Hallyu Wave: Peran Pemerintah dan Soft Power Korsel di Mata Global

23 Desember 2022 16:13 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Suasana lokasi konser saranghaeyo Indonesia di Istora Senayan Jakarta. Foto: Mutiara Oktaviana/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Suasana lokasi konser saranghaeyo Indonesia di Istora Senayan Jakarta. Foto: Mutiara Oktaviana/kumparan
ADVERTISEMENT
Hallyu Wave atau Korean Wave kini bukan istilah yang asing lagi di telinga masyarakat Indonesia. Selama beberapa tahun terakhir, gelombang industri budaya dan hiburan Korea semakin digemari masyarakat Indonesia, khususnya anak muda.
ADVERTISEMENT
Namun, kesuksesan Hallyu Wave di kancah global memerlukan waktu yang panjang. Bahkan ada peran pemerintah Korea Selatan dalam mengembangkan Hallyu menjadi salah satu budaya pop populer di dunia saat ini.
Profesor Studi Internasional dari Korea University, Andrew Kim, mengungkapkan pemerintah Korsel pada era 1990-an menginginkan agar Korea tidak hanya dikenal karena industri otomotif atau elektronik, tapi juga lewat budaya. Apalagi pada masa itu, budaya pop Jepang seperti J-Pop dan J-dorama digemari masyarakat Asia.
“Pada 1994, ada laporan kepada presiden yang menyarankan agar negara mempromosikan produksi media sebagai strategi industri nasional dengan berkiblat pada revenue kesuksesan Hollywood pada saat itu, Jurassic Park, yang penjualannya setara dengan penjualan 1,5 miliar mobil Hyundai di luar negeri. Perbandingan film dengan mobil Hyundai yang pada saat itu dinilai sebagai kebanggaan Korea sangat mengejutkan,” kata Kim dalam workshop bertajuk ‘The Rise of Korean Pop Culture’ yang digelar Foreign Policy Community of Indonesia (FPCI) di The Westin Jakarta, Senin (5/12).
ADVERTISEMENT
Pada masa itu, Kim mengatakan perbandingan antara penjualan tiket Jurassic Park secara global dengan penjualan mobil Hyundai sangat mengejutkan. Atas dasar itu, pembuat kebijakan di Korea mulai mempertimbangkan untuk mendorong ekspor budaya melalui industri budaya dan hiburan.
Tampilan mobil listrik buatan Cikarang, Hyundai IONIQ 5. Foto: Muhammad Haldin Fadhila/kumparan
“Dari situ kami pada akhirnya sampai pada titik ini. Pemerintah Korea sangat percaya meningkatnya ketertarikan budaya pop Korea di luar negeri dapat menguntungkan sektor ekspor negara dan berkembangnya popularitas budaya pop Korea juga dapat meningkatkan soft power negara,” ujarnya.
Dengan semakin dikenalnya Hallyu, Korea kini tidak hanya sebagai negara dengan industri otomotif dan elektronik terbesar di dunia – Hyundai, KIA, Samsung, hingga LG. Bahkan, Hallyu menggeberak dunia lewat K-Pop, film, hingga drama.
Lewat K-Pop, masyarakat global mengenal grup seperti Super Junior, Girls’ Generation, EXO, Stray Kids, Seventeen, BTS, hingga Blackpink. Sementara lewat industri film, ada Parasite yang pada 2019 lalu menjadi film berbahasa asing pertama yang menerima penghargaan Best Picture di Academy Award. Kemudian lewat industri TV, ada Squid Game yang ditonton masyarakat global di 94 negara.
ADVERTISEMENT
Peran pemerintah Korea itu juga didukung oleh agensi hiburan atau agensi K-Pop. Menurut Kim, strategi yang dilakukan agensi K-Pop dalam memproduksi talenta berkualitas dan mempromosikan mereka sangat penting dalam mempopulerkan Hallyu di kancah global.
Trainee Starship Entertainment Foto: Berbagai sumber
“Agensi K-Pop melatih artis, memproduksi, mempromosikan musik, dan mengurus para artisnya. Karakteristik agensi ini [ada pada] SM Entertainment, JYP Entertainment, dan lain-lain. Agensi K-Pop di Korea mengoperasikan diri mereka sebagai konglomerat entertainment,” ungkapnya.
Hal ini, lanjut Kim, juga yang membuat industri musik dan idol di Korea berbeda dari negara-negara lain. Sebab, agensi K-Pop melakukan banyak hal untuk mempromosikan artis atau grup mereka dan semuanya berada dalam kendali mereka.
“Contohnya, SM Entertainment memiliki segalanya. Mereka sebagai label rekaman, sebagai agensi talenta mereka yang merekrut dan melatih trainee, sebagai perusahaan produksi musik dengan penulis lagu, musisi, sound engineer dan produser, sebagai perusahaan management event, sebagai concert management, dan sebagai music publish house. Beda dengan di Barat, di Korea jika anda direkrut oleh agensi hiburan, semuanya dilakukan untuk anda. Dari lagu yang ditulis untuk anda, koreografi, publikasi, semuanya,” jelasnya.
ADVERTISEMENT

