Halloween Dirayakan di Korsel hingga Arab Saudi, Perlukah Indonesia Ikut Juga?

31 Oktober 2022 15:29 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Seorang pemilik hewan peliharaan menggendong kucingnya saat mengikuti kompetisi kostum hewan peliharaan halloween, di Quezon City, Metro Manila, Filipina. Foto: Lisa Marie David/REUTERS
zoom-in-whitePerbesar
Seorang pemilik hewan peliharaan menggendong kucingnya saat mengikuti kompetisi kostum hewan peliharaan halloween, di Quezon City, Metro Manila, Filipina. Foto: Lisa Marie David/REUTERS
ADVERTISEMENT
Halloween yang juga disebut sebagai All Hallows' Eve, atau All Saints' Eve kembali dirayakan pada 31 Oktober. Tak hanya di Barat, tahun ini semarak menyambut Halloween juga terasa di Korea Selatan hingga Arab Saudi sebelum 31 Oktober 2022.
ADVERTISEMENT
Arab Saudi menyelenggarakan festival kostum pada Kamis dan Jumat pekan lalu (27-28 Oktober) di Boulevard Riyadh. Orang-orang berdatangan ke pesta itu mengenakan kostum seram.
Arab Saudi menyebut pesta kostum itu Scary Weekend atau Akhir Pekan Menakutkan. Mereka yang berdandan horor bisa mendapatkan tiket masuk gratis ke festival Riyadh Seasons yang sedang digelar.
Namun, karena waktu pelaksanaan Scary Weekend yang berdekatan dengan Halloween 31 Oktober, sejumlah kalangan menuding kegiatan itu sebagai perayaan Halloween.
Tak sedikit yang menulis, ini kali pertama di Arab Saudi merayakan Halloween. Padahal, negara monarki absolut tersebut selama ini melarang perayaan semacam itu.
Pesta kostum atau cosplay di Riyadh sendiri juga pernah digelar pada Maret 2022. Festival di ibu kota Arab Saudi belakangan ini sering digelar untuk menggenjot sektor pariwisata.
Warga Saudi yang mengenakan kostum merayakan Halloween selama acara Scary Weekend di Boulevard Riyadh, Arab Saudi. Foto: Ahmed Yosri/REUTERS
Di Itaewon, Korea Selatan, perayaan Halloween berubah menjadi tragedi yang mencekam ketika pada tengah malam warga yang berdesakan saling berlarian panik hingga ratusan orang luka-luka bahkan tewas. Dilaporkan per Senin (31/10) ada 156 orang tewas.
Jenazah korban serangan jantung diangkut, usai tragedi festival Halloween di kawasan hiburan malam populer Itaewon di Seoul, Korea Selatan, Minggu (30/10/2022). Foto: Jung Yeon-je/AFP
Melihat antusiasme perayaan Halloween di berbagai negara itu, bagaimana dengan Indonesia? Perlukah Indonesia merayakan Halloween?
ADVERTISEMENT
Sejarawan dari Universitas Nasional Dr Andi Achdian menyebut Halloween di Indonesia tidak terlalu populer dan hanya dirayakan sebagian orang saja.
Alasannya karena perayaan ini erat dengan agama Kristen, sementara mayoritas masyarakat Indonesia adalah penganut agama Islam.
“Pertama-tama dalam tradisi Halloween itu kan erat dengan dunia kekristenan ya, nah di Indonesia dia tidak terlalu populer, pertama-tama karena memang populasinya memang lebih luas muslim,” ujar Andi kepada kumparan saat dihubungi, Senin (31/10).
Sejumlah peserta mengikuti parade kostum Halloween di pusat belanja Neo Soho Mall, Jakarta, Sabtu (30/10/2021). Foto: Indrianto Eko Suwarso/ANTARA FOTO
Pengelola 'Jurnal Sejarah' ini menyebut Halloween di Indonesia hanya terjadi di kota-kota besar dan didominasi tujuan senang-senang dibandingkan dengan tujuan aslinya, yaitu menghormati orang mati.
Ia juga menyampaikan bahwa Halloween di Tanah Air saat ini dilakukan hanya untuk keperluan marketing. Ia dijadikan barang dagang dengan cara menawarkan perayaan.
ADVERTISEMENT
“Jadi kalaupun ada sekarang ya lebih sebagai satu komoditi daganglah. Jadi ada satu event menjalankan misi untuk Halloween, ya di satu tempat tertentu lah seperti itu,” jelas Andi.

Halloween Tidak Punya Akar di Indonesia

Bila dilihat dari sudut pandang sejarah, Andi menyebut Halloween tidak punya akar yang kuat di Indonesia. Selain karena mayoritasnya yang muslim, tradisi di Indonesia juga erat dengan kedaerahan.
Ia menjelaskan beberapa tradisi yang hingga kini masih berjalan di Indonesia setidaknya berkaitan dengan dua hal itu yaitu agama dan kedaerahan. Grebeg Maulid dan Sekaten adalah contoh yang Andi berikan.
Warga berebut gunungan pada perayaan Grebeg Sekaten 2019 Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat di Solo, Jawa Tengah, Sabtu (9/11). Foto: ANTARA FOTO/Mohammad Ayudha
“Saya kira enggak ada dasar juga sebenarnya untuk Indonesia merayakan ya karena memang enggak ada akarnya sekali lagi ya,” ujar Andi
ADVERTISEMENT
“Kalau misalnya ditanya, sekatenan atau Grebek Maulid itu ada akar kebudayaannya untuk itu. Tapi ini ya kalau dibilang perlu, ya enggak perlu juga kalau saya,” jelasnya saat ditanya mengenai urgensi masyarakat Indonesia merayakan Halloween.

Ziarah Kubur Lebih Sesuai dengan Indonesia

Alih-alih Halloween, menurut Andi, ziarah kubur lebih sesuai dengan nilai-nilai yang dikandung masyarakat Indonesia. Sama-sama mengingat akan kematian tetapi dengan cara penyampaian yang berbeda.
“Kita nggak punya perayaan tentang hari orang mati ya, kita mengingat leluhur ya, dalam artian kita apa namanya ziarah kubur itu ada kita, kan,” jelas Andi.
Sejumlah warga berdoa saat ziarah kubur di Pemakaman Covid-19, Srengseng Sawah, Jakarta, Senin (2/5/2022). Foto: Asprilla Dwi Adha/Antara Foto
Ziarah kubur ini lebih cocok dengan budaya sebagian besar Indonesia. Sama dengan Halloween yang menghormati orang meninggal, tetapi disampaikan bukan melalui simbol-simbol kematian melainkan doa di kuburan.
ADVERTISEMENT
“Kita mengingat, mendoakan, orang yang sudah— nenek moyang yang sudah meninggal yang segala macam atau juga mengharap kesaktian, tapi bukan dalam bentuk penampilan simbol-simbol kematian kalau hal ini, kan, simbol-simbol kematian sudah bercampurlah dengan tradisi Celtic,” jelasnya.
“Kita tidak punya tradisi yang seperti mereka gitu, ya, di Eropa atau tradisi peradaban Kristen itu, kita dalam tradisi, ya, Jawa dan atau Nusantara yang pola hubungan dengan kematian itu berbeda gitu,” tutup Andi.