Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.86.0
ADVERTISEMENT
Gempa bumi berkekuatan 5,6 magnitudo yang mengguncang Cianjur, Jawa Barat, pada Senin (21/11).
ADVERTISEMENT
Data BNPB per Rabu (23/11), terdapat 271 korban meninggal dunia akibat gempa tersebut. Selain itu, 2.043 orang dilaporkan luka-luka. Kemudian 61.908 orang harus mengungsi.
Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Dwikorita sempat menyebut gempa di Cianjur, Jawa Barat, merupakan siklus gempa 20 tahunan—yang menurut pemahaman umum artinya sudah diketahui polanya.
Namun, dampak yang ditimbulkan masih saja besar.
Menjadi pertanyaan apabila memang siklus ini ada, mengapa pemerintah tidak membuat mitigasi bencana yang mumpuni untuk meminimalisasi efek bencana ketika usia 20 tahun hendak datang.
Kenapa Pemerintah Tidak Melakukan Mitigasi?
Kepala Bidang Mitigasi Gempa Bumi dan Tsunami Daryono menjelaskan bahwa siklus 20 tahun dihitung dari gempa terakhir yang terjadi di Cianjur.
Ia juga menegaskan bahwa hingga kini belum ada teknologi yang secara tepat dapat diprediksi kapan gempa akan terjadi.
ADVERTISEMENT
"(Siklus 20 tahun) itu berdasarkan gempa terakhir yang merusak di daerah tersebut tahun 2000. Dan gempanya juga merusak, (berkekuatan magnitudo) 5,4 dan 5,1. (Siklus 20 tahun) itu berdasarkan dari situ," ujar Daryono kepada kumparan melalui konferensi video, Selasa (23/11) pagi.
Karena gempa tak bisa diprediksi kapan akan terjadi, Daryono menekankan pentingnya edukasi mitigasi bencana. Menurutnya, setiap wilayah harus direncanakan berbasis risiko gempa bumi. Sekalipun tidak berada di pusat gempa, setiap tempat bisa berpotensi terdampak "gempa kiriman".
Daryono juga menekankan pentingnya sosialisasi dan edukasi menyelamatkan diri saat gempa bumi terjadi dan bangunan tahan gempa.
"Merencanakan sosialisasi edukasi bagaimana cara selamat dari gempa. Kemudian juga dari bangunan tahan gempa harus direalisasikan," ujarnya.
Belajar dari Cianjur, Ini Karakteristik Rumah Tahan Gempa Menurut Ahli dan BMKG
Berdasarkan data BPBD per Rabu (23/11) pukul 09.00 WIB, tercatat ada 28.078 rumah rusak akibat gempa Cianjur. Dengan rincian 8.634 rusak ringan, 3.724 rusak sedang, dan 14.811 rusak berat.
ADVERTISEMENT
Kondisi ini menyadarkan kita pentingnya membangun rumah tahan gempa. Lantas seperti apa karakteristiknya?
Muhammad Ikhsan, ahli teknik sipil dari Universitas Riau (UR) dan Kepala Bidang Mitigasi Gempa Bumi dan Tsunami BMKG Daryono menjelaskan ada beberapa ciri-ciri yang harus dimiliki rumah tahan gempa.
Akademisi dari UR ini menyebut untuk membangun rumah tahan gempa yang harus dipertimbangkan bukan hanya bangunan dapat berdiri dan gaya berat bangunan saja, tetapi juga gaya ke samping yang di hadapi bangunan saat gempa terjadi.
"Jadi kalau orang nyusun atap atau membuat dinding itu asal berdiri saja itu sudah kuat, asal menempel sudah kuat. Tapi kalau gempa itu yang kita pikirkan adalah goyangan ke samping karena gempa itu umumnya menggoyangnya ke arah samping," ujar Ikhsan kepada kumparan melalui saluran telepon, Rabu (23/11) pagi.
ADVERTISEMENT
Ikhsan menyebut ciri pertama yang harus dimiliki rumah tahan gempa adalah tiang pondasi rumah yang menempel kuat dengan pondasi bawah. Kondisi ini membuat rumah tidak gampang tumpang.
"Bagaimana tiang-tiang (bangunan)nya itu menempel ke pondasinya lebih baik, jadi besinya itu menyangkut ke pondasi yang di bawah. Jadi tiangnya tidak gampang tumbang," jelas Ikhsan.
