Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Halloween Dirayakan di Korsel hingga Arab Saudi, Perlukah Indonesia Ikut Juga?
31 Oktober 2022 15:29 WIB
·
waktu baca 4 menitADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
Arab Saudi menyebut pesta kostum itu Scary Weekend atau Akhir Pekan Menakutkan. Mereka yang berdandan horor bisa mendapatkan tiket masuk gratis ke festival Riyadh Seasons yang sedang digelar.
Namun, karena waktu pelaksanaan Scary Weekend yang berdekatan dengan Halloween 31 Oktober, sejumlah kalangan menuding kegiatan itu sebagai perayaan Halloween.
Tak sedikit yang menulis, ini kali pertama di Arab Saudi merayakan Halloween. Padahal, negara monarki absolut tersebut selama ini melarang perayaan semacam itu.
Pesta kostum atau cosplay di Riyadh sendiri juga pernah digelar pada Maret 2022. Festival di ibu kota Arab Saudi belakangan ini sering digelar untuk menggenjot sektor pariwisata.
Di Itaewon, Korea Selatan, perayaan Halloween berubah menjadi tragedi yang mencekam ketika pada tengah malam warga yang berdesakan saling berlarian panik hingga ratusan orang luka-luka bahkan tewas. Dilaporkan per Senin (31/10) ada 156 orang tewas.
Melihat antusiasme perayaan Halloween di berbagai negara itu, bagaimana dengan Indonesia? Perlukah Indonesia merayakan Halloween?
ADVERTISEMENT
Sejarawan dari Universitas Nasional Dr Andi Achdian menyebut Halloween di Indonesia tidak terlalu populer dan hanya dirayakan sebagian orang saja.
Alasannya karena perayaan ini erat dengan agama Kristen, sementara mayoritas masyarakat Indonesia adalah penganut agama Islam.
“Pertama-tama dalam tradisi Halloween itu kan erat dengan dunia kekristenan ya, nah di Indonesia dia tidak terlalu populer, pertama-tama karena memang populasinya memang lebih luas muslim,” ujar Andi kepada kumparan saat dihubungi, Senin (31/10).
Pengelola 'Jurnal Sejarah' ini menyebut Halloween di Indonesia hanya terjadi di kota-kota besar dan didominasi tujuan senang-senang dibandingkan dengan tujuan aslinya, yaitu menghormati orang mati.
Ia juga menyampaikan bahwa Halloween di Tanah Air saat ini dilakukan hanya untuk keperluan marketing. Ia dijadikan barang dagang dengan cara menawarkan perayaan.
ADVERTISEMENT
“Jadi kalaupun ada sekarang ya lebih sebagai satu komoditi daganglah. Jadi ada satu event menjalankan misi untuk Halloween, ya di satu tempat tertentu lah seperti itu,” jelas Andi.
Halloween Tidak Punya Akar di Indonesia
Bila dilihat dari sudut pandang sejarah, Andi menyebut Halloween tidak punya akar yang kuat di Indonesia. Selain karena mayoritasnya yang muslim, tradisi di Indonesia juga erat dengan kedaerahan.
Ia menjelaskan beberapa tradisi yang hingga kini masih berjalan di Indonesia setidaknya berkaitan dengan dua hal itu yaitu agama dan kedaerahan. Grebeg Maulid dan Sekaten adalah contoh yang Andi berikan.
“Saya kira enggak ada dasar juga sebenarnya untuk Indonesia merayakan ya karena memang enggak ada akarnya sekali lagi ya,” ujar Andi
ADVERTISEMENT
“Kalau misalnya ditanya, sekatenan atau Grebek Maulid itu ada akar kebudayaannya untuk itu. Tapi ini ya kalau dibilang perlu, ya enggak perlu juga kalau saya,” jelasnya saat ditanya mengenai urgensi masyarakat Indonesia merayakan Halloween.
Ziarah Kubur Lebih Sesuai dengan Indonesia
Alih-alih Halloween, menurut Andi, ziarah kubur lebih sesuai dengan nilai-nilai yang dikandung masyarakat Indonesia. Sama-sama mengingat akan kematian tetapi dengan cara penyampaian yang berbeda.
“Kita nggak punya perayaan tentang hari orang mati ya, kita mengingat leluhur ya, dalam artian kita apa namanya ziarah kubur itu ada kita, kan,” jelas Andi.
Ziarah kubur ini lebih cocok dengan budaya sebagian besar Indonesia. Sama dengan Halloween yang menghormati orang meninggal, tetapi disampaikan bukan melalui simbol-simbol kematian melainkan doa di kuburan.
ADVERTISEMENT
“Kita mengingat, mendoakan, orang yang sudah— nenek moyang yang sudah meninggal yang segala macam atau juga mengharap kesaktian, tapi bukan dalam bentuk penampilan simbol-simbol kematian kalau hal ini, kan, simbol-simbol kematian sudah bercampurlah dengan tradisi Celtic,” jelasnya.
“Kita tidak punya tradisi yang seperti mereka gitu, ya, di Eropa atau tradisi peradaban Kristen itu, kita dalam tradisi, ya, Jawa dan atau Nusantara yang pola hubungan dengan kematian itu berbeda gitu,” tutup Andi.