Sekretaris Mahkamah Agung (MA), Nurhadi, menjalani sidang putusan praperadilan di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan. Dalam sidang itu, majelis hakim menolak permohonan praperadilan Nurhadi.
ADVERTISEMENT
"Mengadili, dalam eksepsi, menolak eksepsi termohon seluruhnya. Dalam pokok perkara, menolak praperadilan permohonan seluruhnya yaitu pemohon satu Rezky Hebiyanto, dua Nurhadi, dan tiga Hiendra Soenjoto," kata Hakim Ahmad Jaini, Selasa (21/1).
Hakim menilai penetapan tersangka terhadap ketiganya oleh KPK sudah sesuai dengan mekanisme hukum yang benar. Sehingga menurut hakim, status tersangka yang tersemat pada ketiganya telah sesuai.
Sidang putusan praperadilan Eks Sekretaris MA Nurhadi di PN Jakarta Selatan. Foto: Muhammad Lutfan Darmawan/kumparan
Termasuk juga mengenai surat penyidikan yang digugat Nurhadi, menurut hakim, hal itu sudah sesuai dengan ketentuan hukum.
"Membebani para pemohon membayar biaya perkara sebesar nihil," ungkapnya.
Nurhadi ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK pada 16 Desember 2019 lalu. Ia dijerat tersangka bersama dengan menantunya, Rezky Herbiyanto, dan Direktur Multicon Indrajaya Terminal, Hiendra Soenjoto.
Nurhadi dijerat kasus suap dan gratifikasi. Untuk kasus suap, Nurhadi diduga menerima suap Rp 33,1 miliar dari Hiendra melalui menantunya, Rezky.
Eks sekretaris Mahkamah Agung, Nurhadi usai diperiksa KPK terkait kasus yang menjerat tersangka Eddy Sindoro, Selasa (6/11). Foto: Nugroho Sejati/kumparan
Suap diduga untuk memenangkan Hiendra dalam perkara perdata kepemilikan saham PT MIT. Nurhadi melalui Rezky juga diduga menerima janji 9 lembar cek dari Hiendra terkait perkara PK di MA.
ADVERTISEMENT
Adapun dalam kasus gratifikasi, Nurhadi diduga menerima Rp 12,9 miliar selama kurun waktu Oktober 2014 sampai Agustus 2016. Uang itu diduga untuk pengurusan perkara sengketa tanah di tingkat kasasi dan PK di MA, serta Permohonan Perwalian.
Dengan demikian, Nurhadi dan Rezky sah dijerat dengan Pasal 12 huruf a atau Pasal 12 huruf b subsider Pasal 5 ayat (2) lebih subsider Pasal 11 dan/atau Pasal 12 B UU Tipikor junto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Sementara Hiendra juga sah dijerat Pasal 5 ayat 1 huruf a atau Pasal 5 ayat 1 huruf b subsider Pasal 13 UU Tipikor junto Pasal 55 ayat (1) ke-1 juncto Pasal 64 ayat (1) KUHP.
ADVERTISEMENT

Permohonan praperadilan yang ditolak hakim

Eks sekretaris Mahkamah Agung, Nurhadi usai diperiksa KPK terkait kasus yang menjerat tersangka Eddy Sindoro, Selasa (6/11). Foto: Nugroho Sejati/kumparan
Adapun dalam persidangan, argumen hukum yang disampaikan oleh kuasa hukum Nurhadi, Maqdir Ismail, meliputi tiga hal.
Pertama, Nurhadi tidak pernah mendapat panggilan dari KPK untuk mengonfirmasi tuduhan penerimaan suap. Maqdir mengatakan, KPK hanya meminta keterangan dari pihak pemberi suap, yakni Hiendra Soenjoto.
Maqdir menilai KPK seharusnya tak hanya meminta keterangan dari pihak pemberi, tapi juga mengkonfirmasi hal tersebut kepada pihak diduga penerima dalam hal ini Nurhadi. Namun hal itu tak dilakukan.
Tak dilakukannya konfirmasi ini, kata Maqdir, berujung pada tak terpenuhinya minimal dua alat bukti untuk penetapan sebagai tersangka. Baik terhadap pemohon I Riezky, maupun pemohon II Nurhadi.
Maqdir Ismail. Senin (6/5). Foto: Irfan Adi Saputra/kumparan
Kedua, Maqdir mempermasalahkan status penyidik KPK yang menangani kasus Nurhadi. Sebab menurut Maqdir, penyidik tersebut bukan ASN. Padahal, kata Maqdir, berdasarkan UU KPK yang baru, penyidik harus berstatus sebagai ASN.
ADVERTISEMENT
Maqdir menyebut proses penyidikan atas perkara Nurhadi ini dijalankan oleh penyidik yang bernama Novel dan Rizka Anungnata. Keduanya merupakan penyidik yang tidak berstatus sebagai ASN semenjak UU baru berlaku.
Selain itu, Maqdir menilai bahwa surat perintah penyidikan yang dikeluarkan pun cacat hukum. Sebab, surat perintah penyelidikan keluar menggunakan UU KPK lama, sementara surat perintah penyidikan keluar saat UU KPK baru disahkan.
Gugatan praperadilan eks sekretaris MA Nurhadi di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Foto: Aprilandika Pratama/kumparan
Sehingga penyidik harus seorang ASN sesuai UU baru, namun kenyataannya dua penyidik tersebut belumlah berstatus ASN. Sebab, UU baru diteken 17 Oktober 2019, sementara Nurhadi jadi tersangka pada 6 Desember 2019.
Ketiga, Maqdir juga mempermasalahkan status pimpinan KPK yang bukan lagi penyidik dalam UU yang baru. Sprindik Nurhadi tertanggal 6 Desember 2019 ditandatangani oleh Direktur Penyidikan R. Z. Panca Putra S.
ADVERTISEMENT
"Bahwa hal tersebut di atas menunjukkan bahwa pimpinan termohon seolah merasa bahwa dirinya masih memiliki status penyidik yang melekat dalam dalam jabatannya (atributif), padahal status itu telah dihapus oleh UU No.19/2019," kata Maqdir, beberapa waktu lalu.
Selain itu, Maqdir juga menyinggung soal tiga dari lima pimpinan KPK yang mengembalikan mandat kepemimpinan di KPK kepada Presiden.
Sprindik diteken ketika era KPK kepemimpinan Agus Rahardjo dkk. Tiga pimpinan yang mengembalikan mandat ialah Agus Rahardjo, Laode M. Syarif, dan Saut Situmorang. Menurut Maqdir, hal ini membuat penetapan Nurhadi tersangka adalah cacat hukum.
Namun permohonan ini tak dikabulkan hakim sehingga gugur dan penetapan tersangka terhadap Nurhadi sudah sah secara hukum.