Hambat Kerja Pers, MA Didesak Cabut Aturan Foto-Rekam Sidang Harus Seizin Hakim

22 Desember 2020 12:16 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Bendera Merah Putih berkibar di Gedung MA Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Bendera Merah Putih berkibar di Gedung MA Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan
ADVERTISEMENT
Peraturan Mahkamah Agung (MA) Nomor 5 Tahun 2020 yang mengatur tata tertib di persidangan menuai kritik. Khususnya mengenai aturan mengambil foto dan merekam sidang harus seizin hakim serta dilakukan sebelum sidang dimulai.
ADVERTISEMENT
Aturan itu tercantum di Pasal 4 ayat (6) PERMA 5 Tahun 2020 yang berbunyi:
Pengambilan foto, rekaman audio dan/atau rekaman audio visual harus seizin hakim/ketua majelis hakim yang bersangkutan yang dilakukan sebelum dimulainya persidangan.
Aliansi Jurnalis Independen (AJI) menilai aturan tersebut menghambat dan membatasi jurnalis dalam meliput persidangan. Terlebih jika aturan itu dilanggar, dapat diklasifikasikan sebagai penghinaan terhadap pengadilan atau contempt of court. Sehingga AJI meminta MA mencabut aturan tersebut.
"Mendesak Mahkamah Agung untuk segera mencabut ketentuan soal pengambilan foto, rekaman audio dan rekaman audio visual harus seizin hakim atau ketua majelis hakim," kata Ketua AJI, Abdul Manan, dalam keterangannya, Selasa (22/12).
Ilustrasi pers Foto: Nunki Pangaribuan
Ia mengatakan, PERMA 5/2020 tidak selaras dengan UU Pers yang menjamin kerja-kerja jurnalis dalam mencari, memperoleh, menyebarluaskan gagasan dan informasi.
ADVERTISEMENT
Selain itu, Abdul juga mendesak MA untuk tidak terus membuat ketentuan yang membatasi jurnalis bekerja karena dinilai menghambat kebebasan pers.
"Kami bisa mengerti bahwa Mahkamah Agung ingin menciptakan ketertiban dan menjaga kewibawaan pengadilan. Namun, niat untuk itu hendaknya tidak membuat hak wartawan dibatasi," ujar Manan.
"Sebab, hak untuk mendapatkan informasi itu ditetapkan oleh regulasi yang derajatnya lebih tinggi dari peraturan Mahkamah Agung, yaitu Undang Undang Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers," sambungnya.
Audiens memotret suasana sidang korupsi. Foto: Jamal Ramadhan/kumparan

Hambat Kerja Jurnalis

Hal senada juga disampaikan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers. LBH Pers menilai kebijakan ini sangat menghambat fungsi dan peran pers dalam mencari dan menyiarkan berita kepada publik.
"Kehadiran jurnalis dalam proses persidangan merupakan bagian dari keterbukaan informasi publik dan jaminan atas akses terhadap keadilan," kata LBH Pers dalam keterangannya.
ADVERTISEMENT
LBH Pers menyatakan Pasal 4 ayat (3) UU Pers telah memberi jaminan terhadap kemerdekaan pers, dengan memberi hak kepada pers nasional dalam hal untuk mencari, memperoleh, dan menyebarluaskan gagasan dan informasi.
Sehingga, MA dinilai tidak seharusnya menghalangi kerja jurnalistik melalui PERMA. Selain itu, peran dan fungsi jurnalis dinilai dapat meminimalisir praktik mafia peradilan yang dapat mengganggu independensi hakim.
Ilustrasi sidang di Pengadilan Tipikor. Foto: Irfan Adi Saputra/kumparan
"Peran dan fungsi jurnalis kami nilai dapat meminimalisir praktik mafia peradilan yang dapat mengganggu independensi hakim dalam memutus. Keberadaan jurnalis di ruang persidangan penting untuk menjamin proses peradilan berjalan sesuai peraturan yang berlaku dan terpenuhinya akses untuk keadilan," jelasnya.
"Sebab dengan terbatasnya akses di ruang persidangan, diyakini akan membuat mafia peradilan makin bebas bergerak tanpa pengawasan jurnalis," sambung LBH Pers.
ADVERTISEMENT

Bukan Pertama Kali

Aturan yang dinilai membatasi pers ini bukan pertama kali dikeluarkan oleh MA. Sebelumnya, MA juga melakukan hal serupa melalui Surat Edaran Direktur Jenderal Badan Peradilan Umum Nomor 2 tahun 2020 Tentang Tata Tertib Menghadiri Persidangan yang ditandatangani pada 7 Februari 2020.
Dalam surat edaran tersebut diatur ketentuan yang menyatakan bahwa “Pengambilan Foto, rekaman suara, rekaman TV harus seizin Ketua Pengadilan Negeri yang bersangkutan”.
Larangan tersebut akhirnya dicabut MA setelah menuai kritikan dari berbagai pihak. Aturan tersebut dinilai hanya beda tipis dengan PERMA Nomor 5 Tahun 2020.
"Perbedaannya kali ini, MA memberikan kewenangan kepada hakim/ketua majelis hakim dan bukan Ketua Pengadilan Negeri," kata Koalisi Pemantau Peradilan.
Ilustrasi meja pengadilan. Foto: ANTARA FOTO/Akbar Nugroho Gumay
Koalisi memandang, dalam sidang yang terbuka untuk umum, pengambilan foto, rekaman audio dan atau rekaman audio visual adalah bagian dari akses terhadap keadilan dan keterbukaan informasi publik yang justru harus dijamin oleh Mahkamah Agung, khususnya dalam hal diambil dengan tidak mengganggu jalannya persidangan.
ADVERTISEMENT
"Bahwa Izin dari hakim/ketua majelis hakim baru relevan jika para pengunjung sidang termasuk media massa/jurnalis membawa peralatan atau dengan cara-cara yang pada dasarnya akan mengganggu tidak hanya persidangan namun pengadilan secara keseluruhan, izin baru tepat dilakukan apabila hakim/majelis hakim terganggu dalam menjalankan sidang," ujarnya.
Koalisi menilai, prinsip peradilan adalah terbuka untuk umum sesuai dengan yang diatur dalam Pasal 153 ayat (3) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dan Pasal 13 UU Kekuasaan Kehakiman, kecuali perkara mengenai kesusilaan atau anak.
Ilustrasi sidang di Pengadilan Tipikor. Foto: Soejono Eben/kumparan
Bahkan, kata koalisi, implikasi ketika hal ini tidak terpenuhi, maka putusan pengadilan tersebut bisa batal demi hukum.
Selain itu koalisi menilai apabila aturan ini benar diberlakukan, maka MA wajib menjamin pengadilan mengeluarkan materi terkait dengan persidangan yang sedang berlangsung baik dalam bentuk foto, gambar, audio, dan rekaman visual lainnya yang bisa diakses oleh masyarakat secara bebas dan aktual.
ADVERTISEMENT
"Sekadar melarang tanpa mewajibkan setiap pengadilan mengeluarkan materi terkait dengan persidangan, maka dalam pandangan kami, hal ini adalah bentuk penutupan akses informasi publik pada sidang yang terbuka untuk umum," tutup koalisi.