Gempa Cianjur yang Sangat Destruktif, Antara Sesar Cimandiri dan Sesar Baribis
Gempa dangkal berkekuatan 5,6 magnitudo di Cianjur, Senin (21/11) mengakibatkan ribuan rumah dan fasilitas umum rusak berat. Gempa destruktif itu disebut BMKG berada di jalur Sesar Cimandiri, salah satu sesar aktif di Indonesia.
Kabupaten Cianjur merupakan salah satu daerah yang masuk kawasan rawan bencana gempa bumi tinggi (skala intensitas lebih besar dari VIII MMI) di Jawa Barat. Saat terjadi gempa, daerah ini memang berpotensi mendapat retakan tanah, pelulukan, longsoran pada bukit terjal, serta pergeseran tanah.
ADVERTISEMENT
Kawasan tersebut umumnya disusun oleh batuan berumur kuarter, endapan pantai, serta rombakan gunung api muda yang bersifat lepas dan memperkuat efek goncangan gempa bumi.
Berdasarkan data Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi tahun 2014, beberapa wilayah di Jabar yang masuk kategori berisiko tinggi tersebut adalah Pelabuhan Ratu, Sukabumi, hingga Sumedang.
Peneliti dari Pusat Penelitian Mitigasi Kebencanaan dan Perubahan Iklim ITS Dr. Ir. Amien Widodo M.Si. mengatakan, berdasarkan peta, Cianjur berlokasi dekat dengan Sesar Cimandiri yang membentang dari Pelabuhan Ratu, Cianjur, Sukabumi, Padalarang, hingga Subang.
"Sesar ini pernah mengguncang Sukabumi pada tahun 2001 silam. Namun, letak sesar yang berada jauh di sebelah utara tempat kejadian dipastikan bukan penyebab dari gempa Cianjur ini,” kata Amien, pada Rabu (23/11), dikutip dari BASRA (Berita Anak Surabaya).
ADVERTISEMENT
Senada dengan Amien, Danny Hilman Natawidjaja, profesor riset bidang Geologi Gempa dan Kebencanaan di Organisasi Riset Ilmu Pengetahuan Kebumian BRIN, menuturkan gempa tersebut bukan diakibatkan Sesar Cimandiri, melainkan oleh sesar aktif yang belum dipetakan.
"Kalau melihat jalur. Ini bukan di jalur Sesar Cimandiri. Dilihat dari peta jalur sesar, Sesar Cimandiri berada sekitar 15 km di selatannya gempa yang sekarang terjadi," kata Danny.
Belajar dari Jepang, Bagaimana Seharusnya Pemerintah Menyikapi Gempa?
Kepala Bidang Mitigasi Gempa Bumi dan Tsunami BMKG Daryono mengakui penanganan gempa Jepang jauh di depan Indonesia. Hal ini terlihat dari bangunan tahan gempa yang sudah digunakan di negeri Sakura itu.
Daryono juga menyebut mitigasi bencana di Jepang juga sudah dilakukan hampir di semua rumah di sana. Bahkan Ia menyebut rumah di Jepang tahan gempa berkekuatan 8 SR.
ADVERTISEMENT
"Di sana itu hampir semua rumah yang dibangun itu berstandar aman gempa sehingga gempa berkekuatan 7-7,5 bahkan 8 itu mereka tidak khawatir dengan bangunannya," ujar Daryono kepada kumparan, Rabu (23/11) pagi.
Dengan kondisi ini, sekalipun di guncang gempa, Daryono yakin rumah-rumah di Jepang tidak akan roboh melainkan hanya goyang. Sehingga korban jiwa juga dapat ditekan.
Ahli teknik sipil dari Universitas Riau (UR) Muhammad Ikhsan juga mengagumi keseriusan pemerintah Jepang dalam membuat bangunan tahan gempa bumi.
Ia menyebut keseriusan ini tercermin dari perencanaan, pemberian izin, pengawasan ketika bangunan itu dibangun, hingga pengecekan setelah bangunan selesai dibangun apakah masih layak atau tidak. Kondisi ini harusnya dicontoh oleh Indonesia.
"Itu dia jalan (pengawasannya), kalau kita kan di Indonesia itu tahap perencanaan saja kita sudah kerepotan, baru pemberian izin itu kita sudah kerepotan," ujar Ikhsan kepada kumparan, Rabu (23/11) pagi.
ADVERTISEMENT
"Tapi itulah ya kalau ditanya apa bedanya, harus lebih serius kita mulai dari perencanaan, kemudian pengawasan, pemberian izin, sampai pengecekan ketika kelayakan pakainya dari bangunan itu," tambah Ikhsan.