Lalu, bagaimana budaya pop mempengaruhi soft power Korea di mata masyarakat global?

Kim mengatakan, soft power adalah kekuatan yang dipraktikkan sebuah negara melalui image dan bukan melalui hard force seperti kekuatan militer atau ekonomi. Menurutnya, soft power merupakan untuk melakukan sesuatu dengan cara negara tersebut lewat daya tarik dibandingkan paksaan.
“Contohnya AS. AS memiliki image yang disukai karena dinilai sebagai negara yang kaya dan karena itu kita membeli jeans Levi’s, IPhone milik Apple, rokok Marlboro, Coca Cola, dan menikmati hip hop dan musik-musik dari AS,” tuturnya.
Namun di saat yang bersamaan, soft power juga dipengaruhi kemampuan ekonomi sebuah negara. Berdasarkan data dari Bank Dunia pada 2019, Gross Domestic Product (GDP) Korea sebesar 1,64 miliar dolar AS atau 1,87%.
“Melihat argumen soft power, Korean Wave sangat sukses karena kemakmuran ekonomi yang jelas terlihat sehingga meningkatkan soft power. Korea Selatan berada di peringkat ke-10 sebagai negara ekonomi terbesar di dunia dengan total GDP lebih dari 1,8 miliar dolar AS, dengan nama-nama perusahaan seperti Samsung, LG, dan Hyundai yang dikenal masyarakat dunia. Dan semakin ke sini, dunia mengasosiasikan Korea dengan kemakmuran dan standar hidup yang tinggi,” ungkapnya.
Konser EXO 'The EXplOration'. Foto: Twitter/weareoneEXO
Meski Hallyu kini saat sukses, Lebih lanjut, Kim mengungkapkan soft power bisa dilihat dari dua level, yaitu level individu dan antarnegara atau diplomasi. Menurut Kim, pengaruh soft power lewat budaya pop Korea pada saat ini lebih masuk melalui level individu.
ADVERTISEMENT
“Hallyu bisa menjadi soft power di level individu itu memungkinkan. Bahwa lewat soft power di level individu, orang-orang membeli produk yang dibuat di Korea, mengunjungi Korea, mempelajari Korea, dan punya ketertarikan terhadap budaya Korea secara general. Tapi, saya tidak yakin Hallyu bisa menjadi soft power dalam level diplomatis,” ungkapnya lagi.
Kim pun mencontohkan bagaimana kepopuleran K-Pop dan K-Drama tidak berpengaruh pada pandangan masyarakat Jepang terhadap isu Pulau Dokdo dan Comfort Woman. Kedua isu tersebut masih menjadi perdebatan di antara kedua negara dan belum ada kesepakatan atau jalan keluarnya.
“Tapi jika kita bicara tentang kontroversi berkelanjutan antara kedua negara terkait isu Pulau Dokdo, soft power Korea tidak memiliki peran dalam mempengaruhi pemerintah Jepang. Ketika kita bicara soal soft power, anda harus melihatnya di dua level. Pertama level individu dan kedua level antarnegara atau level diplomatik. Di level individual tentu saja soft power bekerja, tapi di level diplomatik masih bisa didiskusikan,” pungkasnya.
ADVERTISEMENT